PARBOABOA, Jakarta - Dua tahun sudah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun, sejak diundangkan pertama kali 2 tahun lalu, UU nomor 12 Tahun 2022 itu menyisakan berbagai catatan, terutama bagi korban TPKS disabilitas.
Salah satu catatan buruknya adalah soal pemenuhan akomodasi yang layak terhadap sejumlah korban.
Padahal pasal 25, 66 dan 70 UU a quo memandatkan, korban disabilitas berhak mendapatkan akomodasi yang layak, termasuk penilaian personal dalam proses peradilan.
Koordinator Layanan Rumah Cakap Bermartabat, Arini Robi Izzati dalam sebuah keterangan menjelaskan, keteledoran ini disebabkan karena sejumlah APH dan layanan medis belum memahami betul aksesibilitas dan akomodasi layak bagi korban.
Sebetulnya, tegas dia, poin-poin tersebut merupakan "hak paling mendasar bagi penyandang disabilitas yang harus dipenuhi oleh negara."
Toh, kalaupun ada Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 yang mengatur tentang akomodasi layak bagi penyandang disabilitas dalam proses peradilan, belum semua lembaga menerapkan aturan ini secara internal.
Dalam catatan dia, hanya Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung (MA) yang memiliki peraturan terkait. "Itu pun tidak tersosialisasi sampai tingkat pelaksanaanya," tegasnya.
Baik APH, pengada layanan maupun tenaga medis, tambahnya, juga belum punya pemahaman yang komprehensif mengenai situasi kerentanan dan kebutuhan khusus penyandang disabilitas.
Semestinya, perspektif ini penting karena berpengaruh langsung pada proses pemeriksaan.
Arini mencontohkan, seorang penyidik yang memahami perspektif disabilitas akan lebih mudah bekerja sama dengan pendamping dan psikolog, untuk merumuskan pertanyaan yang sesuai dengan situasi korban.
"Duduk bersama dengan pendamping dan psikolog dalam memformulasikan" sekaligus "memahami kebutuhan khusus korban selama pemeriksaan," kata Arini.
Minim Pemberatan Hukuman untuk Pelaku
Dalam catatan Arini yang lain, penerapan pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas sangat minim.
Padahal, pasal 15 UU TPKS sudah jelas mengatur hal ini. Pasal a quo memandatkan tambahan hukuman pidana sebanyak sepertiga bagi pelaku jika korbannya adalah penyandang disabilitas.
Sayangnya, dalam praktik, penerapan hukuman ini jarang diterapkan.
Kata dia, hukuman tambahan ini penting untuk mengakui kondisi kerentanan korban dan memastikan keadilan yang lebih proporsional bagi mereka.
Selain itu, ada juga mandat lain dalam UU TPKS yang masih menghadapi kendala implementasi, yaitu Pasal 30 tentang restitusi sebagai hak korban.
Restitusi merupakan ganti rugi materiil dan immateriil yang seharusnya dibayarkan oleh pelaku kepada korban.
Arini berkata, meski beberapa kasus kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas berhasil mendapatkan keputusan restitusi, hal ini seringkali hanya menjadi kemenangan di atas kertas.
Sebagian besar pelaku, tegasnya, tidak mampu membayar restitusi karena keterbatasan finansial.
Ia mengakui, hingga kini, belum ada mekanisme yang dapat menggantikan kewajiban pembayaran restitusi tersebut.
Peraturan Pemerintah mengenai Dana Bantuan Korban pun masih belum diterbitkan, membuat pendamping korban berada dalam situasi dilematis.
Di satu sisi, restitusi adalah hak korban, tetapi disisi lain, eksekusi putusan tersebut sulit dilakukan karena pelaku tidak memiliki kemampuan untuk membayar.
"Satu sisi ini hak korban, tapi pendamping tahu mustahil eksekusinya karena pelaku tidak mampu," keluh Arini.
Nurul Kurniati, Juru Bicara Jaringan Perempuan Yogyakarta, juga mengakui bahwa hingga saat ini, penerapan UU TPKS dalam kasus kekerasan seksual belum maksimal oleh aparat penegak hukum.
Berbagai kendala masih sering ditemukan, seperti belum adanya peraturan turunan, petunjuk teknis yang kurang jelas, serta masalah anggaran dan infrastruktur yang belum memadai untuk mendukung pelaksanaan UU ini.
Melihat situasi ini, mereka memberikan beberapa rekomendasi untuk mempercepat implementasi UU TPKS. Salah satunya adalah pentingnya membentuk forum bagi aparat penegak hukum untuk mensosialisasikan UU TPKS.
"Sehingga mereka memiliki pemahaman yang sama terkait penerapannya."
Selain itu, koordinasi dengan lembaga layanan perempuan dan anak juga dianggap penting untuk menyamakan persepsi dalam melaksanakan UU tersebut.
Mereka juga mendorong agar aturan turunan UU TPKS segera disahkan dan diterapkan, mulai dari tingkat daerah hingga desa, dengan prinsip non diskriminasi, kesetaraan gender, inklusi, serta berfokus pada pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban.
Di samping itu, kebijakan, anggaran, dan implementasi juga harus memastikan bahwa korban mendapatkan hak-hak mereka dengan perspektif pemulihan yang jelas.
Kekerasan seksual yang menimpa penyandang disabilitas, terutama perempuan, terekam dalam catatan tahunan Komnas Perempuan sejak tahun 2017.
Dari data tersebut, terlihat bahwa kasus-kasus ini terus terjadi, meskipun fluktuatif setiap tahunnya.
Pada tahun 2017, terdapat 57 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas, jumlah yang sama pada tahun 2018.
Pada 2019, angka ini meningkat menjadi 69 kasus, dan terus naik pada 2020 dengan 87 kasus. Namun, pada 2021 dan 2022, terjadi penurunan menjadi 77 dan 44 kasus.
Meski sempat turun, ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas masih menjadi masalah serius yang belum sepenuhnya tertangani.
Dampak kekerasan seksual pada perempuan disabilitas, menurut catatan tersebut, sangat besar. Selain luka fisik, mereka juga sering mengalami trauma mendalam, gangguan mental berkepanjangan, dan perasaan tidak berdaya.
Dalam beberapa kasus, kekerasan ini mempengaruhi kesehatan mental dan fisik korban dalam jangka panjang. Mereka bisa mengalami gangguan emosi, perilaku, hingga perubahan cara berpikir.
Sementara itu, Studi Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA) DIY (2016) menunjukkan, 84,5% kekerasan terhadap perempuan disabilitas tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.
Kondisi disabilitas sering kali membuat perempuan korban sulit mengakses layanan hukum, kesehatan, dan dukungan psikologis. Hal ini memperparah situasi dan membuat perlindungan terhadap mereka semakin lemah.
Berkaca pada kondisi ini, penting bagi pemerintah, masyarakat, dan lembaga terkait untuk terus memperkuat upaya perlindungan dan dukungan bagi perempuan penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual.
Mereka berhak mendapatkan keamanan, akses layanan hukum, serta dukungan psikologis yang layak agar bisa pulih dari trauma yang mereka alami.
Editor: Gregorius Agung