Mengungkap Bentuk, Tantangan dan Upaya Perlindungan Korban Kekerasan Seksual

Ilustrasi kasus kekerasan terhadap perempuan (Foto: Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan KB)

PARBOABOA, Jakarta - Kekerasan seksual menjadi persoalan umum yang dialami masyarakat Indonesia dari berbagai tingkat dan golongan.

Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan menyebut, sepanjang 2012 hingga 2021, lebih dari 49.762 laporan kasus kekerasan seksual di Indonesia. 

Mayoritas kasus tersebut adalah kekerasan berbasis gender, termasuk pelecehan seksual, perkosaan, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. 

Pada November 2022, Komnas Perempuan menerima sedikitnya 3.014 laporan terkait kekerasan seksual terhadap perempuan.

Terkini, data real time Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) per 1 Januari 2024 mengungkap sebanyak 20.336 kasus yang terverifikasi.

Dari jumlah tersebut, 17.611 di antaranya adalah korban perempuan dan 4.445 lainnya adalah korban laki-laki.

Kasus-kasus ini terjadi di berbagai lingkungan, mulai dari rumah tangga, hubungan pribadi, hingga ruang publik, termasuk sektor pendidikan.

"Data ini belum sepenuhnya menggambarkan realitas yang ada, karena masih banyak kasus kekerasan seksual yang belum tercatat atau diadukan," kata Ketua Komnas HAM RI, Atnike Nova Sigiro, pada Kamis (05/10/2023).

Atnike menambahkan, “meskipun mengkhawatirkan, peningkatan angka kekerasan menunjukkan bahwa semakin banyak kasus yang sebelumnya tersembunyi kini mulai terungkap.”

Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disebabkan antara lain oleh budaya patriarki dan subordinasi peran perempuan dalam masyarakat.

Lebih lanjut, ketakutan dalam diri korban dan ancaman dari pelaku turut menjadi penyebab kurangnya laporan yang berhasil dicatat lembaga peduli perempuan. 

Tantangan lain seperti kurangnya pemahaman aparat penegak hukum dalam menindak kasus kekerasan seksual juga jamak ditemukan dalam masyarakat.

Sebagian kasus bahkan diselesaikan secara kekeluargaan dengan denda yang terbilang seadanya. Perempuan korban dirugikan, sementara laki-laki tidak memperoleh hukuman yang setimpal.

Bentuk dan Penyebab

Kekerasan seksual adalah tindakan yang merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh serta fungsi reproduksi seseorang. 

Dalam buku Kekerasan Seksual karangan Kurnia, Indriyanti Purnama Sari, et al. (2022), kekerasan seksual dibagi menjadi beberapa bentuk, antara lain:

  1. Pelecehan Fisik: Tindakan yang melibatkan kontak fisik tanpa persetujuan.
  2. Pelecehan Lisan: Ucapan yang merendahkan atau menghina.
  3. Pelecehan Non-Verbal atau Isyarat: Isyarat atau tindakan yang bersifat seksual tanpa kata-kata.
  4. Pelecehan Visual: Menunjukkan konten seksual tanpa izin.
  5. Pelecehan Psikologis/emosional: Permintaan dan ajakan yang berulang kali serta tidak diinginkan, ajakan untuk berkencan yang tidak diharapkan, serta penghinaan atau ejekan yang bernuansa seksual.

Pelecehan seksual juga terjadi karena ada dua faktor utama yaitu, faktor internal dan eksternal. 

Faktor internal biasanya terjadi karena adanya bias pemahaman tentang posisi laki-laki dan perempuan sehingga pelaku merasa ada peluang untuk melakukan pelecehan terhadap korban. 

Sementara itu, faktor eksternal seperti lingkungan sosial dan budaya patriarki yang bias gender serta sikap diam korban maupun saksi berpotensi meningkatkan kejadian tersebut.

Upaya Pencegahan

Pencegahan terhadap kasus kekerasan seksual menjadi perhatian umum dari sejumlah lembaga seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (KemenPPA).

Mereka membangun sinergi dengan sejumlah lembaga lain di tingkat pendidikan, desa dan kementerian untuk menangkal kasus serupa.

Secara hukum, pencegahan terhadap kasus kekerasan seksual telah dirumuskan dalam sejumlah aturan hukum, seperti UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA) dan UU No 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT).

Terbaru, pemerintah mengesahkan UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebagai langkah antisipatif untuk mencegah kasus kekerasan seksual.

UU ini mengatur hak-hak korban dalam hal penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Selain korban, saksi juga mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). 

Di samping itu, menurut Komnas Perempuan, pencegahan kekerasan terhadap perempuan perlu dilanjutkan dengan memperkuat pengetahuan melalui kajian, pemantauan, dan dokumentasi.

"Inovasi pencegahan perlu dilanjutkan dengan memperkuat kajian, pemantauan, dokumentasi, serta metode berpikir kritis dan alat edukasi," ujar Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, Jumat (20/09/2024).

Hal ini, pungkasnya, perlu dilakukan untuk membangun ruang pendampingan komunitas dan kolaborasi lintas pihak. 

Dalam upaya penanganan kekerasan, Komnas Perempuan berharap agar inovasi lebih lanjut dapat hadir melalui regulasi spesifik yang menitikberatkan pada pemenuhan hak-hak korban perempuan. 

Penerapan regulasi diharapkan menjadi pemicu munculnya berbagai inovasi dalam penanganan kekerasan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan secara efektif dan menyeluruh.

"Platform teknologi memberikan peluang besar untuk memperkuat penanganan kasus kekerasan berbasis gender,” imbuh Yentriyani. 

Hal serupa termasuk upaya mendorong penegakan hukum, penerapan sanksi administrasi, serta memastikan korban mendapatkan keadilan dengan mengakhiri impunitas melalui jalur hukum pidana. 

Untuk memperkuat pemulihan korban, diharapkan adanya strategi yang mengarahkan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) ke dalam dana bantuan korban (victim trust fund). 

"Kode etik profesi, perencanaan pembangunan dengan mitigasi bencana berbasis gender, teknologi untuk pemulihan korban dan pencegahan kekerasan, serta rehabilitasi pelaku dengan pendekatan kritis terhadap maskulinitas, adalah aspek yang dapat dieksplorasi lebih lanjut," tutup Yentriyani.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS