PARBOABOA, Jakarta - Rumah sejatinya adalah tempat bagi seorang anak mengalami dan menimbah segala bentuk cinta. Tempat di mana ia tumbuh dengan aman dan nyaman.
Kenyataannya justru seringkali berbalik. Seorang anak malah sering mengalami penyiksaan dan penganiayaan di ruang privat ini.
Mirisnya lagi, acapkali kekerasan terhadap anak ini banyak dilakukan oleh orang terdekat korban, seperti orang tua, saudara, kerabat, hingga pengasuh dan pegawai rumah tangga lainnya.
Terbaru dan sedang menjadi sorotan publik hari ini, Kasus dugaan penganiayaan yang menimpa anak selebgram asal Kota Malang.
Dari rekaman CCTV di tempat kejadian, korban JAP (3), diduga dianiaya oleh pengasuh atau suster yang mengurus korban sehari-hari.
Orang tua korban, Hifdzan Silmi Nur Emyaghnia alias Aghnia Punjabi, mengunggah foto-foto buah hatinya di Instagram pasca kejadian dan menjadi viral.
Buah hatinya menderita akibat biru lebam pada sisi mata dan luka-luka di dekat bibir serta telinga.
Pihak Kepolisian Resor Malang Kota bergerak cepat setelah mendapat informasi tersebut. Bahkan berkat kerja cepat ini pelaku penganiayaan ini, sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Dari informasi yang dikantongi pihak kepolisian, pelaku, IPS berusia 27 tahun diketahui sudah menjadi karyawan (Babysitter)di rumah korban selama kurang lebih satu tahun.
IPS melancarkan aksinya pada 28 Maret pukul 04.18 WIB, saat itu, kedua orang tua korban tengah berada di Jakarta selama dua hari.
Dari CCTV tampak ada beberapa tindakan kekerasan terhadap korban.”Pelaku memukul, menarik telinga, mencubit, dan menindih anak tersebut,” kata Kepala Kepolisian Resor Kota Malang Kota, Kombes Budi Hermanto, dalam siaran pers, Sabtu (30/3/2024).
Lebih lanjut Kombes Buher, menjelaskan bahwa korban dipukul pelaku menggunakan buku, menyiramkan minyak gosok, dan memukul korban dengan bantal.
Rumah Sakit Saiful Anwar Malang kemudian melansir hasil visum. Hasilnya menunjukkan ada luka memar pada mata kiri, luka gores di kuping kanan dan kiri, serta di bagian kening.
Kasatreskrim Polres Malang Kota, Kompol Danang Yudanto, memaparkan berdasarkan pengakuan pelaku, penganiayaan ini terjadi, karena pelaku merasa kesal terhadap korban.
Korban menolak obat untuk menyembuhkan luka cakar.Penolakan itu lantas memancing pelaku untuk melakukan penganiayaan. Selain itu, tersangka mengaku saat itu ada salah satu anggota keluarga yang sakit.
Walau demikian kata Dana, beberapa faktor tersebut, tidak bisa dijadikan alasan pembenaran untuk melakukan kekerasan terhadap anak.
Konsekuensi dari tindakan kejinya tersebut, IPS dijerat dengan UU Perlindungan Anak, Pasal 80 (1) sub (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23/2002 sub Pasal 77 UU No. 35/2014 Perubahan atas UU No. 23/2002, dengan ancaman maksimal penjara 5 tahun dan denda Rp100 juta.
Pengalaman Trauma
Psikolog Universitas Pancasila, Aully Grashinta menyoroti kondisi psikis korban pasca kejadian tersebut.
“Sangat mungkin anak tersebut akan mengalami trauma. Dalamnya trauma tentu harus diperiksa secara khusus.” Jelas Aully kepada PARBOABOA, Selasa (4/03/2024).
Pada anak yang lebih ekstrovert jelasnya, akan lebih mudah untuk mengekspresikan apa yang dirasakannya. Sementara pada anak yang lebih introvert akan lebih sulit untuk mengungkapkan.
Dampak dari trauma bisa muncul dengan gejala takut, cemas, gelisah yang berlebihan bahkan hingga beberapa tahun ke depan terutama jika tidak diatasi dengan cepat.
“Bahkan juga bisa terjadi Post Traumatic Syndrome Disorder, dimana gejala trauma malah muncul setelah kejadian (bisa dalam range minggu, bulan atau tahun),” jelasnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa, anak juga belajar akan kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah. Sehingga sangat mungkin juga melakukan tindakan agresif pada orang lain pada saat emosi.
Kemudian Aully menguraikan langkah-langkah praktis untuk memulihkan psikis korban.
Menurutnya, korban perlu diberi terapi-terapi yang sesuai dengan trauma yang dialami oleh korban. “Biasanya bisa dengan play therapy, konseling dan sebagainya.”
Selain itu jelasnya, lingkungan juga harus mendukung dengan tidak memberi akses pada korban untuk melihat berita, pembicaraan yang kurang sesuai, maupun foto-foto yang bisa mengingatkannya pada hal traumatis tersebut.
Aully juga mendorong orang tua supaya membantu dengan memberi akses pada kegiatan-kegiatan positif menyenangkan yang disukai korban. Bahkan mungkin korban bisa berprestasi sehingga dapat mengembalikan kepercayaan dirinya.
“Beri waktu dan kesempatan bagi anak untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan, apa yang ada dalam pikirannya, apa yang masih ingin diungkapkannya sampai anak mencapai tahap acceptance,” terangnya.
Orang tua juga harapnya, tidak boleh memberikan lagi pengasuhan kepada orang lain sebelum anak benar-benar kembali pulih.
Aully menjelaskan, mengembalikan kepercayaan diri pada anak maupun percaya pada orang lain bukan hal yang mudah dan sebaiknya tidak memaksa anak.
“Dampingi anak sebisa mungkin hingga ia benar-benar merasa aman sampai ia dapat menerima kejadian tersebut dan pulih secara psikologis,” tandasnya.
Tanggung Jawab Penyedia Jasa
Sementara Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI, minta kasus ini tidak bisa hanya diselesaikan mekanisme di kepolisian, dan berhenti pada penghukuman pelaku.
Namun BPKN lebih menyoroti pertanggungjawaban, PT V sebagai pelaku usaha.“Hali diatur dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen". Jelas Ketua Komisi Advokasi BPKN RI, Fitrah Bukhari, yang dikutip PARBOABOA dari keterangannya, Selasa, (2/04/2024).
Fitrah menguraikan, iklan atau promosi dalam laman perusahaan berupa janji jaminan kualitas, layanan, latar belakang serta jaminan penyediaan jasa lulusan terbaik, bisa berpotensi pelanggaran sesuai ketentuan regulasi.
Sebab kata Fitrah, semua ketentuan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Bahkan diduga pelaku memberikan data yang tidak benar.
Artinya terdapat dugaan kelalaian perusahaan dalam kejadian ini, sehingga patut untuk dimintai pertanggungjawaban secara hukum.
Karena itu kata Fitrah, perusahan penyedia jasa tersebut berpotensi, melanggar pasal 8 ayat (1) huruf f UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Apabila terbukti melanggar Pasal ini tersebut, maka PT V dapat ancaman pidana. Sesuai ketentuan Pasal 62 UU Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dapat dikenakan pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda paling banyak 2 miliar rupiah.
Pihak BPKN pun berjanji akan meminta keterangan kepada PT V selaku pelaku usaha penyedia jasa pengasuhan tersebut.
"Kaita butuh keterangan PT V agar insiden ini menjadi terang dan hak konsumen dapat terpulihkan seperti sedia kala" tandas Fitrah.
Sedangkan Ketua BPKN RI, Mufti Mubarok menilai kasus ini sebagai pelajaran sekaligus gerbang masuk untuk melakukan perbaikan tata kelola perusahaan penyedia jasa pengasuhan.
Karena itu, BPKN pun akan memberikan rekomendasi, saran dan perbaikan kepada pemerintah untuk memaksimalkan pelayanan penyedia jasa pengasuh.
Mufti juga menjelaskan, pihaknya siap menerima pengaduan masyarakat terkait kerugian yang diderita jika mengalami kejadian serupa.
Editor: Norben Syukur