PARBOABOA, Jakarta - Kasus kriminalisasi terhadap Sorbatua Siallagan oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL) perlahan-lahan menampakkan kebenarannya sendiri.
Pengadilan Tinggi (PT) Medan pada Kamis (17/10/2024) telah mengeluarkan putusan atas banding yang berujung pada pembebasan Ketua Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan itu.
Menurut Humas PT Medan, John Pantas Lumbantobing, majelis hakim memutuskan bahwa Sorbatua tidak bersalah dalam kasus nomor 1820/Pid.LH/2024/PT Mdn.
"Dalam amar putusan tersebut, dinyatakan bahwa terdakwa Sorbatua memang melakukan tindakan, namun tindakan tersebut bukan merupakan tindak pidana, melainkan perbuatan perdata," jelas John, Jumat (18/10/2024).
Dengan putusan tersebut, majelis hakim menginstruksikan agar Sorbatua dibebaskan dari semua tuntutan yang diajukan oleh penuntut umum.
"Memulihkan hak-hak terdakwa atas kemampuannya, kedudukannya, serta harkat dan martabatnya. Selain itu, biaya perkara dibebankan kepada negara," tutup John.
Sesuai dengan prosedur hukum acara pidana yang berlaku, Sorbatua harus segera dikeluarkan dari rumah tahanan negara.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Simalungun telah menjatuhkan vonis dua tahun penjara serta denda sebesar Rp 1 miliar kepada Sorbatua pada Rabu (14/08/2024).
Ia dituduh melakukan penebangan pohon eukaliptus dan pembakaran kayu di lahan konsesi PT TPL yang terletak di Hutan Dolok Parmonangan, Pondok Buluh, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
PT Toba Pulp Lestari (TPL) memiliki lahan konsesi seluas 291.263 hektare yang tersebar di berbagai wilayah, salah satunya di hutan adat milik Masyarakat Adat Oppu Umbak Siallagan, Simalungun.
Sorbatua didakwa berdasarkan Pasal 78 ayat (3) dan/atau ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Namun, hukuman yang dijatuhkan kepada Sorbatua tidak didukung oleh bukti yang kuat dalam persidangan.
Bahkan, salah satu anggota majelis hakim memberikan dissenting opinion dan menyatakan Sorbatua tidak terbukti bersalah dan seharusnya dibebaskan.
Ketua Pelaksana Harian Wilayah AMAN Tano Batak, Jhontoni Tarihoran, menyampaikan kekhawatirannya terkait putusan yang dinilai mengancam komunitas Masyarakat Adat.
Menurutnya, keputusan tersebut berpotensi membuat Masyarakat Adat kehilangan tanah adat yang selama ini mereka miliki secara turun-temurun.
Jhontoni menegaskan banyak pihak memandang vonis terhadap Sorbatua sebagai upaya melemahkan hak-hak Masyarakat Adat yang berjuang mempertahankan wilayah adat dari ekspansi perusahaan-perusahaan besar.
Ia juga mempertanyakan tuduhan pembakaran yang dialamatkan kepada Sorbatua, mengingat tidak ada saksi yang dihadirkan oleh jaksa untuk mendukung tuduhan tersebut di pengadilan.
“Ini bukti nyata bahwa proses hukum terhadap Sorbatua telah direkayasa. Kami memohon keadilan. Bebaskan Sorbatua Siallagan,” tegas Jhontoni saat berorasi di depan PT Medan, Kamis (10/10/2024).
Putri Sorbatua, Jerni Elisa Siallagan yang turut serta dalam aksi damai tersebut, mengungkapkan kekecewaannya terhadap putusan hakim.
Menurut Jerni, ayahnya adalah korban kriminalisasi akibat kelalaian negara dalam mengesahkan undang-undang perlindungan hak-hak Masyarakat Adat.
"Negara telah mengkriminalisasi ayah saya, dan kami akan terus melawan," ujarnya dengan penuh ketegasan.
Kriminalisasi Masyarakat Adat
Kriminalisasi yang menimpa Sorbatua Siallagan hanya satu dari sekian banyak persoalan yang dihadapi masyarakat adat di Indonesia selama beberapa tahun terakhir.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat bahwa hingga kini, setidaknya 2.578.073 hektare wilayah adat telah dirampas oleh negara dan korporasi.
Perampasan wilayah adat tak ayal disertai berbagai tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat.
Sepanjang tahun 2023, AMAN mencatat 247 orang menjadi korban, di mana 204 orang mengalami luka-luka, 1 orang ditembak hingga tewas, dan sekitar 100 rumah warga adat dihancurkan karena dianggap berada di kawasan konservasi.
"Sejak negara ini merdeka, masyarakat adat terus berada dalam situasi ketakutan karena ruang hidup mereka dirampas oleh negara dan korporasi atas nama investasi dan konservasi," ujar Erasmus Cahyadi dari AMAN pada 19 Maret 2024 lalu.
Catatan AMAN pada tahun 2023 juga menunjukkan perampasan wilayah adat sering kali dipengaruhi oleh rendahnya political will dari pemerintahan untuk melindungi hak-hak masyarakat adat.
Hal ini terlihat dari penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja, KUHP, dan revisi UU Ibu Kota Negara (IKN).
Selain itu, berbagai regulasi terkait agraria dan sumber daya alam dianggap mengandung elemen "penyangkalan" yang kuat terhadap keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisional mereka.
AMAN menilai, persoalan yang menimpa masyarakat adat punya kaitan erat dengan pengesahan UU Cipta Kerja dan absennya penetapan RUU Masyarakat Adat.
Mereka menemukan sejumlah cacat celah dari penerapan UU Cipta Kerja, antara lain bertentangan dengan UUD 1945 dan hukum HAM, serta anti-demokrasi.
"UU Cipta Kerja dianggap bertentangan dengan penghormatan terhadap masyarakat adat yang dijamin dalam UUD 1945," tulis AMAN dalam rilis resmi yang diakses PARBOABOA, Jumat (18/10/2024).
Selain itu, UU Cipta Kerja berpotensi memperluas ancaman perampasan wilayah adat dan meningkatkan ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat adat.
AMAN dalam kajian mereka juga menemukan bahwa UU Cipta Kerja justru menjadi karpet merah untuk investasi yang mengancam pekerjaan tradisional masyarakat adat.
"Hal ini disebabkan oleh upaya penyederhanaan perizinan untuk investasi yang tidak diimbangi dengan pengakuan yang jelas terhadap masyarakat adat."
Terakhir, UU Cipta Kerja berpotensi mengancam kebijakan perlindungan Masyarakat Adat. Banyak Perda yang memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat terancam dicabut oleh pemerintah melalui kewenangan UU Cipta Kerja.
Padahal, "keberadaan peraturan-peraturan ini sangat penting untuk melindungi hak dan keberlangsungan hidup masyarakat adat," pungkas AMAN.
Dengan sejumlah temuan tersebut, konflik yang terjadi atas Masyarakat Adat dapat digolongkan sebagai salah satu pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Pemerintah didesak untuk menghentikan eksploitasi berlebihan terhadap tanah adat untuk kepentingan korporasi dan bisnis, tanpa mempertimbangkan nasib hidup masyarakat.