PARBOABOA, Jakarta – Aktivis lingkungan asal Sumatra Utara, Delima Silalahi telah berhasil merebut kembali hak masyarakat atas tanah adat dari genggaman pemerintah.
Kemenangan ini bukanlah perkara mudah, melainkan sebuah perjuangan besar yang telah menghasilkan penghargaan Goldman Environmental Prize 2023.
Dikutip dari rilis Goldman Environmental Prize, Delima Silalahi (46) merupakan direktur eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), organisasi non-pemerintah yang berdedikasi untuk perlindungan hutan adat di Sumatra Utara.
Awalnya, perempuan Batak dari Siborong-borong, Kabupaten Tapanuli Utara ini bergabung dengan KSPPM sebagai sukarelawan pada 1999 silam. Tapanuli Utara merupakan salah satu dari begitu banyak kabupaten yang terdampak akibat pembukaan hutan untuk perkebunan industri.
Perjuangan dimulai ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa ‘Hutan Adat Bukanlah Hutan Negara’. Putusan yang dibuat pada 2013 itu memberikan kesempatan bagi Masyarakat Adat Indonesia untuk menuntut hak mereka atas wilayah hutan adat secara sah.
Selain itu, keputusan ini juga telah memotivasi Delima beserta timnya di KSPPM untuk mengorganisir masyarakat setempat agar mengeklaim hutan adatnya secara legal.
Delima kemudian melakukan kunjungan dari desa ke desa dan mengedukasi masyarakat terkait undang-undang yang mendukung pengakuan hak Masyarakat Adat dan klaim hutan adat.
Meskipun perempuan di masyarakat Tano Batak sering kali tidak ikut serta dalam proses pengambilan keputusan, Delima tetap memastikan bahwa suara mereka di dengar selama proses berlangsung dengan menyertakan edukasi terkait gender sebagai alat utama pengorganisasian.
Dalam menjalani misinya, Delima menemukan banyak tantangan sebagai perempuan pemimpin di Indonesia dan pernah dikritik karena jauh dari suami dan anak-anaknya selama berminggu-berminggu.
Kendati demikian, Delima dan KSPPM tetap melanjutkan perjuangannya dengan memfasilitasi pemetaan hutan secara partisipatif dengan masing-masing kelompok masyarakat untuk mendokumentasikan wilayah adatnya.
Mereka juga mengorganisir protes besar-besaran kepada PT Toba Plup Lestari yang telah merampas wilayah adat secara besar-besaran untuk dijadikan industri pulp dan kertas, yang berdampak terhadap hutan di wilayah Danau Toba.
Pada Juni 2021, Delima dan anggota masyarakat kemudian menemui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mendesak pengakuan terhadap hutan adat milik masyarakat.
Berkat kampanye khusus yang dilakukan Delima dan masyarakat binaannya, Pemerintah akhirnya memberikan hak pengelolaan sah atas 7.213 hektare hutan adat kepada enam kelompok masyarakat Tano Batak (termasuk 6.333 hektare lahan yang diklaim kembali dari TPL dan 884 ha dari kawasan hutan negara) pada Februari 2022.
Ini merupakan suatu kemenangan bagi ketahanan iklim, keanekaragaman hayati, dan hak Masyarakat Adat.
Keenam komunitas masyarakat adat yang memperoleh pengakuan tersebut adalah komunitas masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta, Nagasaribu Onan Harbangan, Bius Huta Ginjang, Janji Maria, Simenak-menak dan Tornauli Aek Godang Adiankoting.
Berkat kemenangan ini, mereka berkomitmen untuk melestarikan hutan adatnya dengan menjalankan program pemulihan kawasan hutan adat dengan menanam kembali spesies hutan asli, termasuk pohon kemenyan.
Mereka juga akan menanam kembali dan merestorasi ekosistem, sekaligus meningkatkan tutupan pohon hutan dan ketahanan iklim alami, di bawah dukungan dari Delima dan KSPPM.