Warga Pulau Rempang Tak Mau Pindah dan Siap Mati Lawan Relokasi

Juru Bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang Galang, Suardi (kanan), menegaskan bahwa warga Pulau Rempang, Kecamatan Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau tidak akan pindah dari kampung tua yang telah mereka ditempati turun-temurun. (Foto: Parboaboa/Muazam)

PARBOABOA, Jakarta – Warga Pulau Rempang, Kecamatan Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau menegaskan tidak akan pindah dari kampung tua yang telah mereka ditempati turun-temurun.

Mereka menolak direlokasi dari kampung yang akan dibangun proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City.

"Kami tidak akan mau pindah meskipun kami berkubur di situ. Karena dengan cara apapun itu tanah ulayat yang menjadi tanggung jawab kami untuk menjaga," tegas Juru Bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang Galang, Suardi, dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (14/9/2023).

Suardi menegaskan, warga Rempang berkomitmen tetap bertahan di kampung tua. Ia juga membantah klaim yang menyebut sebagian warga sepakat direlokasi.

"Apakah itu mereka dapat dari aparat yang menyisir dari rumah ke rumah melewati proses sosialisasi? Kalau dilakukan oleh oknum aparat, sehingga mendapat persetujuan, menurut saya masyarakat hanya ketakutan," tegasnya.

Hingga saat ini, warga di 16 kampung tua masih mempercayakan kepada Keramat untuk menjadi kuasa hukum mereka menyelesaikan konflik dengan Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Bahkan, lanjut dia, warga rela mati demi mempertahankan kampungnya di Pulau Rempang dari rampasan investor asing.

"Sikap warga Rempang tidak akan berubah walaupun kemungkinan buruk terjadi. Karena kami berpikir seperti ini, lawan hidup adalah mati, jika memang kami ditakdirkan mati di tangan pemerintah kami sudah ikhlas, karena itu akan menjadi catatan sejarah buat kami bangsa Melayu yang ada di Pulau Rempang," tegas Suardi.

Keengganan warga pindah, kata dia, bukan karena perihal uang atau rumah ganti rugi yang diberikan pemerintah. Warga hanya ingin mempertahankan kampung tua yang merupakan warisan nenek moyang mereka.

"Ibarat kata Melayu menyampaikan, biarlah kami mati berdiri daripada kami hidup berlutut. Karena kami ingin menjadi tuan rumah di negeri sendiri," kata Suardi.

Sejak 7 September 2023, kondisi Pulau Rempang memanas. Warga menolak kehadiran personel gabungan TNI-Polri yang hendak mengukur batas tanah di kampung mereka.

Pengukuran itu bertujuan untuk pembangunan PSN Rempang Eco City yang didanai investor dari dalam dan luar negeri.

Aktivitas pengukuran itu berujung bentrok antara warga dengan personel gabungan.

Bentrokan dengan aparat juga membuat puluhan warga Rempang mengalami luka-luka dan 8 di antaranya ditangkap polisi karena dianggap sebagai provokator.

Kondisi semakin memanas terjadi pada 11 September di depan Kantor BP Batam. 

Saat itu warga berunjuk rasa menolak penggusuran kampung tua Pulau Rempang. Unjuk rasa itu berujung ricuh, massa merusak kantor BP Batam.

Buntut kericuhan itu, Polresta Barelang menetapkan 34 orang sebagai tersangka.

"Jadi pada saat bentrokan fisik senin lalu telah diamankan 43 orang. Dari 43 orang itu yang memenuhi unsur pidana hanya 34 orang dan telah ditetapkan sebagai tersangka," ujar Kabid Humas Polda Kepri Kombes Zahwani Pandra Arsyad, Rabu (13/9/2023) kemarin.

Puluhan warga Rempang itu kemudian dijerat Pasal 170 KUHP ayat 1 karena secara bersama-sama menyerang atau melakukan kekerasan terhadap orang atau barang.

Asal Usul Warga di Pulau Rempang

Juru Bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang, Galang, Suardi menjelaskan warga di 16 kampung tua Pulau Rempang sudah ada sejak 1843, atau jauh  sebelum Indonesia merdeka.

"Sebelum Indonesia merdeka kita sudah bagian dari Kerajaan yang namanya Kesultanan Riau-Lingga," ujarnya.

Kesultanan Riau-Lingga merupakan Kerajaan Melayu yang didirikan di Pulau Lingga pada tahun 1824 dari pecahan wilayah Kesultanan Johor Riau.

Wilayah kesultanan ini terletak di provinsi Kepulauan Riau dan sebagian kecil Indragiri Hilir.

Adapun pusat pemerintahan Kesultanan Riau-Lingga awalnya berada di Tanjung Pinang, tapi kemudian dipindahkan ke Pulau Lingga.

Kesultanan ini runtuh pada 1911 yang kemudian wilayahnya dikuasai Hindia Belanda.

Suardi menyebut, wilayah kampung tua bekas Kesultanan Riau-Lingga itu merupakan warisan nenek moyang yang tidak boleh dihilangkan.

"Karena itu merupakan amanat dan zuriah dari seorang moyang kami yang bernama Panglima Galang," tegasnya.

Pasca kemerdekaan Indonesia, wilayah kampung tua Pulau Rempang masuk dalam Provinsi Riau dengan ibu kota Pekanbaru.

Namun, pasca reformasi dengan adanya Undang-Undang Otonomi Daerah, Pulau Rempang dimekarkan menjadi satu kecamatan yang bernama Galang dan masuk ke dalam wilayah Kota Batam, di Provinsi Kepulauan Riau.

Hingga 2023, warga Pulau Rempang tak diberikan sertifikat hak milik atas tanah yang mereka duduki itu. Warga hanya diberikan Surat Keterangan Tata Ruang (SKTR).

“Legalitas yang kami dapatkan hanya KTP dan KK. Tapi kalau untuk urusan legalitas tanah kami di-cut tidak bisa mengurus itu,” kesalnya.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS