PARBOABOA, Jakarta - Akun Twitter Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), @BEMUI_Official diretas orang tak dikenal setelah mengunggah meme Presiden Joko Widodo dengan tulisan 'Jokowi Milik Parpol, Bukan Milik Rakyat', Minggu (21/5/2023).
Meme Presiden Jokowi itu di-posting di Twitter BEM UI pada Sabtu (20/5/2023). Unggahan BEM UI tersebut bahkan sempat viral dan menjadi trending topic, atau topik yang paling banyak mendapat respons hari itu.
Kabar peretasan itu dibenarkan Ketua BEM UI Melki Sedek Huang. Saat itu, kata Melki, akun Twitter BEM UI tiba-tiba keluar atau log out dari seluruh perangkat admin yang mengelola, usai mengunggah meme Jokowi.
"Telah terjadi tindak peretasan terhadap media sosial twitter milik Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI)," ujar Melki dalam keterangan tertulis, Senin (22/5/2023).
Meski diretas, Melki mengaku tak takut untuk terus menyuarakan kritik kepada pemerintah.
"Peretasan membuat BEM UI menjadi lebih berani," tegasnya.
Kasus peretasan terhadap BEM UI bukan baru pertama kali terjadi. Di Juni 2021, akun WhatsApp dan media sosial 4 pengurus BEM UI juga pernah diretas.
Ketika itu BEM UI mengkritik Presiden Jokowi dengan sebutan The King of Lip Service karena dianggap tak pernah menepati janji politiknya.
Pola peretasan pun beda-beda. Ada yang WhatsApp-nya tidak dapat diakses, Telegram-nya diambil alih orang tak dikenal, hingga Instagram-nya dibatasi.
Tak hanya BEM UI, redaksi media pun juga pernah mengalami peretasan.
Pada September tahun lalu, sebanyak 38 awak redaksi Narasi diretas. 31 kasus di antaranya menyasar ke awak redaksi Narasi yang masih aktif bekerja, satu kasus di website, serta tujuh kasus lain dari eks karyawan Narasi. Peretas menyasar akun media sosial seperti Facebook, Telegram, Instagram, hingga WhatsApp.
Data Perkumpulan Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara SAFEnet mencatat, serangan digital selama tiga tahun terakhir mengalami peningkatan.
Pada tahun 2020, ada 147 aduan peretasan, kemudian 2021 meningkat jadi 193 aduan, dan 2022 melonjak jadi 302 laporan. Serangan digital itu paling banyak menyasar kalangan kritis seperti aktivis, jurnalis, media dan organisasi sipil.
Serangan Digital Harus Diusut
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid mendesak Kepolisian segera mengusut kasus peretasan yang dialami BEM UI.
Menurutnya, peretasan itu erat kaitannya dengan suara kritis BEM UI yang selama ini memang kerap mengkritik Presiden Jokowi.
"Kami mendesak aparat kepolisian untuk segera melakukan penyidikan dan menemukan siapa yang melakukan peretasan itu," ujar Usman kepada Parboaboa di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Senin (22/5).
"Kami menduga itu berhubungan dengan suara-suara kritis dari BEM UI yang memang secara berkala menyampaikan kritik ke Pak Jokowi," tambahnya.
Usman juga meminta agar Kepolisian independen menangani kasus peretasan. Aparat penegak hukum itu, lanjutnya, tidak boleh membiarkan serangan siber terhadap kalangan kritis.
"Polisi harus mengusut peretasan tanpa melihat dulu sebab kasusnya apa. Peretasan jelas melanggar hukum, apapun motifnya, apapun sebabnya," tegasnya.
Usman kembali menegaskan, peretasan tidak boleh terjadi kepada siapapun, termasuk organisasi sipil yang memang lantang mengkritik pemerintah.
Apalagi, kata Usman, akun Twitter BEM UI bukanlah akun anonim atau bot yang menyebarkan berita hoaks.
Usman juga meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) turun tangan memberikan perlindungan terhadap pengguna internet, khususnya kalangan kritis seperti BEM UI.
"Kominfo harus memberikan perlindungan terhadap setiap pengguna internet, pengguna media sosial dari peretasan ini," tuturnya.
Tak hanya Kominfo, tetapi platform media sosial juga harus memberikan perlindungan terhadap penggunanya.
"Juga platform media sosial seperti Meta untuk memberikan perlindungan ekstra kepada pengguna yang cukup kritis terhadap pemerintah sehingga terlindungi dari peretasan."
Sementara itu, Advokat senior Bambang Widjojanto menilai peretasan BEM UI sebagai bentuk teror terhadap kalangan kritis di Indonesia.
Menurutnya, peretas tengah unjuk gigi memberikan peringatan kepada kalangan kritis agar tak mengkritik pemerintah.
"Sekarang ini lagi dikasih contoh nih, kalau lu kritis pasti lu diretas. Jadi, peretasan ini bisa membangun suasana ketakutan yang menjadi daya kritis itu melemah," ungkap Bambang kepada Parboaboa di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat.
Menurut dia, kasus peretasan terhadap kalangan kritis bukan pertama kalinya. Hal itu membuat publik bertanya-tanya dimanakah peran negara yang seharusnya melindungi masyarakat.
"Seolah-olah kejahatan muncul, gak bisa ditangani, terus orang diam-diam semua. Terus, besok muncul lagi, muncul lagi, dimana posisi negara?" pungkas eks Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.