Ikut Raker DPR Meski Sudah Jadi Tersangka, Rasa Malu dan Etika Eddy Hiariej Dipertanyakan

Anggota DPR RI mempertanyakan kehadiran Wamenkumham, Eddy Hiariej dalam raker karena masih berstatus tersangka. (Foto: Instagram/@eddyhiariej)

PARBOABOA, Jakarta - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edwar Omar Sharif Hiariej, yang juga dikenal sebagai Eddy Hiariej, hampir disuruh keluar dari ruang sidang DPR RI pada Selasa (21/11/2023). 

Kejadian tersebut dipicu oleh pertanyaan tajam dari Anggota Komisi III DPR RI, Beni Kabur Harman (BKH), terkait status tersangka yang menimpa Eddy Hiariej di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pada saat rapat kerja, BKH secara terbuka menyampaikan keberatannya atas kehadiran Eddy Hiariej dalam sidang yang dianggapnya membutuhkan klarifikasi terkait status hukumnya. 

"Di hadapan kita ini, selain Pak Menkumham, ada Wamenkumham, yang, apa ada yang tidak tahu, status beliau ini," ujar BKH dengan tegas.

Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Demokrat itu menegaskan, agar sidang tidak cacat Eddy Hiariej harus menjelaskan status hukumnya sebelum membahas agenda sidang. 

"Kalau tidak, kami usulkan agar yang bersangkutan tidak berada di ruangan ini," tegasnya.

Wamenkumham Eddy Hiariej hanya menampilkan senyum menanggapi usulan BKH. 

Sementara itu, pimpinan sidang, Habiburokhman menjawab BKH dengan mengatakan, tidak ada relevansinya mempertanyakan status tersangka dengan agenda sidang. Sidang pun dilanjutkan.

Rasa Malu dan Etika Pejabat Publik

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) ikut menyoroti kehadiran Eddy Hiariej dalam sidang yang berlangsung di Senayan, dan secara tegas menyampaikan dukungannya terhadap inisiatif BKH untuk menanyakan status hukum Akademisi Universitas Gajah Mada (UGM) itu.

"Seharusnya secara etis, Eddy tidak pantas mewakili pemerintah dalam rapat kerja di DPR," ungkap peneliti Formappi Lucius Karus dalam keterangan tertulisnya kepada PARBOABOA, Rabu (22/11/2023).

Lucius menyoroti norma etika yang biasanya menuntut pejabat yang dihadapkan pada dugaan korupsi atau gratifikasi untuk mengundurkan diri. 

Ia mencatat, selama ini sejumlah partai politik bahkan langsung memberhentikan pejabat dari partainya yang dinyatakan sebagai tersangka.

"Walaupun proses hukum masih akan berjalan, tak berarti seorang yang sudah tersangka harus menunggu keputusan hukum tetap baru mengundurkan diri," tambahnya.

Dalam pandangan Lucius, status tersangka seharusnya sudah cukup membuat yang bersangkutan merasa malu dan karena itu harus mengundurkan diri dari jabatan. 

"Kalau punya malu, sekalian beretika, ya mestinya malulah dengan status tersangka itu. Dan karena malu, seharusnya mundur dari jabatan," tegasnya.

Lucius juga menekankan pentingnya pengunduran diri dari jabatan untuk menghindari potensi conflict of interest, di mana jabatan dapat sesekali berpotensi digunakan untuk menegosiasikan kasus yang menjerat.

Karena itu, Lucius mengapresiasi sikap tegas anggota DPR yang mendeteksi potensi korupsi pejabat publik, termasuk dengan mempertanyakan status hukum Wamenkumham Eddy Hiariej.

"Jadi saya mengapresiasi Pak Benny yang tegas mempertanyakan status hukum, walaupun sayangnya yang ditanya nampak tak cukup punya rasa malu untuk meninggalkan ruang sidang," kata Lucius. 

Apa yang menimpa Eddy, kata Lucius harus menjadi teguran bagi presiden Jokowi agar segera mengevaluasi kepemimpinannya di Kemenkumham. 

"Harusnya presiden segera memberhentikan Eddy ini ketika statusnya sudah menjadi tersangka," tutupnya.

Kasus dugaan gratifikasi Wamenkumham Eddy Hiareij bermula dari laporan Indonesi Police Watch (IPW) ke KPK pada 14 Maret 2023.

IPW melaporkan Eddy karena diduga menerima gratifikasi untuk memberikan jasa layanan hukum kepada seorang pengusaha yang berinisial HH.

Uang gratifikasi itu berjumlah Rp7 miliar dan diterima langsung oleh dua asisten Eddy, YAR dan YAM.

Eddy sempat menanggapi santai laporan IPW, namun sembilan bulan berselang, KPK menetapkan Eddy sebagi tersangka, tepatnya pada Kamis, (9/11/2023).

Editor: Rian
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS