PARBOABOA, Jakarta - Komisi III DPR RI telah menyelesaikan tahapan uji kelayakan dan kepatutan terhadap 10 calon pimpinan (capim) KPK masa jabatan 2024–2029.
Proses ini berlangsung selama dua hari, yaitu pada Senin (18/11/2024) dan Selasa (19/11/2024), di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Pada hari pertama, empat calon pimpinan (capim) diuji, yaitu Setyo Budiyanto (perwira tinggi Polri), Poengky Indarti (mantan Komisioner Kompolnas), Fitroh Rohcahyanto (mantan Direktur KPK), dan Michael Rolandi Cesnanta (eks pejabat BPKP).
Keesokan harinya, enam capim lainnya, yaitu Ida Budhiati (mantan anggota DKPP), Ibnu Basuki Widodo (hakim), Johanis Tanak (Wakil Ketua KPK), Djoko Poerwanto (perwira tinggi Polri), Ahmad Alamsyah Saragih (mantan anggota Ombudsman), dan Agus Joko Pramono (mantan Wakil Ketua BPK) menjalani proses serupa.
Meski proses seleksi capim terus bergulir, sejumlah pengamat menilai efektivitas KPK akan sulit maksimal selama Undang-Undang KPK 2019 tidak dikembalikan ke bentuk awal.
Herdiansyah Hamzah, peneliti dari Pusat Studi Anti-Korupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, menyatakan bahwa revisi tersebut telah melemahkan fungsi lembaga antirasuah.
“Selama revisi UU KPK ini tetap dipertahankan, KPK hanya akan menjadi lembaga yang tak bertaring, seperti macan ompong,” ungkapnya, Selasa (19/11/2024).
Ia menyoroti kesulitan KPK dalam menangani kasus besar, termasuk penangkapan buronan Harun Masiku, sebagai bukti konkret lemahnya kewenangan lembaga tersebut.
“KPK kini terlihat enggan untuk tegas menghadapi kekuasaan. Itu adalah dampak nyata dari revisi UU KPK,” ujarnya.
Castro, sapaan akrabnya menegaskan bahwa selama revisi UU KPK yang melemahkan kewenangan lembaga tidak dikembalikan ke bentuk semula, KPK akan kehilangan taring.
“Selamanya KPK akan terus menjadi lembaga yang lemah dan gagal mengembalikan wibawanya seperti di masa awal pendiriannya," pungkasnya.
Senada, peneliti Transparency International Indonesia (TII), Agus Sarwono, menilai bahwa pengembalian UU KPK lama akan memperkuat independensi lembaga tersebut.
“Dengan kembalinya UU lama, KPK dapat bekerja lebih baik dan memperoleh kepercayaan publik,” ujarnya, Selasa (19/11/2024).
Diketahui, UU Nomor 19 Tahun 2019 telah mengubah secara signifikan struktur dan fungsi KPK, serta melemahkan lembaga antirasuah itu.
Beberapa perubahan utama yang terjadi antara lain, KPK kini beroperasi sebagai lembaga penegak hukum yang berada di bawah pengawasan internal dan eksternal.
Perubahan lain, yakni anggota staf KPK yang sebelumnya berasal dari berbagai latar belakang kini berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN).
Selain itu, kewenangan dalam mengelola sumber daya manusia yang sebelumnya dilakukan secara mandiri, kini harus melalui mekanisme pengelolaan yang terikat dengan birokrasi.
Perubahan-perubahan tersebut memunculkan pandangan bahwa revisi UU KPK berpotensi melemahkan kewenangan dan independensi lembaga antikorupsi tersebut.
Beberapa pihak mendorong Presiden Prabowo untuk mengambil langkah konkret, seperti menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), guna mengembalikan UU KPK ke bentuk awalnya.
Diky Anandya, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), menilai langkah ini sebagai bentuk nyata komitmen pemberantasan korupsi yang kerap digaungkan Prabowo.
“Komitmen itu tidak cukup hanya pidato berapi-api, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan konkret, seperti mendorong revisi UU KPK masuk dalam Prolegnas atau menerbitkan Perppu,” tegas Diky, Selasa (19/11/2024).
Mantan pimpinan KPK, Busyro Muqoddas, juga menyerukan pengembalian UU KPK lama untuk memperkuat wewenang lembaga tersebut.
“Dengan menghidupkan kembali UU KPK 2002, KPK dapat mengembalikan marwahnya dan menjalankan fungsinya secara penuh,” kata Busyro dalam sebuah diskusi belum lama ini.
Bersih dari Intervensi Politik
Mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo, menekankan pentingnya memilih kandidat yang bersih dari kepentingan politik dan memiliki komitmen kuat terhadap pemberantasan korupsi.
"Walaupun undang-undangnya lemah, jika para pemimpin lembaga ini memiliki integritas dan bersikap independen, mereka tetap mampu menciptakan perubahan," ujarnya.
Sementara itu, Agus Sarwono dari TII meminta Komisi III DPR memastikan para capim yang dipilih memiliki rekam jejak yang bersih, tanpa konflik kepentingan.
Ia juga mengingatkan bahwa latar belakang calon, seperti berasal dari ASN atau aparat penegak hukum, berpotensi mengurangi independensi KPK.
"Calon yang berasal dari latar belakang Aparat Penegak Hukum atau ASN aktif berisiko melemahkan profesionalisme lembaga," jelas Agus.
Hasil uji kelayakan yang dibuat DPR diharapkan melahirkan pimpinan KPK yang mampu menghadapi tantangan besar di tengah keterbatasan kewenangan yang diatur UU.
Studi evaluasi kelembagaan TII 2019–2023 mengungkap tiga isu utama yang perlu menjadi perhatian.
Isu-isu tersebut, antara lain lemahnya respons KPK terhadap korupsi di sektor politik, sumber daya alam, dan hukum; buruknya mekanisme pemicu kasus ke APH lain; serta masalah internal lembaga.
Komisi III DPR diharapkan mampu memilih pimpinan yang memenuhi kriteria demi mengembalikan kepercayaan publik terhadap KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Pilihan ini bukan hanya soal kompetensi, tetapi juga soal keberanian untuk menjaga independensi dan menolak intervensi politik,” pungkas Agus.
Editor: Defri Ngo