PARBOABOA, Jakarta - Di Indonesia, bullying atau perundungan telah menjadi masalah serius dan tergolong mengkhawatirkan.
Betapa tidak, efek tindakan ini sering kali membuat korban merasa terkucil, kesepian, dan menderita dalam jangka waktu yang lama.
Beberapa korban bahkan sampai merasa putus asa, hingga dalam kondisi terburuk, mereka memilih untuk mengakhiri hidupnya.
Bullying bisa datang dari mana saja, dan dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu bentuk yang paling ditakuti adalah Cyberbullying atau perundungan melalui media sosial (medsos).
Medsos yang tak punya batas ruang dan waktu bisa membuat siapa saja melakukan sesuatu sesukanya. Di sana, kata-kata bisa begitu tajam, menembus layar dan menusuk hati.
Bagi sebagian orang, luka akibat caci maki, fitnah, umpatan hingga penyebaran konten-konten tak senonoh terasa sulit sekali sembuh.
Hasil penelitian dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada tahun 2023, sebanyak 49 persen dari 5.900 responden mengaku pernah menjadi korban cyberbullying.
Angka yang mengkhawatirkan ini dipicu oleh semakin tingginya penggunaan internet di kalangan anak-anak, sementara pengawasan dari orang tua belum memadai.
Salah satu bentuk cyber bullying yang banyak terjadi berdasarkan penelitian itu adalah flaming, yaitu tindakan mengirimkan pesan atau komentar di media sosial dengan kata-kata kasar dan menyinggung orang lain secara frontal.
Dibandingkan dengan bullying konvensional, cyberbullying memiliki dampak yang lebih parah. Jenis perundungan ini tidak hanya merusak mental, tetapi juga psikologis korban.
Salah satu alasannya adalah kemudahan pelaku dalam melancarkan aksinya, tanpa harus bertemu langsung dengan targetnya.
APJII menunjukkan, banyak orang yang terlibat dalam cyberbullying terhadap individu yang tidak mereka kenal sebelumnya, karena terprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Di sisi lain, jejak digital yang ditinggalkan oleh cyberbullying, baik berupa tulisan, foto, maupun video yang sulit dihapus-membuat korban semakin tak berdaya.
Alhasil, dengan jangkauan yang luas, perundungan ini dapat dengan mudah menyebar dan mengundang lebih banyak orang untuk ikut memberikan komentar.
Dalam penelitian lain, perilaku cyberbullying dapat meningkat karena anonimitas dalam interaksi di dunia maya.
Di balik layar komputer atau ponsel, seseorang bisa menyembunyikan identitasnya dengan mudah. Anonimitas inilah yang menjadi alasan mengapa cyberbullying marak terjadi.
Berbeda dengan perundungan fisik, melalui pola tersebut pelaku cyberbullying merasa lebih aman karena identitasnya tidak terlihat.
Media sosial, forum daring, game online, ruang obrolan, dan aplikasi kencan menjadi ladang subur bagi perundungan ini.
Pesan yang penuh hinaan atau komentar negatif bisa muncul kapan saja, tanpa peringatan, langsung menghantam korban.
Pelaku cyberbullying
Masifnya perundungan melalui medsos, memunculkan pertanyaan penting, yaitu kenapa pelaku tega melakukannya?
Melansir laman resmi RS Siloam, salah satu faktor cyberbullying adalah karena banyak dari mereka (pelaku) memiliki kondisi kejiwaan yang buruk akibat penggunaan perangkat digital secara berlebihan.
Mereka-mereka itu cenderung memiliki sifat agresif, impulsif, dan hiperaktif. Beberapa di antaranya bahkan memiliki riwayat penyalahgunaan obat atau alkohol.
Tak hanya itu, kadang, pelaku cyberbullying dulunya adalah korban yang mencoba melawan. Setelah merasakan pahitnya menjadi target bullying, mereka merasa terdorong untuk membuat orang lain merasakan penderitaan yang sama.
Luka yang mereka alami berubah menjadi dorongan untuk membalas, menciptakan lingkaran kekerasan yang seakan tak ada ujungnya.
Bagi beberapa orang lain, cyberbullying adalah bentuk balas dendam. Konflik pribadi, perselisihan, atau perpisahan yang menyakitkan sering kali memicu seseorang untuk menyerang mantan teman atau pasangan di dunia maya.
Rasa sakit dan kemarahan yang mereka rasakan dituangkan dalam kata-kata kasar dan komentar pedas, seolah-olah dengan begitu, rasa sakit mereka akan berkurang.
Namun, alasan tidak selalu sekelam itu. Ada pula yang melakukannya sekadar karena bosan. Mereka mencari hiburan dengan cara yang merusak, menggunakan akun palsu untuk menyerang siapa saja tanpa takut ketahuan.
Bagi mereka, ini hanya permainan—tidak ada tanggung jawab, tidak ada konsekuensi.
Selebihnya alasan lain yang lebih kompleks adalah rasa kesepian. Kesepian yang mendalam dan perasaan diabaikan membuat mereka terisolasi.
Dalam kegelapan itu, cyberbullying menjadi cara untuk mengekspresikan perasaan frustrasi mereka. Dengan menyerang orang lain, mereka berharap mendapatkan perhatian, meski hanya dalam bentuk komentar balik yang penuh amarah.
Apa yang Harus Dilakukan
Dalam situasi tertentu, banyak orang tak sadar bahwa tindakan mereka di dunia maya sudah masuk kategori cyberbullying.
Itu artinya, siapapun bisa menjadi pelaku dan korban bullying. Dalam kondisi ini apa yang harus dilakukan?
Sejumlah ahli dan pakar menyarankan beberapa hal berikut ini.
Pertama, mencoba menjadi pribadi yang lebih baik adalah langkah penting untuk meredam keinginan melakukan bullying.
Daripada terus terjebak dalam siklus kekerasan, belajar mencintai diri sendiri (self-love) dengan bantuan psikolog atau psikiater bisa menjadi pilihan yang lebih bijak.
Selain itu, memahami dan menerima diri sendiri dapat membantu mengurangi kebutuhan untuk melukai orang lain.
Kedua, jika dorongan untuk melakukan cyberbullying datang dari rasa kesepian dan kurangnya perhatian, cobalah membangun hubungan sosial yang lebih baik.
Terlibat dalam kegiatan sukarela atau ekstrakurikuler yang sesuai dengan minat bisa menjadi cara efektif untuk mengalihkan energi negatif menjadi positif.
Interaksi dengan orang lain yang memiliki minat yang sama juga dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan mendukung.
Ketiga, kalau dorongan itu muncul hanya karena kebosanan, carilah kegiatan baru yang lebih bermanfaat.
Melakukan aktivitas yang disukai, seperti belajar keterampilan baru, berolahraga, atau mengikuti hobi, jauh lebih menyenangkan dan membawa dampak positif daripada terjebak dalam tindakan cyberbullying.
Mengisi waktu dengan hal-hal yang produktif dan menyenangkan akan membantu mengurangi kebosanan dan menciptakan kehidupan yang lebih berarti.
Sementara itu, untuk para korban, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi rasa cemas dan depresi akibat penindasan di dunia maya.
Salah satunya adalah dengan menghentikan semua interaksi dengan kelompok atau orang yang melakukan cyberbullying.
Jika memungkinkan, blokir akun-akun pelaku di media sosial untuk mencegah mereka menghubungi lagi. Simpan semua bukti, seperti pesan atau komentar yang bersifat mengancam atau menghina, dan laporkan pelaku ke pihak berwajib.
Selain itu, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional dengan berkonsultasi kepada psikolog atau psikiater.
Untuk mencegah terjadinya cyberbullying, setiap orang bisa mulai dengan berusaha memahami perasaan orang lain dan berpikir dengan bijak sebelum mengungkapkan pendapat di dunia maya.
Menghormati orang lain, meskipun hanya berinteraksi melalui internet, sangat penting. Kita juga perlu mengembangkan sikap toleransi terhadap perbedaan, seperti perbedaan suku, ras, agama, gender, dan pandangan hidup.
Yang tidak kalah penting, jika menemukan kasus cyberbullying, penting untuk ikut menghentikannya agar tidak ada yang merasa tertekan atau tersakiti.
Editor: Gregorius Agung