Hukum Jadi Alat Politik Penguasa, Anas Urbaningrum: Bukan Peradaban Demokrasi

Hukum tidak boleh jadi alat kekuasaan karena dapat memberi citra buruk terhadap demokrasi. (Foto: Istokphoto/Redtae)

PARBOABOA,Jakarta - Anas Urbaningrum mengeluarkan pesan menohok kepada penguasa. Supaya jangan menjadikan hukum sebagai alat politik. 

Sebab, belakangan ini ramai gelombang opini publik menyuarakan penguasa menggunakan kekuasaan khususnya hukum sebagai alat politik.

“Bahwa saat orang berkuasa ini pelajaran moral buat bangsa ini. Orang yang berkuasa jangan pernah menggunakan kekuasaannya itu untuk memperalat hukum menjadikan hukum sebagai perkakas untuk menghabisi atau menghajar lawan-lawan politiknya atau pesaing politiknya,” ujarnya, Rabu (29/11/2023) melansir podcast Akbar Faizal Uncensored bertema SBY INTERVENSI KPK SUDAH BENAR ANIES TAK JADIKAN AHY CAWAPRES.

Anas meneruskan, bila politik menjadikan hukum sebagai alat menghajar lawan-lawan politik ibarat bukan peradaban hukum, bukan peradaban demokrasi.

“Karena itu bukan peradaban hukum, bukan peradaban demokrasi. Dunia bar-barlah saya kira,” ujarnya.

Anas Urbaningrum juga menjelaskan alasannya kuat menjalankan hukuman pidana di Lapas Sukamiskin selama 9 tahun 3 bulan. Ketika host Akbar Faizal bertanya: Siapa Anda gerangan begitu Anda sabar menghadapi dan menjalani semua ini? tanyanya kepada bekas Ketum Partai Demokrat itu.

“Bila Anda tidak bersalah Anda tidak melakukan kejahatan itu. Maka Anda akan kuat. Mengapa? Karena Anda tahu betul siapa diri Anda dan siapa orang-orang memproses Anda,” ungkap Anas Urbaningrum.

Ia juga menambahkan bahwa, bila konteks politik, citra politik itu sesuatu bersifat profan. Urusannya, ya urusan Dunia. Ibarat bahasa agamanya citra politik permainan saja. 

Tetapi dalam hakikat hidup manusia bukan permainan. Tetapi hakikat hidup manusia adalah sangat ekstensial. 

“Memahami diri saya menempatkan diri dalam hiruk pikuk tekanan hukum, politik, opini. Habis-habisan dicincang-cincang ibaratnya.  Saya tahu melakukan apa dan tidak melakukan apa. Jalani saja,” tuturnya.

Hukum Jadi Alat Kekuasaan Di Bawah Kepemimpinan Sipil

Fenomena hukum jadi alat kekuasaan, juga mendapat sorotan dari Pakar Politik Prof. TB. Massa Djafar. 

Dengan mengutip Pemikir Politik, Robert Dahl, Djafar mengatakan, salah satu ciri utama dari sebuah negara demokrasi adalah tegaknya supremasi hukum. Kekuasaan dibatasi oleh hukum.

Menurutnya, para pendiri bangsa juga telah meletakan dasar yang jelas mengenai konsepsi negara hukum dengan tujuan agar tidak menjadi instrumen kekuasaan.

"Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Para founding fathers kita dengan bijak merancang konstitusi sebagai landasan demokrasi di negeri ini," kata Djafar kepada PARBOABOA, Sabtu (2/11/2023). 

Namun saat ini era kepemimpinan Jokowi. Mayoritas pengamat, kata Djafar berpendapat, bahwa hukum telah menjadi alat kekuasaan. Bahkan di bawah kepemimpinan sipil.

Hal ini menimbulkan keprihatinan terkait dengan konsistensi dan keteguhan supremasi hukum di Indonesia. Djafar menyayangkan potensi pergeseran ini dan menilai bahwa hal tersebut dapat merusak pondasi demokrasi di Indonesia.

"Jika hukum dijadikan alat kekuasaan, kita bukan lagi negara demokrasi. Kita berpotensi menjadi negara kekuasaan atau bahkan otoriter," tegasnya.

Lebih memprihatikan, lembaga penegak hukum sperti, KPK, MK dan aparat keamanan, masuk dalam jebakan dan permainan kekuasaan.

"Baru baru ini, publik dikejutkan oleh pengakuan mantan wakil ketua KPK, Presiden Jokowi intervensi kasus e-KTP Senov, mantan Ketum Golkar agar dihentikan," kata Djafar.

Rentetan gejala ini, terang Djafar telah membentuk opini untuk tidak percaya terhadap pemerintah, termasuk pesimis dengan pelaksanaan pemilu 2024 mendatang.

Sejumlah pemberitaan juga mengisyaratakan ketidakpercayaan politik pada institusi penegakkan hukum dan aparatur. Sebab, berpotensi menjadi bagian dari mesin politik pemilu curang. 

"Dan menariknya Megawati matan Presiden RI dan Ketua Umum PDIP memberi isyarat adanya gejala kearah itu. Ini langkah mundur dari proses demokratisasi yang dibangun susah payah," ujarnya.

Sementara itu, analis politik Ujang Komarudin menegaskan, fenomena hukum sebagai alat politik menjadi bagian dari sejarah politik tanah air, yang terjadi dari masa ke masa.

Karena itu, dalam konteks politik dan hukum di Indonesia, Ujang melihat, penggunaan hukum sebagai alat politik bukanlah sesuatu yang baru atau aneh.

"Kalau kita bicara hukum alat politik dari dulu. Dari setiap rezim dari setiap pemerintahan itu terjadi itu dilakukan. Itu saja, jadi semuanya juga melakukan itu," kata Ujang kepada PARBOABOA.

Ia mengatakan, dari pergantian rezim hingga perubahan pemerintahan, kendali politik atas hukum telah menjadi praktik umum, di mana hukum digunakan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan politik tertentu.

"Ketika suatu rezim berganti, hukum sering kali mengikuti arah perubahan politik tersebut. Ini sudah menjadi pola yang umum terjadi, dan hal ini terus berlangsung hingga saat ini," tambahnya.

Editor: Rian
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS