PARBOABOA, Jakarta - Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh pada 23 Juli 2025 kembali menjadi momentum penting dalam memperkuat komitmen Indonesia terhadap pemenuhan hak anak.
Tahun ini, tema utama yang diangkat adalah “Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045”, sebuah seruan untuk menyiapkan generasi masa depan yang unggul, tangguh, dan mampu bersaing.
HAN bukan sekadar perayaan tahunan, tetapi sebuah pengingat kolektif bahwa anak-anak merupakan bagian integral dalam proses pembangunan bangsa.
Mereka memiliki hak untuk hidup, tumbuh kembang, perlindungan, dan partisipasi sosial yang wajib dijamin oleh negara, masyarakat, keluarga, dan semua pihak yang terlibat dalam kehidupan mereka.
Melalui tema yang diusung, negara ingin menegaskan bahwa kualitas anak hari ini adalah investasi jangka panjang untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur.
Anak-anak yang diberi ruang tumbuh dalam ekosistem yang aman, sehat, dan mendukung akan menjadi agen perubahan di berbagai lingkup seperti keluarga, masyarakat, bahkan dunia.
Oleh karena itu, pemerintah mengajak seluruh unsur masyarakat, termasuk keluarga, institusi pendidikan, media, komunitas, hingga sektor swasta, untuk bahu-membahu membentuk lingkungan yang inklusif dan ramah anak.
Prinsip ini sejalan dengan arah pembangunan berkelanjutan yang menjadikan kesejahteraan anak sebagai salah satu indikator keberhasilan bangsa.
Penetapan HAN sendiri merujuk pada tonggak penting dalam sejarah perlindungan anak di Indonesia, yakni pengesahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang terjadi pada 23 Juli 1979.
Undang-undang ini menegaskan bahwa setiap anak memiliki hak atas pengasuhan dan perawatan, baik dari orang tua, keluarga, maupun negara.
Sejak saat itu, tanggal 23 Juli diperingati sebagai simbol komitmen nasional dalam menjamin kesejahteraan anak-anak Indonesia.
Peringatan HAN 2025 akan mengadopsi pendekatan desentralisasi, di mana kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah diberi keleluasaan untuk mengadakan kegiatan secara mandiri sesuai konteks dan kapasitas masing-masing wilayah.
Meski puncak perayaan jatuh pada 23 Juli, kegiatan dapat dilangsungkan sebelum atau sesudahnya, sebagai bagian dari kampanye yang lebih luas untuk menanamkan budaya peduli anak di seluruh lapisan masyarakat.
Rangkaian kegiatan dirancang agar melibatkan partisipasi aktif anak, mulai dari pameran karya, lomba, diskusi, hingga kampanye perlindungan dan forum suara anak.
Dengan cara ini, peringatan HAN tidak hanya menjadi ajang simbolik, tetapi juga sarana edukatif dan pemberdayaan anak yang bermakna guna menciptakan generasi Indonesia Emas 2045.
Kondisi Anak Indonesia
Dalam peringatan HAN tahun ini, penting untuk diingat bahwa banyak anak Indonesia hidup dalam bayang-bayang kekerasan, bahkan di rumah sendiri sebagai tempat yang seharusnya paling aman bagi mereka.
Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 mencatat bahwa satu dari dua anak usia 13–17 tahun pernah mengalami kekerasan, baik secara fisik, emosional, maupun seksual.
Angka ini mencerminkan betapa serius dan meluasnya persoalan kekerasan terhadap anak di berbagai lini kehidupan mereka.
Lebih lanjut, Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) mencatat sebanyak 15.615 kasus kekerasan hingga Juli 2025.
Dari jumlah tersebut, 6.999 kasus merupakan kekerasan seksual. Ironisnya, lebih dari separuh kekerasan itu terjadi di lingkungan rumah tangga dengan mayoritas korban berusia antara 13 hingga 17 tahun.
Bentuk kekerasan seksual yang dialami anak-anak dan remaja tidak terbatas pada kontak langsung.
Kekerasan juga berlangsung di ruang digital, termasuk pelecehan verbal, pemaksaan tindakan seksual, eksploitasi melalui pernikahan anak, hingga tekanan untuk mengirimkan konten seksual secara daring.
Semakin terbukanya akses ke dunia maya membawa tantangan baru dalam menjaga anak-anak dari bentuk kekerasan yang kasat mata.
Menyikapi kondisi ini, CEO Save the Children Indonesia, Dessy Kurwiany Ukar dalam rilis pada Rabu (23/7/2025) menyampaikan keprihatinannya terhadap masih minimnya ruang aman bagi anak.
Ia menekankan bahwa ketika rumah kehilangan fungsinya sebagai tempat perlindungan, maka ada krisis dalam sistem perlindungan yang harus segera diatasi.
Dalam pandangannya, semua pihak memiliki peran di mana negara harus hadir, keluarga mesti sadar, sekolah wajib peduli, dan masyarakat turut menjaga.
Sebagai bagian dari upaya memperkuat sistem perlindungan anak, Save the Children Indonesia terus melakukan intervensi di berbagai wilayah melalui pendekatan yang menyeluruh dan berkelanjutan.
Di tingkat komunitas dan sekolah, pendampingan dilakukan untuk membangun sistem pencegahan kekerasan, memperkuat standar operasional penanganan kasus, serta mendorong praktik pengasuhan positif dalam keluarga.
Kesadaran akan bahaya perundungan dan kekerasan juga ditanamkan melalui pendekatan yang melibatkan anak secara aktif, termasuk pembentukan "Digital Youth Council" sebagai wadah partisipasi anak di ruang digital.
Di sisi kebijakan, Save the Children secara konsisten mendorong perumusan regulasi yang berangkat dari suara anak-anak dan fakta di lapangan.
Mereka terlibat dalam berbagai dialog kebijakan untuk memastikan perlindungan yang diberikan tidak hanya tertulis di atas kertas, tetapi benar-benar menjawab tantangan yang dihadapi anak-anak setiap hari.