Candaan Zulhas soal Shalat, Bendung Fanatisme atau Penistaan Agama?

Kontroversi candaan Shalat Zulkifli Hasan, antara bendung fanatisme atau penodaan agama. (Foto: Instagram/@zul.hasan)

PARBOABOA, Jakarta - Candaan shalat Ketua Umum (Ketum) Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan (Zulhas) yang menginggung masyarakat enggan mengucapkan kata 'aamin' setelah Al-Fatihah terus menjadi perbicangan hingga saat ini.

Tendensi politik dari pernyataan tersebut sulit dibendung. Selain karena kata aamin berhubungan dengan salah satu pasangan capres-cawapres, juga karena lanjutan dari peryataanya di atas disertai dengan ucapan yang menonjolkan keunggulan pasangan tertentu.

Hal ini terekam kala ia mengatakan, "saat ini banyak yang tidak lagi mengangkat jari telunjuk saat tayihat melainkan mengangkat dua jari, saking cintanya sama Prabowo Subianto," merujuk capres yang ia dukung.

Namun lebih dari sekedar candaan, apa yang disampaikan Zulhas, kini menjadi polemik karena menyentuh wilayah sensitif di tengah-tengah masyarakat, yakni agama. Bahkan tidak sedikit yang mengaitkannya dengan penistaan agama.

Lantas, apakah itu sebuah bentuk penistaan agama? Wakil Ketua Umum (Waketum) PAN, Yandri Susanto mengatakan, Zulhas tidak punya niat sedikitpun melalukan penodaan agama.

Selain karena Zulhas seorang Muslim yang taat, kata Yandri, pernyataan itu sebenarnya tidak terlepas dari kritikan terhadap praktek ajaran agama yang cenderung kaku.

Ia menegaskan, menjelang pemilu masyarakat tidak boleh dijejali fanatisme berlebihan karena dapat menimbulkan keretakan di tengah-tengah masyarakat. 

Yandri mengatakan, "dengan candaan tersebut, pak Zulhas ingin mendamaikan perseteruan akibat ketegangan politik di tengah-tengah masyarakat."

Penistaan Agama

Hal berbeda disampaikan oleh Pakar Politik Prof. TB Massa Djafar. Ia mengatkan, pernyataan Zulhas merupakan suatu bentuk penistaan agama yang terjadi dalam dunia politik. 

Djafar mengatakan, ini bukanlah yang pertama kalinya publik menyaksikan serangkaian kejadian serupa, dimana agama dipermainkan dengan begitu kebablasan di arena politik. 

"Kasus Zufhas adalah kasus pelecehan agama untuk kesekian kali yang dilakukan oleh para politisi masuk ke ranah politik, baik disengaja maupun tidak," kata Djafar kepada PARBOABOA, Sabtu (23/12/2023).

Ia juga menyoroti ironi dalam kasus Zulhas, mengingat PAN mengidentifikasi dirinya sebagai partai nasionalis-religius dan mendapat dukungan utama dari pemilih Muslim.

"Hal ini jadi kontoversi yang memancing reaksi keras dari berbagai kalangan, menggugat pernyataan Zulhas yang tak pantas dilakukan," katanya.

Kasus pelecehan agama seperti ini juga Kata Djafar, sering kali terjadi karena kurangnya kesadaran dan pemahaman terhadap sensitivitas masyarakat terkait agama. 

Karena itu seharusnya politisi lebih bijak dalam menyampaikan pesan dan tindakan mereka, mengingat dampak yang signifikan terhadap stabilitas sosial.

"Salah tempat, salah alamat, tidak kontekstual dan relevan. Bahkan tidak ada urusannya dengan kebutuhan publik. Sikap pongah seperti itu, cermin, politik itu lebih pada kepentingan politik pribadi, nafsu, lepas kontrol."

KH Muhyiddin Junaidi, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), juga menilai pernyataan Zulhas terang-terangan sebagai bentuk penistaan agama.

Dari aspek hukum, kata KH Muhyiddin Junaidi, Zulhas memperolok dan mempermainkan agama demi kepentingan politik. Ia mendorong MUI agar segera memanggil yang bersangkutan, memberikan klarifikasi sehingga dapat membendung situasi chaos.

Fokus ke Agenda yang Berkualitas

Prof. TB Massa Djafar mengatakan, ketimbang memperuncing situasi dengan narasi-narasi yang tidak berbobot, para politisi sebaiknya fokus pada agenda yang berkualitas, memenuhi janji kampanye, dan memperjuangkan isu-isu substansial menyonsong pemilu.

"Ada banyak yang bisa diperjuangkan, seperti pangan, Energi murah, kerusakan lingkungan korupsi, ketimpangan sosial ekonomi, kebocoran dan manipulasi anggaran, penjarahan kekayaan negara dll," katanya.

Ia mengajak para politisi untuk menggunakan masa kampanye sebagai platform untuk adu gagasan dan mempertimbangkan jejak rekam mereka dalam menyelesaikan masalah-masalah krusial.

Ia mengatakan, "demi keberlanjutan demokrasi, para politisi harus siap dengan gagasan dan pesan politik yang lebih mengedukasi, mendidik, dan memberdayakan masyarakat."

Ia juga meminta masyarakat agar tidak mudah terpancing dan memberikan respons berlebihan terhadap pernyataan kontroversial politisi yang tidak memberikan nilai edukasi dan mencerdaskan masyarakat.

Editor: Rian
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS