Cerita Petani Depok yang Lahannya Tergusur Proyek UIII: Tak Ada Musyawarah hingga Ganti Rugi Tak Sepadan

Jafar dan Yenny memandang ke hamparan lahan yang sudah digusur UIII. (Foto: PARBOABOA/Muazam).

PARBOABOA, Jakarta - Jafar dan puluhan petani lain asal Cisalak, Sukmajaya, Depok, Jawa Barat menyayangkan penggusuran lahan pertanian imbas Proyek Strategis Nasional (PSN), pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).

Penggusuran lahan pertanian tersebut akhirnya dilakukan Senin, 24 Juli 2023, sekira pukul 12.00 WIB.

Sebelumnya, puluhan petani ini mengaku khawatir lahan garapan pertanian mereka digusur, imbas rencana pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).

Beberapa waktu terakhir, puluhan petani ini bergantian menjaga lahan, bahkan terpaksa bermalam di lahan pertanian, takut dari UIII tiba-tiba datang menggusur dan merusak tanaman mereka. Apalagi Jafar dan 30 petani lainnya telah mendapat surat peringatan ketiga dari UIII yang berisi perintah pengosongan lahan tertanggal 17 Juli. Dalam surat tersebut tertulis perintah untuk mengosongkan lahan paling lambat 19 Juli.

Surat peringatan ketiga itu dikeluarkan UIII hanya berjarak 4 hari dari peringatan kedua dan 10 hari dari peringatan pertama.

Jafar mengaku, upaya pengosongan lahan petani diiringi dengan intimidasi, karena UIII melibatkan pasukan gabungan Brimob, TNI, dan Satpol PP untuk datang ke lokasi pertanian warga memberikan surat peringatan pertama pada 7 Juli.

Berselang 11 hari kemudian, pasukan lengkap itu kembali datang ke perkebunan warga pada 18 Juli dan mereka memberikan surat peringatan ketiga, tapi para petani tak ada di kebun. Mereka berjumlah sekira 20 orang.

Surat Peringatan ketiga yang ditempel di rumah Susi. (Foto: PARBOABOA/Muazam) 


Anehnya lagi, pasukan ini menitipkan surat peringatan pengosongan lahan ke salah satu warga yang bukan penggarap lahan, yang tinggal tak jauh dari kebun.

“Waktu itu saya lagi tidur, datanglah orang berseragam, ada ABRI (TNI,red), polisi, sama security. Mereka datang, Assalamualaikum, maaf ya ganggu bu. Saya numpang nempel surat di sini,” ujar Susi yang rumahnya ditempelkan surat peringatan dari petugas yang diperintahkan UIII kepada PARBOABOA.

Susi mengaku hanya menerima surat tersebut tanpa tahu isinya. Ia bahkan tak tahu menahu ihwal penggusuran lahan garap milik Jafar Cs.

Setelah menempel di rumah Susi, pasukan berseragam itu menempel surat peringatan ketiga ke gubuk milik Ginting.

 “Surat diberikan di saat penggarap tidak ada. Penggarap lagi kosong semua, hanya Ibu Susi yang standby di sini, bukan sasarannya karena tidak tahu masalah garapan,” ujar Jafar.

Kehadiran pasukan lengkap itu membuat petani takut berkebun. Bahkan, polisi dan satpam UIII kerap keliling perkebunan, mereka melarang warga bercocok tanam.

Bahkan, saat PARBOABOA mengunjungi lahan tersebut pekan lalu, terlihat polisi dan satpam yang tengah berkeliling mengontrol kebun warga.

Keberadaan aparat keamanan tersebut membuat salah seorang petani, Yenny, resah. Bahkan, Yenny terpaksa meninggalkan kebun yang belum selesai ditanami cabai.

Yenny menunjukkan lahan garapannya. (Foto: PARBOABOA/Muazam) 


“Saya dikejar-kejar polisi dan security, oh saya lari tunggang-langgang. Ini tidak terurus, enggak bisa nyangkul lagi karena mereka keliling terus,” ujar Yenny sambil menunjuk lahan garapnya.

“Kami di sini sehari-hari diintimidasi, jadi udah nggak bebas berkebun,” tambahnya.

Petani Tolak Uang Penggantian Rp2,5 Juta

Petani menyebut, perwakilan dari Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) pernah menawarkan uang ganti rugi lahan pertanian warga seharga Rp2,5 juta per bidang. Mereka memukul rata berapa pun luas lahan yang dimiliki warga.

Petani menyesalkan, UIII juga tak menghitung pohon atau tanaman milik warga yang berada di lahan garap itu. Mereka beralasan, warga tak mempunyai hak atas ganti rugi lahan, karenanya hanya diberikan uang kerohiman sebagai tanda kebijaksanaan UIII.

Namun, warga menolak ganti rugi tersebut. Bagi petani, uang sebesar Rp2,5 juta terlalu kecil untuk bertahan hidup.

“Ini kan sangat enggak masuk akal, mulanya kami berpikir kebijaksanaan itu berupa Rp10 ribu per meter. Nyatanya hanya Rp2,5 juta per bidang, nyampenya berapa lama uang segitu?” ujar Jafar.

Diketahui, puluhan petani garapan di Cisalak menggantungkan hidupnya dari bercocok tanam. Mereka pun tak punya penghasilan lain selain bertani.

Warga menunjukkan batas-batas lahan garap milik mereka. (Foto: PARBOABOA/Muazam) 


“Kami memang tidak punya penghasilan bulanan. Kami hanya ada penghasilan dari singkong, pisang, serai, ada itu terung. Kalau ini hilang, dari mana kami dapat penghasilan?” ucap Jafar.

Apalagi, sebelumnya petani telah mengeluarkan modal yang tidak hanya berupa uang, tapi juga waktu dan tenaga untuk menggarap lahan tersebut. Beberapa lahan bahkan harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum ditanami komoditi pertanian seperti pisang, singkong, serai, terung dan pohon jati.

“Kan enggak mudah buat gali tanah ditanami pisang, kami juga beli pupuknya seharga Rp200 ribu per mobil bak,” jelas Jafar yang menggarap lahan sekira 3 ribu meter tersebut.

Tak terima dengan ganti rugi yang ditawarkan, petani lantas menuntut keadilan. Mereka bahkan telah mengadukan ihwal penggusuran itu kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), pekan lalu. Mereka juga meminta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta membantunya secara hukum.

Jafar dan puluhan petani lain berharap, lembaga pembela hak asasi manusia itu bisa mendorong pihak UIII untuk berdialog dengan petani sebelum menggusur lahan garap tersebut.

LBH: Ada Ketimpangan dalam Penggusuran Lahan Petani

LBH Jakarta menilai, ketimpangan dalam proses penggusuran lahan yang akan dibangun UIII tersebut. Apalagi, proses penggusuran lahan tidak dengan musyawarah yang memadai, hanya dilakukan satu arah dari UIII ke petani.

Sehingga, menurut pengacara LBH Jakarta Fadhil Alfathan Nazwar, negara harus hadir menjembatani antara warga dan pihak UIII.

“Tentu harus ada peran negara di sini. Mangkanya, kami melakukan pengaduan ke Komnas HAM supaya mereka mengawasi, agar proses penggusuran tidak timpang. Soal kesepakatan itu balik lagi ke para pihak, tapi prosesnya harus dijaga agar tidak timpang,” jelas Fadhil kepada Parboaboa.

Pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) dan dibangun sejak 2018 di atas tanah seluas 142,5 hektar milik RRI.

Bangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). (Foto: PARBOABOA/Muazam) 

Namun, menurut Fadhil, proyek PSN ini tetap harus memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM). Bila petani garap digusur tanpa diberi ganti rugi, akan menimbulkan permasalahan sosial baru.

“Ganti rugi harus dilakukan secara memadai. Kalo digusur mereka nggak dapat ganti rugi yang memadai, status mereka kan menjadi homeless. Jadi persoalan barulah. Itu yang enggak dilihat negara,” jelas Fadhil.

“Kalo terjadi, itu pelanggaran HAM. Walaupun begitu mereka tetap harus mendapat hak-hak dasarnya ya. Apapun caranya. Dalam bahasa HAM itu musyawarah yang tulus, dan solusi non penggusuran yang diutamakan,” sambungnya.

Fadhil menjelaskan, berdasarkan Komentar Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 7 Tahun 1997 tentang Penggusuran Paksa, harus melalui tujuh prosedur.

Di antaranya ada musyawarah yang tulus bagi warga terdampak, pemberitahuan yang wajar dan patut harus diberikan kepada semua orang yang akan diusir sebelum tanggal jadwal pengusiran, informasi tentang pengusiran yang akan dilakukan, tentang peruntukan lain bagi lahan atau tempat tinggal itu dan pejabat pemerintah harus hadir selama pengusiran.

Kemudian, semua orang yang melakukan pengusiran harus memiliki pengenal yang jelas dan sesuai, pengusiran tidak boleh dilakukan ketika cuaca buruk atau malam hari, kecuali para penghuni menyetujuinya dan ada pertolongan hukum harus diberikan bagi mereka yang membutuhkan.

Diketahui, pembangunan UIII dilaksanakan dalam 3 tahap. Tahap I tahun 2018-2020, yang terdiri dari tiga paket pembangunan meliputi Gedung Rektorat, Gedung Fakultas A, dan Kawasan Tiga Pilar. 

Tahap II tahun 2020-2023 yang meliputi, Gedung Perpustakaan Pusat sebanyak 8 lantai dengan luas 16.556 meter persegi, apartemen mahasiswi berjumlah 8 lantai dengan luas 12.615 meter dan masjid kampus 2 lantai dengan luas 5.200 meter.

Tahap III tahun 2023-2024, meliputi Gedung Fakultas B setinggi 4 lantai seluas 14.590 meter persegi, perumahan dosen sebanyak 10 unit, dan Tempat Pengelolaan Sampah Reduce Reuse Recycle (TPS3R).

Kini, pembangunan UIII baru 50 persen, masih ada sekitar 30 hektar lahan yang harus dibebaskan, termasuk lahan garap yang dikuasai para petani.

Masterplan pembangunan UIII dibagi menjadi tiga zona. Untuk zona 1 terdiri dari Gedung Rektorat, Masjid, Perpustakaan, Gedung Fakultas, Infrastruktur Kawasan, Lanskap dan Ruang Terbuka Hijau, Eco Sanctuary Park.

Zona 2 merupakan Kawasan Mahasiswa (pusat kegiatan kemahasiswaan, toko buku, university mall, sarana olahraga), kampus residen (guru besar dan dosen, staf, keluarga mahasiswa, dan apartemen mahasiswa), bangunan MEP (rehabilitasi bangunan lama).

Zona 3 terdiri dari kawasan fakultas dan pusat kajian (pusat kajian, scholar centre, pusat pelatihan), Kawasan Peradaban (museum, pertunjukan seni dan budaya Islam, dan gedung serbaguna atau convention center).

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS