PARBOABOA - Berbeda dengan daerah di Jakarta pada umumnya, Mangga Besar selalu ramai meski sudah memasuki dini hari.
Di saat mayoritas warga Jakarta sudah tertidur lelap, para pedagang kuliner di sekitaran Jalan Mangga Besar Raya masih tersenyum lebar sambil melayani konsumen.
Lantunan musik dari para pengamen juga masih lantang terdengar, seperti masih kuat bernyanyi hingga pagi hari. Wajahnya masih segar, tertawa bersama temannya sembari menghisap rokok di tangannya.
Deretan pedagang obat kuat di pinggir trotoar hingga bahu jalan juga turut menghiasi padatnya aktivitas di malam hari.
Begitu juga wanita-wanita tunasusila yang berpakaian minim dengan rokok yang masih menyala di sela-sela jarinya. Wajah mereka tampak masih bersemangat lalu lalang melintang menggunakan sepeda motor memasuki gang yang penuh dengan hotel dan indekos.
Pakaian minim seolah membentengi tubuh mereka dari dinginnya angin malam selepas hujan mengguyur Jakarta.
Para wanita itu kini tak lagi nongkrong di Lokasari yang berada di tengah-tengah Mangga Besar. Penyebabnya adalah penutupan beberapa tempat hiburan malam di Lokasari.
Nama Lokasari sendiri cukup tersohor dengan ‘wisata malam’. Dulunya, gemerlap ibu kota Jakarta bisa ditemukan di lokasi ini, terutama soal wanita-wanita penghibur yang kerap menjadi perbincangan para lelaki di tongkrongan.
“Dulunya ini ramai wanita malam dan pengunjung, tapi semenjak beberapa (tempat hiburan malam) ditutup, jadi sepi bang,” ucap Yudi (nama disamarkan) kepada Parboaboa, Sabtu (07/20/2022) lalu.
Yudi merupakan salah satu pekerja di kawasan Lokasari. Pria 28 tahun ini mengaku bahwa dirinya mengetahui betul seluk beluk mengenai dunia malam di Mangga Besar lantaran sudah mengabdi belasan tahun di perusahaan tempat dia bekerja.
Ia lantas bercerita mengenai perempuan-perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) di wilayah itu.
“Sekarang kalau yang menjajakan diri di tengah jalan itu sudah jarang. Ada sih beberapa, tapi biasanya sudah pada berumur (tua). Yang masih muda-mudanya kebanyakan main online dari MiChat,” tutur Yudi memberi gambaran soal PSK di Lokasari.
Beranjak dari obrolan santai tersebut, tim pun mulai menyusuri lokasi yang tersohor dengan dunia esek-esek itu.
Dari amatan Parboaboa di depan gedung Lokasari Square, terdapat beberapa kios-kios yang menjual berbagai pernak-pernik kebutuhan sekunder seperti parfum, jam tangan, kacamata, pewarna rambut, hingga konter handphone.
Tampak beberapa wanita berusia sekitar 20-25 tahun sedang berbelanja sembari bercanda ria.
Secara spontan, Yudi mengatakan bahwa para wanita itu merupakan ‘kupu-kupu malam’ yang cukup berkelas.
“Nah, yang seperti itu biasanya cewe ‘eksklusif’ bang. Tarifnya bisa sampai jutaan itu, beda dengan yang menjajakan diri di daerah sini,” kata Yudi.
Tim kemudian menjajaki jalanan menuju ke arah pintu masuk kawasan Lokasari untuk melihat aktivitas yang ada di dalam kawasan Lokasari.
Benar saja, seorang mucikari langsung menawari beberapa wanita dengan tarif yang bervariasi.
“Mau ini ga? 400 aja. Kalau mau yang chinese bandung, tuh ada, harganya 500. Kalau kamar cuman 110 ntar,” ucap wanita yang biasa dipanggil ‘mami’ sambil memamerkan beberapa perempuan yang dia bawa.
Mereka tampil dengan rambut yang sedikit acak-acakan dan tampak seperti tidak merawat diri dengan baik
Yudi lantas memperkirakan umur mereka sekitar 27-35 tahun, sehingga mereka tidak terlalu diminati para lelaki hidung belang, terlihat dari kerutan di wajah mereka dan gaya berpakaian mereka yang sedikit jadul.
Awalnya tim sempat mengalami kendala ketika mencari seorang PSK yang ingin dijadikan sebagai narasumber mengenai kegiatan prostitusi di kawasan itu.
Sayangnya, sang ‘mami’ tampak tidak senang jika anak-anaknya ditanyai tanpa pantauan dan tawaran yang bagus.
Prostitusi Online dan Indekos Bekingan Oknum Aparat
Mendapat penolakan dari beberapa wanita yang ditemui, penelusuran pun berlanjut secara daring melalui sebuah aplikasi pesan instan dengan fitur yang bisa mendeteksi pengguna di sekitar.
Tak lama setelah pendaftaran akun pengguna, satu per satu pesan menyasar ke wanita-wanita yang menjajakan dirinya secara online alias open BO.
Melalui fitur deteksi pengguna sekitar, puluhan wanita beradu harga dan pelayanan demi menggaet tamu.
Setelah negosiasi yang cukup panjang, akhirnya Elsa (19) setuju untuk ditemui dan diajak berbicara dengan syarat tidak boleh berlama-lama. Karena baginya, waktu adalah uang.
Elsa kemudian mengirimkan lokasi tempat dia menginap, yakni di sebuah indekos di Jalan Raya Mangga Besar, tepatnya Prima Kos.
Tim kemudian bergegas meninggalkan Lokasari Square dengan dentuman musik yang berasal dari salah satu distotik yang masih terdengar hingga ke pintu keluar.
Hembusan angin malam menembus kulit, kebisingan suara knalpot kendaraan bermotor, dan genangan air di beberapa bahu jalan turut menemani langkah tim menyusuri Jalan Raya Mangga Besar menuju ke lokasi yang dimaksud.
Lokasi indekos tersebut berjarak sekitar 500 meter dari Lokasari Square.
Melalui chat, Elsa menuntun perjalanan masuk ke indekos yang berada tepat di atas Indomaret yang sudah tutup pada malam itu.
Meskipun demikian, pintu masuk ke kos tersebut masih bisa ditempuh melalui pintu sebelah, namun harus menempuh sekitar 100 meter ke dalam gang yang berada di sebelah minimarket tersebut.
Terlihat dengan jelas beberapa pria silih berganti masuk dan keluar melalui pintu yang menjadi satu-satunya akses ke dalam kos tersebut.
Di depan pintu, tepat di seberang jalan, berdiri sebuah gerobak yang menjual berbagai jenis minuman herbal.
Meski sudah larut malam, di gerobak tersebut terlihat beberapa pemuda sedang asik bermain game, tetapi matanya justru fokus memperhatikan kondisi sekitar.
Di lantai dasar hanya ada ruangan khusus penjaga. Namun, sang penjaga sudah tertidur pulas menggunakan sarung tipis yang setidaknya melindunginya dari udara malam yang dingin.
Tim pun mulai menaiki anak tangga yang berada tepat di sebelah ruangan penjaga. Terdapat CCTV di setiap lantai dengan lorong yang minim pencahayaan.
Berantakan, gelap, dan sempit menjadi pemandangan sehari-hari para wanita yang menjajakan diri secara virtual ini.
Dua gadis telah menanti di kamar yang berada di ujung lorong. Mereka adalah Elsa dan Endah.
Elsa merupakan wanita yang membalas chat dan mengarahkan tim menuju indekos tersebut.
Sementara Endah adalah teman Elsa yang menjadi pengatur keuangan para wanita open BO di lingkaran pertemanan mereka.
Hanya ada sedikit cahaya yang mengisi kamar Elsa, itu pun berasal dari kamar mandi. Aroma ruangan kamar sedikit menyengat.
Puntung rokok dan plastik jajanan tampak menghiasi sekeliling tempat tidur. Beberapa paper cup dengan sisa kuah makanan masih terletak di pinggir jendela. Ternyata, tempat sampah di dalam kamar sudah penuh.
Seluruh aktivitas jalanan seperti pedagang kuliner dan para pemuda yang bermain game di sebelah gerobak tampak dengan jelas ketika jendela dibuka.
Elsa menjelaskan bahwa para pemuda tersebut merupakan abang-abangan (istilah dalam pergaulan) di tongkrongan.
Gadis yang alergi dengan udara dingin ini lantas kembali menutup jendela.
Gadis berusia 19 tahun ini mengungkapkan bahwa kamar kos tersebut ia gunakan sebagai tempatnya melakukan kegiatan asusila. Kamar tersebut dibandrol dengan harga Rp150 ribu per hari. Namun, dia menyewanya untuk perbulan, tetapi enggan menyebut nominalnya.
Selain itu, ia mengaku bahwa kosan yang ia tempati merupakan sarangnya praktik prostitusi online.
“Banyak. Di bawah juga ada (lantai 1). Kayak gini (open BO) semua, kagak ada yang bener-bener kos. Di sini pada open semua,” ucapnya.
Elsa mengatakan bahwa pemilik kos mengetahui betul mengenai aktivitas prostitusi online di tempatnya.
“Tau lah (pasti),” ucapnya.
Selama menjalani pekerjaannya di kos tersebut, Elsa mengaku belum pernah sekalipun terkena razia lantaran sang pemilik kos punya relasi dengan oknum aparat.
“Ga ada (penggerebekan). Di sini mah aman. Yang punya aja orang Buser,” ungkapnya.
Menurut pengakuannya, ia sudah lama menjalani profesi sebagai wanita open BO dan cukup menikmati hasilnya.
“Uangnya? Iya lah (banyak). Tapi ini, kalau ada sejuta (penghasilan sehari) mah bisa beli HP, beli anting, biar ada tabungannya,” kata Elsa dengan girang.
Elsa pun memamerkan Android yang baru ia beli. Raut wajahnya seolah mengatakan dirinya cukup berbangga lantaran bisa membeli sesuatu yang ia inginkan dari hasil pekerjaannya.
Dari sekian banyak kamar di kosan tersebut, ternyata teman-teman sepermainannya juga menggeluti pekerjaan yang sama, yakni sebagai wanita yang menjajakan diri secara digital.
Melalui Elsa, tim kemudian dipertemukan dengan Adinda (16) gadis belia yang putus sekolah dan menjalani kegiatan teman tidur para lelaki hidung belang dengan waktu yang singkat.
Para lelaki tersebut ia sebut sebagai tamu. Dari pengakuannya, tamu-tamu tersebut ia dapatkan melalui aplikasi MiChat.
Selain dari aplikasi, ia juga kerap mendapatkan pelanggan dari temannya Endah, yang juga teman dari Elsa. Bagaimana tidak, tak sampai puluhan menit uang senilai ratusan ribu sudah ada di tangan Endah.
Kondisi kamar Adinda mirip seperti kamar Elsa, gelap, berantakan, dan bau yang menyeruak karena abu rokok beradu dengan hembusan udara AC.
Gadis belia ini menuturkan, para penyedia jasa prostitusi di tempatnya ingin memuaskan tamunya dengan waktu yang cepat, hal tersebut dikarenakan lokasi calon tamu tidak berjarak jauh.
“Di sini mau pada buru-buru kan soalnya dari sini deket-deket semua (pelanggan),” ucapnya sambil mengikat rambut panjangnya yang terurai.
Ia menjelaskan bahwa penghuni kos di tempatnya juga banyak yang berprofesi sama dengan dirinya, bahkan semua hunian seperti hotel dan kos yang ada di dalam gang tersebut.
“Heem pemain semua (di sini),” tuturnya.
Dari pengakuannya, Adinda dapat melayani empat hingga enam lelaki hidung belang dalam sehari. Gadis berusia 16 tahun ini sudah lama menjajakan dirinya lewat aplikasi MiChat dan mengaku baru beberapa minggu menjalani profesinya di kos tersebut.
Adinda terpaksa menjalaninya demi kebutuhan ekonomi. Kendati demikian, orangtuanya tidak mengetahui kegiatan apa yang dilakukan anaknya untuk mengumpulkan segepok uang.
“Enggak, kalo tau juga gak bakal dibolehin”, ucapnya sembari merapikan rambut.
Sama halnya dengan Elsa, Adinda juga mengatakan bahwa pemilik kos mengetahui aktivitas yang terjadi di tiap kamar yang ada di kos tersebut.
Berbicara mengenai kamar, ia mengungkapkan bahwa kamar yang digunakan disediakan oleh Endah dan membayar sejumlah uang untuk setiap kali transaksi dengan pelanggan yang disodorkan.
Meskipun demikian, jumlahnya tidak terlalu besar lantaran tidak berada di genggaman ‘mami’.
“Ngapain (punya mami) kalau mau kayak gituan, bayar dia lagi,” tegasnya.
Setelah menjawab sejumlah pertanyaan, Adinda mengakhiri obrolan dengan alasan ada tamu yang sudah mengantri.
Tim kemudian beranjak keluar, berjalan mengikuti lorong-lorong indekos yang sepi dan kemudian menuruni beberapa anak tangga menuju lantai dasar mendekati pintu keluar indekos.
Sesampainya di seberang indekos, terlihat Adinda melambaikan tangan sembari tersenyum kepada kami pertanda perpisahan. Disusulnya dari belakang seorang pria berpakaian hitam mengajaknya untuk segera pergi.
Las Vegas di Indonesia
Kabar mengenai banyaknya indekos yang dijadikan sebagai tempat praktik kegiatan prostitusi online juga diketahui oleh Yogi (25), salah satu pengamen di kawasan Mangga Besar.
Yogi mengatakan bahwa informasi tersebut sudah menjadi rahasia umum di Mangga Besar. Ia pun mengistilahkan kawasan itu seperti salah satu pusat industri hiburan di Amerika Serikat.
“Ada banyak (kos). Tapi kalo di sini mainnya MiChat. Pada punya kost sendiri-sendiri. Di sini mah bisa dibilang Las Vegasnya Indonesia,” ucapnya.
Menurutnya, praktik prostitusi online sudah marak terjadi sejak tahun 2016 setelah beberapa tempat hiburan di kawasan Lokasari Square ditutup oleh Pemprov DKI.
Saat tim mencoba ketersediaannya untuk mencarikan perempuan penghibur, dengan sigapnya Yogi menyanggupinya bahkan untuk di malam itu.
“Sekarang juga?” balasnya sambil menatap dengan serius.
Dari apa yang Yogi ceritakan, nampaknya ia sudah paham betul mengenai cara mencari perempuan penghibur terbaik untuk kliennya.
“Jangan dadakan Bang ya. Abang ngabarinnya kalo misal mau ke sini. Kaya misal dari sore gitu nanti saya cariin, dari siang kalo mau dari sore Abang ngabarin dari jam 3 sore. Abang misalnya datangnya nentuin nih nanti jam 11 dateng, nanti jam 11 itu cewek udah gak bisa di apa-apain,” jelasnya.
Terakhir dari pengakuannya, Yogi memiliki beberapa perempuan yang dianggapnya bagus dan bisa untuk memuaskan para lelaki hidung belang.
Ular, Cialis, dan Mangga Besar
Sekilas wajah Mangga Besar kini dikenal sebagai daerah kuliner di Jakarta. Meskipun demikian, daerah ini tetap saja tak lepas dari bayang-bayang prostitusi.
Deretan gedung hotel, spa, karaoke, penjual ular, dan pedagang obat kuat menjadi pemandangan biasa di kawasan Mangga Besar.
Obat ular tersebut dijual sebagai obat tradisional untuk menyembuhkan penyakit kulit bagian luar dan dalam, itulah yang tertulis pada spanduknya. Alih-alih menyembuhkan penyakit kulit, nyatanya kebanyakan pembeli obat ular tersebut untuk menyelesaikan permasalahan bagi pria penderita disfungsi ereksi.
Selain penjual ular untuk urusan seksual, terlihat beberapa gerobak berjejer dekat hotel di kawasan Mangga Besar yang saling berdekatan menjual produk yang sama yakni alat kontrasepsi dan obat agar berhubungan intim dapat bertahan lama yang biasa disebut obat kuat.
Berbagai merk alat kontrasepsi dan obat kuat seperti cialis hingga pil biru viagra impor buatan negeri Paman Sam menjadi pemandangan yang lazim ketika melewati wilayah ini.
Nando, salah satu pedagang obat kuat mengatakan dagangannya dijual dengan harga beragam tergantung merk dan dosisnya, mulai harga Rp25 ribu hingga Rp50 ribu untuk satu butir pil.
Sayangnya, dari sekian banyak jenis obat yang ia jual, hanya ada sedikit yang berlabel BPOM.
Untuk urusan konsumen, Nando mengatakan bahwa pelanggannya merupakan orang-orang yang tak jauh dari kawasan Mangga Besar dan tamu-tamu hotel. Kemudian dari pengakuannya pembeli biasa menggunakannya bukan untuk pasangan resminya.
Mengenai izin berjualan, ia mengatakan bahwa berjualan di ruas jalan tersebut tidak dilarang, namun tempatnya berbayar. Ia mengaku sering memberikan sejumlah uang kepada oknum aparat.
Besaran yang ia bayar kepada oknum kepolisian senilai Rp350 ribu yang biasa diambil oleh orang suruhan, kemudian Rp50 ribu untuk oknum Pol PP.
Selain itu ada hal yang cukup mengejutkan, dari pengakuan Nando, ada cairan perangsang wanita yang untuk dicampur ke minuman.
Cairan tersebut, kata Nando, sering dibeli oleh pejabat-pejabat dan oknum aparat yang menjadi pelanggannya. Namun, ia enggan menyebutkan inisial ataupun nama para oknum tersebut.
Selain itu, Nando melanjutkan, ada juga artis TikToker yang pernah membeli obat perangsang wanita di tempatnya. Ia mengatakan artis TikTok tersebut berasal dari Medan dan tinggal di sekitar tempat jualannya.
Pengais Rezeki di Komplek 38
Kawasan yang berada di Jalan Raya Mangga Besar no.38 dijuluki warga sebagai ‘komplek 38’.
Komplek 38 didominasi oleh hotel dan bangunan indekos bertingkat. Terlihat banyak motor terparkir di depan hotel dan indekos silih berganti, entah apa yang diperbuatnya sehingga parkir motor di depan hotel maupun kos tidak lebih dari satu jam.
Ada pria yang datang sendirian, ada pula pria dan wanita berboncengan masuk ke dalam hotel maupun indekos yang tak berselang lama keluar lalu bergegas pergi menggunakan motor yang diparkirnya.
Tak jauh dari gang komplek 38, terlihat warung rokok yang berada di trotoar jalan.
Pedagang yang namanya tidak ingin disebutkan tersebut berbicara dengan aksen Sunda dan menjelaskan mengenai gang komplek 38 dari waktu ke waktu.
“Ke jualan gini juga ngaruh. Waktu tempat hiburan pada buka mah ke ini juga lumayan. Kan anak-anak yang nyari duitnya gampang dia kalau cewek-cewek tempat hiburan mah. Kayak dulu mah tah Miles, Stadium buka keneh (masih buka) lumayan,” ungkapnya kepada Parboaboa beberapa waktu lalu.
Ia mengungkapkan semenjak sepinya gang komplek 38 ada pengaruh pada omset jualannya dan adanya praktik hiburan malam serta prostitusi menguntungkan pada omset lapaknya yang telah ia jalani selama bertahun-tahun.
Pada tahun 2016-2017 omset lapak jualannya bisa mencapai Rp2 juta sampai Rp2,5 juta rupiah dalam satu hari, namun saat ini omsetnya mulai menurun.
“Ayeuna mah (sekarang mah), bicara pun sulit,” ucapnya dengan nada lemas sembari menghela nafas.
Ia menjelaskan indekos di samping lapak jualannya dihuni oleh perempuan-perempuan malam yang bekerja di diskotik sekitaran kawasan Mangga Besar lebih tepatnya di Mangga Besar 8.
Lanjut ia menjelaskan bahwa warga sekitar gang komplek 38 sudah mengetahui praktik-praktik prostitusi dan menilainya sudah biasa.
Lebih parahnya, kata dia, banyak pelajar-pelajar yang berasal dari luar DKI menjajakan diri melalui MiChat dan tinggal di Komplek 38 saat Jakarta dilanda Covid-19 dalam dua tahun terakhir.
Bagian dari Sejarah Prostitusi di Jakarta
Mengutip dari berbagai sumber, secara historis, prostitusi atau pelacuran di Mangga Besar sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda atau VOC yang pada saat itu sedang menguasai Batavia, yang sekarang dikenal dengan Kota Tua, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat.
Orang Betawi sendiri pada awalnya tidak mengenal istilah pelacur yang kemudian dilunakkan sebutannya menjadi WTS (Wanita Tuna Susila) dan kini lebih diperlunak lagi jadi PSK (Pekerja Seks Komersial).
Orang Betawi menyebutnya dengan cabo yang merupakan adaptasi dan bahasa Cina caibo dan maler berasal dari bahasa Portugis atau dengan sebutan lain kupu-kupu malam
Sejak dulu tempat operasi para cabo selalu dekat dengan kawasan niaga dan perhotelan, seperti Mangga Besar yang berdekatan Glodok sekarang. Demikian ditulis dalam Ensiklopedi Jakarta yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemprov DKI Jakarta tahun 2005.
Dikutip dari artikel bertajuk “Ruang Publik dan Prostitusi di Jakarta: dari Taman Kota sampai dengan Tamansari” oleh Junaidul Fitriyono, prostitusi merupakan permasalahan sosial yang sudah ada sejak lama dan terjadi secara merata di seluruh belahan dunia.
Prostitusi dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan manusia dan semakin berkembang seiring dengan berbagai media yang ada.
Masih dari sumber yang sama, budaya masyarakat yang permisif disebut menjadikan prostitusi di kawasan Taman Sari menjadi hal yang lumrah. Ditinjau dari sisi kepublikan, sifat masyarakat tersebut merujuk pada 2 (dua) hal utama, yakni ada sebagian masyarakat yang merasa diuntungkan dan sebagian masyarakat yang apatis atau tak acuh.
Dalam hal ini, yang dimaksud masyarakat yang merasa diuntungkan dengan transaksi prostitusi adalah mereka-mereka yang cenderung mendukung kegiatan yang ditentang konstitusi itu dengan menyediakan berbagai fasilitas seperti tempat menginap, penjualan minuman keras dan alat kontrasepsi
Sementara, masyarakat yang apatis merupakan masyarakat yang tidak peduli dengan kondisi sekitar.
Ketidakpedulian masyarakat itu disebut menjadi titik puncak atas ketidakpuasan terhadap pengawasan yang dilakukan oleh pihak berwenang terkait yang tidak mencari akar solusi namun hanya menjadikan isu prostitusi di Kawasan Tamansari untuk kepentingan tertentu.
Tulisan ini merupakan fokus dari Redaksi. Simak terus kelanjutannya dan nantikan berita menarik lainnya hanya di Parboaboa.com.