Warung Kelontong Madura di Tengah Gempuran Ritel Modern

Yoyo, penjaga warung kelontong Madura sedang sibuk merapikan barang-barang jualannya. (Foto: PARBOBOA/Andy Tandang)

PARBOABOA, Jakarta - Jam menunjukkan pukul 02.32 WIB. Suasana jalanan di Poris Gaga Baru, Kecamatan Batu Ceper, Kota Tengerang Banten, tampak sepi. 

Kendaraan yang melintas pun tak banyak. Sesekali hanya terlihat truck pengangkut barang melaju kencang menuju area tol Tanah Tinggi.

Anak-anak muda yang biasanya mangkal di bahu jalan, juga tak nampak. Hanya ada beberapa warung pecel lele yang berjejer kosong di pinggiran trotoar.

Dini hari itu, Yoyo hanya seorang diri. Tangannya menggenggam sebungkus rokok berwarna merah marun. Baru separuh batang yang dibakar. Gumpalan asap putih sesekali keluar dari mulut pria 38 tahun itu.

Beberapa botol bensin kosong terlihat masih berserakan di sebuah kotak kaca berukuran sedang. Galon-galon air isi ulang berjejer di sudut pintu warung berukuran 3x4 meter itu.

Yoyo merupakan salah satu dari sekian banyak perantau asal Madura yang mengadu nasib di Kota Tangerang. 

Ia baru beberapa bulan tinggal di kota Akhlakul Karimah itu. Yoyo datang bersama sang istri, Idha (29), untuk menjaga warung kelontong milik keluarganya.

"Baru jalan 8 bulan, Mas. Punya keluarga," kata Yoyo kepada PARBOABOA, Senin (9/10/2023).

Beberapa bulan lalu, keluarga Yoyo kembali ke kampung halaman. Ia dan istri diminta untuk membantu menjaga warung kelontong tersebut.

Saling tukar jaga seakan menjadi tradisi orang-orang Madura pada umumnya. Sebelum Yoyo, salah satu keluarganya juga sempat menjaga warung yang sama selama 6 bulan. 

"Biasanya gilir mas, kalau uda mau pengen pulang nanti ada yang baru datang jaga," ungkap pria kelahiran Totosan, Kecamatan Batang-batang, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur itu.

Yoyo dan istrinya memutuskan hijrah ke Tangerang lantaran terdesak persoalan ekonomi. Ia tak bisa lagi bertahan hanya dengan mengandalkan hasil panen padi yang menjadi salah satu sumber ekonomi di kampungnya.

Apalagi, kata Yoyo, tak ada hasil pertanian alternatif seperti cengkeh, kakao, kopi dan sejenisnya, yang setidaknya bisa menjadi penopang perekonomian keluarga sebelum musim panen padi tiba.

Di sisi lain, ia dituntut harus memenuhi kebutuhan harian keluarga dan biaya pendidikan anaknya yang saat ini duduk di bangku sekolah dasar (SD) kelas enam.

"Di kampung kan ndak tiap hari ada uang. Di kampungkan pemikirannya satu tahun sekali nanam tembakau, nanam padi. Selesai di situ mau kerja apa gitu. Kalau kita ndak punya anak ga apa-apa, kalau punya anak terus gimana," kata Yoyo.

Sebagaimana lazimnya warung kelontong Madura yang beroperasi 24 jam, Yoyo harus membagi waktu jaga dengan sang istri. Ia jaga di malam hari, sementara istrinya jaga di siang hari.

"Istri biasanya pagi sampai sore, saya dari malam sampai pagi jam 6," kata Yoyo.

Membuka warung selama 24 jam, kata Yoyo, selain karena menjadi kebiasaan orang Madura sejak dulu, tetapi juga untuk mengejar keuntungan lebih di malam hari.

Menurutnya, banyak pembeli yang mendadak mempunyai kebutuhan tengah malam, mulai dari sembako, token listrik, hingga obat-obatan. Hal ini, kata dia, menjadi peluang untuk warung kelontong Madura.

"Uda mulai dulu-dulu kerjanya orang Madura kayak gitu. Ndak ada yang setengah hari kayaknya, kebanyakan non stop," kata Yoyo.

Yoyo tak menampik jika warung buka 24 jam bisa menambah sedikit pendapatan. Dalam catatannya, omset yang didapat bisa mencapai Rp2 juta.

Namun, kata dia, dari total tersebut, yang dikeluarkan untuk biaya stok barang senilai Rp1,8 juta. Artinya, omset bersih yang didapat kurang lebih Rp200 ribu.

Jika dihitung rata-rata dalam sebulan, lanjut Yoyo, pendapatan bersih mencapai Rp6 juta. Dari pendapatan bersih ini kemudian dibagi lagi dengan pemilik warung dan biaya kontrakan.

"Sebulan sekitar 6 juta, potong kontrak 1 juta, sisa 5 juta, itu nanti bagi dua dengan pemilik jadi dapet 2,5 juta per bulan," kata Yoyo.

Dengan hasil yang pas-pasan, Yoyo mengaku bisa mencukupi kebutuhan keluarganya dan bahkan disisihkan untuk tabungan, meskipun jumlahnya tak banyak.

Ia belum berencana untuk membuka warung kelontong sendiri sama seperti beberapa orang Madura lainnya. Selain karena risikonya besar, modal yang disiapkan juga tak sedikit.

"Kalau isteri saya ya ndak mau. Prinsipnya gini mas kalau nggak ada yang ganti itu risikonya kan harus tetap berangkat. Sekarang mahal, kira-kira kalau mau ngisi dari nol paling sedikitnya 200 juta," papar Yoyo.

Meski beroperasi 24 jam, Yoyo mengaku menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari sepi pembeli hingga menurunya omset secara cukup drastis.

Selain itu, kata Yoyo, naik turunnya harga bahan-bahan kebutuhan pokok juga berpengaruh signifikan terhadap daya beli masyarakat. 

"Ada kadang, misalnya kadang pembeli ramai, omset turun. Apalagi kemarin misalnya beras, rokok naik. Dari dulunya agak ramai, mulai barang naik udah ngeluh semua orang-orang. Pendapatan berkurang jadi berpengaruh ke sini. Keluhannya cuma itu doang, naik turunya harga, biasanya beli rokok satu bungkus jadi beli ketengan," ungkap Yoyo.

Sederet masalah ini tak menyurutkan semangat Yoyo untuk tetap bertahan. Apalagi, dengan kehadiran sejumlah ritel modern seperti Indomaret dan Alfamart yang beberapa di antaranya beroperasi 24 jam.

Bagi Yoyo, kompetisi dalam dunia usaha adalah sesuatu yang wajar. Ia tak pernah takut dengan gempuran ritel-ritel modern yang berpotensi menghancurkan ritel-ritel tradisional.

"Itu mah uda ada yang ngatur di atas, tergantung yang di atas. Dia yang ngatur bukan kita yang ngatur. Kalau ramai Alhmdulillah, kalau agak sepi dikit ya Alhamdulilah, gitu aja," kata Yoyo.

"Jangan kalau ramai baru bersyukur, kalau sepi nggak bersyukur itu percuma. Kalau sepi baru doa, kalau rame lupa. Itu yang bisa-bisa menghancurkan warung. Rejeki kan ada yang ngatur mas, bukan saya yang ngatur," sambungnya.

Berawal dari Poteran

Tradisi warung kelontong Madura beroperasi 24 jam tak pernah lepas dari petualangan dagang orang-orang Poteran, sebuah desa kecil yang terletak di Kecamatan Talango, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.

"Pertama buka kan orang Poteran Talango, pertama itu. Awalnya dari sana," ungkap Yoyo.

Menurutnya, banyak orang-orang dari Sumenep dan beberapa kabupten lain di Madura yang mulai belajar berdagang dengan menjadi penjaga warung milik orang Poteran.

Orang-orang Poteran, kata dia, dikenal dengan para pemodal besar yang cukup berpengalaman soal bisnis. Hal ini yang membuat mereka bisa melebarkan bisnisnya hingga membuka empat sampai lima warung kelontong di sejumlah kota di Indonesia.

"Kebanyakan di sini yang pemilik warung itu orang Poteran semua. Kebanyak ikut orang Poteran Talango itu, misal dari timur daya seperti di kampung saya ini," paparnya.

Pengakuan Yoyo juga dibenarkan Abdel (62), yang juga pernah belajar berdagang dari orang-orang Poteran. 

Pria berdarah Baturasang, Kecamatan Tambelangan, Kabupaten Sampang itu mengaku mengikuti orang Poteran sejak belasan tahun silam.

Di tahun 2000-an, Abdel masuk Jakarta dan tinggal di Tanjung Priok, Jakarta Utara, selama beberapa tahun. Ia bersama dua orang lainnya menjadi penjaga warung orang Poteran sebelum akhirnya pindah ke Tangerang dan membuka warung sendiri.

"Uda belasan tahun ikut orang Poteran," kata Abdel kepada PARBOABOA, di warung kelontong miliknya di Cipondoh Indah, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang, Banten, Senin (9/10/2023).

Namun, berbeda dengan Yoyo yang hanya menjaga warung keluarganya, Abdel kini mempunyai warung kelontong sendiri.

"Alhamdulillah, punya sendiri, Mas," ungkapnya.

Ia menjaga warungnya sendiri dibantu sang istri dan dua orang anaknya. Meraka biasanya bergantian jaga selama warung beroperasi 24 jam.

Persoalan tambahan omset juga menjadi alasan Abdel membuka warung selama 24 jam. Selain itu, banyak warga yang beraktifitas tengah malam dan sering membeli barang kebutuhan pokok.

Sejauh ini, kata Abdel, belum ada tantangan yang cukup serius yang berdampak pada nilai omset warung kelontongnya. 

Pengakuan Yoyo dan Abdel juga terkonfirmasi dalam penelitian yang dilakukan Pusat Studi Sosiologi dan Pengembangan Masyarakat (PS2PM), Program Studi Sosiologi, FISIB, Universitas Trunojoyo Madura (UTM).

Dalam penelitian itu menyebutkan, warung kelontong Madura atau warung sembako Madura pertama kali muncul di Jakarta sekitar akhir tahun 1990-an.

Para pemilik warung saat itu berasal dari Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Dari Pulau Madura, mereka lalu merantau ke Jakarta dan menyebar beberapa tahun kemudian ke wilayah Jabodetabek.

Bertahan di tengah Gempuran Ritel Modern

Di tengah gempuran ritel-ritel modern, warung kelontong Madura rupanya masih tetap bertahan dan eksis hingga saat ini. 

Peneliti Indef (Institute for Development of Economics and Finance), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, warung Madura mempunyai segmentasi pasar dan sistem pelayanan yang berbeda dengan ritel-ritel modern yang membuat mereka masih tetap bertahan.

"Segmentasinya sebenarnya lebih ke menengah ke bawah, sementara minimarket mungkin lebih ke menengah atas, dan itu ada perbedaan dari segi harga. Beberapa barang yang dijual di warung Madura harganya jauh lebih kompetitif," ungkap Bhima kepada PARBOABOA, Senin (9/10/2023).

Selain itu, kata dia, kebiasaan warung Mudara yang beroperasi selama 24 jam menjadi salah satu strategi untuk mengambil ceruk pembeli di malam hari.

Apalagi, sejumlah ritel modern tak banyak yang beroperasi seperti warung-warung kelontong Madura. Peluang ini yang juga membuat mereka akan tetap eksis di tengah ekspansi ritel modern.

"Warung Madura hanya menjual barang-barang kebutuhan pokok, sehingga itu adalah barang-barang yang memang bisa dicari, jadi tidak melakukan stok secara besar," kata Bhima.

Di sisi lain, akses ke warung Madura cukup mudah, tak hanya ditemukan di sepanjang jalanan umum, tetapi juga di pumukiman-pemukiman warga.

"Jangkauan juga penting nih. Kalau mini market modern meskipun sekarang ini marak tapi jangkauannya mungkin agak jauh, dari segi biaya transport masih ada uang yang harus dikeluarkan untuk bensin. Tapi kalau warung Madura kan sekarang masuk ke desa-desa sehingga lebih gampang dijangkau, sehingga itu yang mungkin warung Madura tetap eksis dan makin banyak," katanya.

Bagi Bhima, mentalitas orang-orang Madura yang tangguh mendorong mereka untuk terus melakukan ekpansi ekonomi ke berbagai daerah di Indonesia.

Pada saat yang sama, kata dia, solidaritas sesama perantauan asal Madura juga membuat mereka akan tetap bertahan di tengah gempuran persaingan ritel modern.

"Kemudian warung Madura juga bisa dilihat sebagai bentuk bisnis dari persaudaraan komunitas Madura yang mulai ekspansif di banyak kota gitu, karena ada kecenderungan memang orang-orang Madura ini kan punya mentalitas yang tangguh," kata Bhima.

"Jadi warung Madura bisa jualan 24 jam kadang-kadang gantian dengan suami istri itu menunjukkan mentalitas mereka akhirnya mampu bersaing dengan jenis warung atau tempat ritel lainnya," papar Bhima.

Bhima juga menyinggung soal kemunculan warung Madura yang tidak terlepas dari kondisi ekonomi pasca Covid-19 yang berdampak pada ekonomi kelas menengah ke bawah.

"Dimana sebagian tekanan ekonomi di masyarakat kelas menengah ke bawah sehingga preferensi belanjanya lebih fokus untuk pemenuhan kebutuhan pokok, makanan, minuman, perlengkapan mandi," kata bhima.

Sehingga bagi kelas menengah ke bawah yang susah cari kerja dan pendapatannya masih tertekan, kata dia, preferensi belanjanya akan ke warung Madura.

Peritel Tradisional Masih Mendominasi

Pengamat ekonomi, Benyamin Gunawan menilai, sampai saat ini jumlah pelaku bisnis ritel (peritel) tradisional masih mendominasi jika dibandingkan dengan peritel modern. 

"Belum tergantikan sekalipun peritel modern berkembang cukup pesat," kata Benyamin ketika dikonfirmasi PARBOABO, Senin (9/10/2023).

Peritel tradisional, kata dia, masih mengandalkan barang-barang kebutuhan hidup masyarakat, dengan keunggulan dalam menjual kebutuhan pangan hortikultura.

Berbeda dengan peritel modern yang lebih menyasar pembeli kelas menengah ke atas (untuk kebutuhan horti), atau masyarakat yang memiliki sejumlah kebutuhan rumah tangga tahan lama, peritel tradisional justru mampu memenuhi semua level konsumen. 

"Hanya saja untuk peritel tradisional memang harus melewati jalur distribusi yang panjang untuk  memenuhi dagangannya," ungkap Benyamin.

Di sisi lain, kata dia, persaingan pada peritel tradisional ini terlalu banyak. Berbeda dengan peritel modern, meskipun jumlahnya banyak tetapi pemiliknya hanya beberapa orang. 

Sehingga bentuk persaingan sempurna yang ada pada saat ini, kata Benyamin, banyak terjadi antara sesama peritel tradisional. Karena untuk peritel modern tidak menjual semua jenis barang dagangan seperti yang dijajakan peritel tradisional.

"Nah belakangan ini, sudah mulai muncul peritel tradisional yang menjajakan barang dagangan dengan memangkas panjangnya jalur distribusi. Yakni dengan membeli langsung produk ke produsen (petani/peternak/perusahaan) dan dijual ke konsumen," terang Benyamin.

Menurut Benyamin, perkembangan teknologi belakangan ini mampu menjadi jembatan untuk menghubungkan petani dan konsumen lebih dekat.

Namun dalam prakteknya di lapangan, peritel tradisional seperti itu sebagian masih membutuhkan pengecer yang mampu menjajakan barang dagangannya dengan cara cicilan. 

Di tingkat konsumen akhir, lanjutnya, tidak semua konsumen ini mampu membayar dengan cara tunai. Kedekatan dengan pedagang ritel tradisional menjadi kunci mereka untuk memenuhi kebutuhan secara non tunai.

Saat ini, peritel tradisional juga sudah mulai berbenah dengan memberikan pelayanan pembayaran secara digital. Umumnya menggunakan alat pembayaran bernama Qris

"Ke depan transaksi digital di kalangan peritel tradisional perlu ditingkatkan. Selain itu muncul juga peritel tradisional yang menjajakan barang dagangannya 24 jam," jelas Benyamin.

Benyamin menilai, peritel modern dan tradisional sejauh ini memiliki perbedaan yang mendasar khususnya dari produk. Namun, bukan tidak mungkin nantinya ke depan kedua peritel ini memiliki kemampuan yang sama dalam banyak hal. 

Mengingat, perkembangan teknologi memungkinkan keduanya untuk bersaing secara terbuka.

Inovasi pada peritel tradisional ini, kata dia, pada dasarnya bisa sangat beragam, karena ada banyak pelaku di dalamnya. 

"Nah kehadiran peritel tradisional seperti warung Madura ini menjadi salah satu inovasi yang berkembang dan sangat potensial ditiru oleh peritel tradisional lainnya," pungkas Benyamin.

Benyamin juga menggarisbawahi terkait gesekan persaingan yang terjadi di tengah perkembangan teknologi yang mendukung inovasi tersebut.

Menurut dia, jika pemerintah tidak mau kecolongan lagi dalam hal mengatur pasar, maka sebaiknya regulasi yang dibuat harus berdasarkan kepada ekspektasi perkembangan pasar kedepannya. 

"Jadi jangan setelah ada keributan baru regulasi itu dibuat. Sebaiknya mulai dari saat ini regulasi dirancang dengan mengajak para stakeholder merumuskan kebijakan, salah satunya dengan pihak KPPU," katanya.

Walaupun sejauh ini semua peritel terlihat belum mengalami gesekan, Namun kata Benyamin, gesekan antara e-commerce dan social commerce sebelumnya harus menjadi pembelajaran kepada kita semua. 

"Bahwa segala sesuatu yang terlihat baik baik saja sebelumnya, justru menimbulkan gesekan di hari kemudian," kata Benyamin.

Editor: Andy Tandang
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS