Teguran Jokowi Soal Kebebasan Beragama Terabaikan, SETARA Institute: Kewibaan Presiden Dipertanyakan

Jokowi menegaskan, kebebasan beragama dan beribadah adalah hak setiap warga negara dan dijamin oleh Undang Undang Dasar 1945. Akan tetapi ucapan Jokowi tersebut terabaikan dengan banyaknya kasus diskriminasi kaum minoritas di Indonesia hingga hari ini. (Foto: Tangkapan layar YouTube Sekretariat Presiden)

PARBOABOA, Jakarta - Teguran Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, kepada para kepala daerah dan Forkopimda tentang kebebasan beragama dan beribadah dijamin konstitusi terbaikan begitu saja. Kasus-kasus tindakan tindakan intoleransi dan diskriminasi kaum minoritas yang melibatkan pejabat masih terus terjadi di tanah air hingga hari ini.

Direktur Riset SETARA Institute Halili Hasan mengatakan, tindakan intoleransi yang masih terjadi membuat kewibawaan Presiden dipertanyakan, lantaran perintah dan teguran Jokowi soal kebebasan beragama dan beribadah dijamin negara seolah menjadi angin lalu.

“Kewibawaan Presiden dipertanyakan. Padahal pernyataan Jokowi dalam Rapat Koordinasi Nasional Kepala Daerah dan Forkopimda Tahun 2023 di Bogor (17/1) disaksikan publik Indonesia, karena hampir semua media besar mengangkatnya,” kata Halili dalam konferensi pers yang digelar Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Rabu (15/02/2023).

Haili memaparkan, pada Februari ini, Bupati dan Forkopimda Sukabumi melarang muslim Ahmadiyah di Parakansalak membangun sarana peribadatan maupun kegiatan keagamaan lainnya.

Kemudian, pada 26 Januari 2023, Forkopimda Sintang, Kalimantan Barat, menyesatkan Ahmadiyah dan melarang mereka melakukan aktivitas keagamaan.

Hal ini, menurut Halili, menjadi bentuk pembangkangan para kepala daerah.

Juru bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yendra Budiana juga menyampaikan pandangan yang sama dalam kasus ini. Menurutnya, pejabat-pejabat di daerah telah mengabaikan ucapan dari orang nomor satu di Indonesia itu.

“Ternyata, pernyataan Presiden Jokowi bahwa ‘jangan sampai kesepakatan mengalahkan konstitusi’ diabaikan oleh kepala daerah yang melarang Ahmadiyah melakukan aktivitas keagamaan,” ungkap Yendra.

Yendra menambahkan, kasus-kasus diskriminasi yang dialami Ahmadiyah merupakan bentuk politisasi agama menjelang pemilu serentak 2024. Ia mengungkap, menurut pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya Ahmadiyah selalu dijadikan komoditas isu untuk mengangkat popularitas (peserta pemilu).

Agar pernyataan Jokowi bukan isapan jempol belaka, Yendra berharap, pemerintah pusat dapat memastikan politisasi Ahmadiyah di pemilu serentak untuk kepentingan politik yang sempit tidak terus bergulir di daerah-daerah. Selain itu, ia berharap para politikus tidak menjadikan SKB 3 Menteri tahun 2008 tentang Ahmadiyah sebagai konsideran yang diterjemahkan secara salah.

Kasus-kasus diskriminasi agama juga terus menghantui umat Kristen di Indonesia. Divisi Advokasi dan Perdamaian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Juandi Gultom mengungkap, sepanjang 2022 PGI mencatat ada 23 gereja yang mengalami gangguan. Bahkan, sebagian kasus tersebut masih belum diselesaikan hingga kini.

Di tahun 2023 ini, setelah pernyataan Jokowi soal kebebasan bergama dijamin konstitusi, diskriminasi masih terus terjadi. Beberapa diantaranya, yaitu penolakan dan pembubaran ibadah yang dialami Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Metland Cileungsi, Bogor, dan pelarangan beribadah Gereja Protestan Injili Nusantara (GPIN) Filadelfia Bandar Lampung yang sama-sama terjadi pada 5 Februari 2023.

 “Data ini terus meningkat sampai hari ini. Padahal, kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama yang dialami gereja-gerja sebelumnya banyak yang belum diselesaikan negara,” sesal Juandi.

Dalam kesempatan yang sama, Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan melihat kecenderungan pelarangan atau penolakan beribadah, rumah ibadah dan kegiatan keagamaan kelompok minoritas agama atau keyakinan tidak tampak surut memasuki tahun-tahun politik.

Praktik intoleransi dan diskriminasi berbasis agama terus meningkat yang celakanya di banyak kasus aktor pelanggar kebebasan beragama atau berkeyakinan berasal dari unsur negara. Yang terbaru, pada 5 Januari 2023, Polres Ponorogo bersama Camat (Ngabel, Ponorogo) membubarkan paksa acara Jalsa Salanah, kegiatan tahunan jemaat Ahmadiyah.

“Harusnya aparat kepolisian dan TNI berpihak kepada minoritas yang menjadi korban. Tugas aparat itu menindak pelaku,” tegas wakil koalisi dari Imparsial, Anisa Yudha.

Karena itu, Anisa mendesak Presiden Jokowi agar tidak berhenti pada statemen saja. Preseiden harus secara nyata mengevaluasi Kemendagri yang tidak menjalankan tanggung jawabnya mengawal para kepala daerah agar tidak melanggar kebebasan beragama.

“Justru Kemendagri harus melakukan monitoring dan evaluasi ke kepala daerah agar seluruh warga diperlakukan secara setara dalam beragama dan berkeyakinan,” pungkas Anisa.

Editor: Rini
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS