Belajar dari Ensiklik dan Lawatan Paus Fransiskus di Indonesia

Pemimpin Gereja Katolik Dunia sekaligus Kepala Negara Vatikan, Paus Fransiskus saat mengunjungi Masjid Istiqlal di Jakarta. (Foto: Dok.vaticannews)

PARBOABOA, Jakarta - Paus Fransiskus baru saja memulai perjalanan apostolik ke Asia dan Pasifik, menandai momen bersejarah bagi Indonesia.

Setelah 35 tahun, pemimpin tertinggi Gereja Katolik ini kembali menginjakkan kaki di tanah air. 

Paus Fransiskus tiba di Bandara Soekarno-Hatta pada Selasa, 3 September, sekitar pukul 11.16 WIB, menggunakan pesawat ITA Airways, maskapai nasional Italia.

Kedatangan Paus disambut hangat oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, sementara dua anak mengenakan baju adat Indonesia memberikan karangan bunga sebagai penghormatan.

Momen ini istimewa, karena Indonesia menjadi negara pertama yang dikunjungi dalam perjalanan apostolik Paus kali ini.

Ini merupakan kali pertama Paus Fransiskus datang ke Indonesia, membawa pesan persatuan, perdamaian, dan kasih universal.

Kehadiran Paus Fransiskus di Indonesia menjadi momen penting yang melampaui batas agama, menyatukan berbagai lapisan masyarakat dalam menyimak pesan-pesannya.

Salah satu bentuk utama dari pesan yang disampaikannya adalah ensiklik, sebuah dokumen penting yang berfungsi sebagai panduan moral dan spiritual tidak hanya bagi umat Katolik, tetapi juga bagi seluruh umat manusia.

Ensiklik ini mengandung berbagai ajaran teologis hingga tanggapan terhadap isu-isu sosial yang relevan.

Selama masa kepemimpinannya, Paus Fransiskus telah menerbitkan beberapa ensiklik penting, yang menyoroti masalah lingkungan, persaudaraan, dan ekonomi.

Tiga ensiklik utama yang ditulis Paus Fransiskus adalah Lumen Fidei (2013), Laudato Si’ (2015), dan Fratelli Tutti (2020).

Masing-masing ensiklik ini membawa pesan kuat yang menyentuh berbagai aspek kehidupan.

Lumen Fidei (2013) – Cahaya Iman

Ensiklik pertama Paus Fransiskus, Lumen Fidei, mengusung tema iman sebagai cahaya yang memandu kehidupan manusia.

Meski sebagian besar isinya ditulis oleh Paus Benediktus XVI, Paus Fransiskus menyelesaikan karya ini dan menekankan pentingnya iman dalam kehidupan individu dan masyarakat.

Menurut Paus, iman bukan sekadar urusan pribadi, tetapi memiliki dimensi sosial yang kuat. Iman membantu manusia melihat dunia dengan pandangan yang lebih luas dan mendalam, serta memperkuat komunitas yang didasari oleh cinta dan kebenaran.

Laudato Si’ (2015) – Terpujilah Engkau

Ensiklik kedua, Laudato Si’, adalah salah satu karya yang paling dikenal dari Paus Fransiskus, yang fokus pada krisis lingkungan.

Paus mengecam kerusakan alam yang disebabkan oleh ulah manusia, terutama perubahan iklim, dan menyerukan tanggung jawab moral umat manusia untuk melindungi bumi.

Dalam surat ini, Paus menyebutkan bahwa bumi adalah "rumah bersama" semua makhluk, yang harus dijaga dan dilindungi.

Selain itu, ia menyoroti ketimpangan sosial yang semakin dalam, di mana orang miskin sering menjadi korban terbesar dari kerusakan lingkungan.

Fratelli Tutti (2020) – Semua Bersaudara

Ensiklik ketiga, Fratelli Tutti, ditulis Paus Fransiskus pada saat dunia sedang menghadapi pandemi COVID-19.

Surat ini membawa pesan persaudaraan universal dan solidaritas antar umat manusia, terlepas dari perbedaan agama, budaya, atau negara.

Paus mengajak seluruh umat manusia untuk bersatu melawan ketidakadilan sosial, diskriminasi, dan intoleransi.

Ia juga mengkritik budaya individualisme yang memecah belah masyarakat, serta menyerukan adanya kerja sama antarbangsa untuk membangun dunia yang lebih adil dan damai.

Paus Sebelumnya

Sebelum kedatangan Paus Fransiskus, Indonesia pernah menerima kunjungan dua Paus lainnya: Paus Paulus VI pada tahun 1970 dan Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1989.

Keduanya memiliki misi yang berbeda, namun tetap meninggalkan jejak yang dalam di hati umat Katolik Indonesia.

Paus Paulus VI (1970)

Kedatangan Paus Paulus VI pada 1970 merupakan kali pertama seorang Paus menginjakkan kaki di Indonesia.

Meskipun kunjungan ini tidak bersifat resmi, melainkan kunjungan singkat, tetap menjadi momen penting dalam sejarah hubungan diplomatik antara Indonesia dan Vatikan.

Pada 3-4 Desember 1970, Paus Paulus VI bertemu dengan Presiden Soeharto di Istana Merdeka. Dalam pertemuan tersebut, Paus mengapresiasi Indonesia atas kemajuan dan nilai-nilai spiritual yang dihormati di negara ini.

Selain pertemuan dengan Soeharto, Paus juga menyempatkan diri untuk mengunjungi Gereja Katedral Jakarta, di mana ia bertemu dengan para imam dan biarawati.

Paus juga memimpin misa besar di Stadion Senayan yang dihadiri ribuan jemaat dari seluruh Indonesia. Misa tersebut menjadi salah satu acara puncak kunjungan singkat Paus Paulus VI ke Indonesia.

Paus Yohanes Paulus II (1989)

Sembilan belas tahun setelah kedatangan Paus Paulus VI, Indonesia kembali kedatangan seorang Paus, kali ini Paus Yohanes Paulus II, yang melakukan kunjungan resmi kenegaraan selama enam hari, dari 9 hingga 14 Oktober 1989.

Kunjungan ini menjadi sorotan, karena selain mengunjungi Jakarta, Paus Yohanes Paulus II juga meluangkan waktu untuk menjelajahi beberapa kota di Indonesia, seperti Yogyakarta, Maumere, Dili (saat itu bagian dari Indonesia), dan Medan.

Pada hari pertama, Paus Yohanes Paulus II bertemu dengan Presiden Soeharto di Istana Merdeka dan mengadakan misa besar di Stadion Utama Senayan yang dihadiri lebih dari 125.000 jemaat.

Paus mengungkapkan kekagumannya terhadap ideologi Pancasila dan berpesan kepada umat Katolik Indonesia untuk terus memperkuat iman kepada Kristus.

Ia juga menyerukan agar kasih dan perdamaian selalu ditebarkan, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.

Kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia menegaskan komitmen Vatikan terhadap persaudaraan antarbangsa dan hubungan baik dengan Indonesia.

Ini juga menandai sejarah penting dalam hubungan diplomatik antara kedua pihak.

Pilih Indonesia

Uskup Agung Jakarta, Mgr Ignatius Kardinal Suharyo, mengungkapkan bahwa Paus Fransiskus sengaja memilih Indonesia bukan semata-mata karena statusnya sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia.

Paus Fransiskus memiliki ketertarikan spesifik untuk mempelajari Islam di Indonesia yang dianggap unik dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Pakistan atau Timur Tengah.

Dalam konferensi pers yang diadakan pekan lalu, Ignatius menjelaskan bahwa Vatikan secara khusus ingin mempelajari karakter Islam di Indonesia.

Menurutnya, Islam di Indonesia memiliki sifat yang berbeda dan menarik perhatian Vatikan untuk memahami lebih dalam. Ignatius kemudian merujuk pada sejarah bangsa Indonesia, tepatnya ketika sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, yang menandai lahirnya Pancasila sebagai dasar negara.

Ignatius menggambarkan momen penting ketika PPKI merumuskan Undang-Undang Dasar 1945.

Awalnya, rancangan tersebut mengandung Piagam Jakarta yang menyebutkan syariat Islam bagi umat Muslim, namun atas kesepakatan para pendiri bangsa, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus, menjadikan Indonesia sebagai negara yang bukan berdasarkan agama, melainkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ignatius menekankan bahwa para tokoh Islam saat itu menunjukkan kebesaran hati dengan mengutamakan persatuan bangsa.

Vatikan, menurut Ignatius, sangat mengagumi Pancasila sebagai cerminan kerukunan antar umat beragama di Indonesia.

Paus Fransiskus sering mengundang tokoh-tokoh Islam Indonesia untuk berdialog, menunjukkan minat Vatikan yang mendalam terhadap kerukunan yang tercipta di tanah air.

Namun, Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan mencatat bahwa kebebasan beragama di Indonesia pada tahun 2023 belum menunjukkan perubahan signifikan.

Masih ada sejumlah kasus terkait penolakan pembangunan rumah ibadah, peningkatan laporan penodaan agama akibat video viral, dan diskriminasi terhadap penganut kepercayaan.

Meski jumlah kasusnya dianggap tidak banyak, koalisi ini menilai bahwa persoalan tersebut masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah.

Ignatius mengakui bahwa ada tantangan terkait kebebasan beragama di Indonesia, tetapi menurutnya, hal itu masih dalam batas wajar mengingat kompleksitas bangsa yang terdiri dari beragam budaya dan latar belakang.

Sementara itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyambut baik rencana kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia.

Dalam pernyataan resminya, Muhammadiyah memuji kesederhanaan Paus yang menggunakan pesawat komersial dan tidak menginap di hotel berbintang.

Hal ini dinilai sebagai teladan yang patut dicontoh oleh para pemimpin bangsa.

Muhammadiyah juga menekankan pentingnya kunjungan Paus sebagai simbol keterbukaan dalam dialog antaragama, khususnya hubungan antara Islam dan Katolik.

Kunjungan tersebut diharapkan dapat memperkenalkan Indonesia sebagai negara yang pluralis dan rukun kepada dunia internasional.

Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, juga menyampaikan sambutan hangatnya atas kedatangan Paus.

Ia berharap kunjungan ini akan semakin memperkuat kerukunan dan persaudaraan antar umat beragama di Indonesia serta membawa dampak positif bagi perdamaian global.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS