Dampak Kenaikan PPN 12 Persen di Januari 2025

Ilustrasi PPN naik 12 persen per Januari 2025. (FOTO: PARBOABOA/Fika)

PARBOABOA, Medan – Pemerintah resmi menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sebelumnya 11 persen menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 mendatang.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan kenaikan PPN menjadi 12 persen ini akan tetap terjadi meskipun ada pergantian presiden di tahun 2025.

Hal ini dikarenakan Pasangan 02 yaitu Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang menggantikan Presiden Joko Widodo mengusung keberlanjutan dalam program kerjanya. Sedangkan  kenaikan PPN menjadi 12 persen sudah ditetapkan sejak rezim Joko Widodo melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) atau Omnibus Law Perpajakan.

Tentunya dengan terpilihnya pasangan Prabowo-Gibran dipastikan akan juga melanjutkan program Joko Widodo terkait kenaikan PPN. Diketahui kenaikan PPN ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dimana sudah ditetapkan bahwa PPN akan naik dari 11 persen di tahun 2022 menjadi 12 persen di tahun 2025.

Dari laman Pajakku, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerangkan kenaikan PPN bertujuan untuk pencapaian keadilan bagi wajib pajak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan, banyak negara menerapkan PPN sebesar 11 sampai 20 persen. Sementara Indonesia adalah satu di antara 21 negara lainnya yang menerapkan PPN 10 persen.

Diakui Sri Mulyani bahwa kenaikan PPN menjadi 12% di tahun 2025 menuai pro-kontra. Walaupun kenaikan PPN ini diperkirakan akan berkontribusi positif untuk pemulihan ekonomi setelah adanya pandemi, namun tetap akan ada dampak pada kenaikan harga yang menjadi beban bagi masyarakat terutama pada daya beli.

Dari sisi masyarakat diakui kenaikan PPN ini akan mempengaruhi penghasilan terutama bagi penjual kebutuhan pokok. Sedangkan untuk pemerintah, PPN 12% akan memberikan dampak positif dengan meningkatnya penerimaan pajak yang membuat pemasukan pajak negara lebih besar.

Untuk diketahui, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah biaya tambahan yang harus dibayarkan konsumen saat membeli sebuah produk atau barang. Walau begitu, tidak semua produk dikenakan PPN, hanya Barang Kena Pajak (BKP).

Ada dua jenis PPN yang harus dibayarkan oleh konsumen. Pertama, PPN yang dikutip dan ditentukan jumlahnya oleh Pemerintah Daerah (Pemda) yang dikenal dengan PB1. Saat ini, PB1 masih berjumlah 10 persen.

Penggunaan PB1 misalnya ketika konsumen makan di restoran maka PPN dari keseluruhan pembelian konsumen dipungut sebesar 10 persen. Berdasarkan UU No.1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) Pasal 58 ayat 1, PB1 adalah Tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang ditetapkan sebesar 10 persen.

Kedua, PPN yang dipungut oleh pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. PPN secara umum bersubjek pada perusahaan yang sudah masuk dalam kategori Wajib Pajak (WP) Badan.

Walau subjek PPN adalah perusahaan, namun tentunya tarif akan dipungut langsung kepada konsumen. Perusahaan hanya akan menjadi perantara antara konsumen dan pemerintah.

Masyarakat yang akan terkena PPN ini adalah konsumen rumah, kendaraan bermotor, layanan internet, sewa toko/apartemen, bahkan sampai langganan Netflix dan lainnya. Dipastikan, jika PPN naik, harga barang dan jasa tersebut akan ikut melonjak.

Dalam hal kenaikan PPN ini, dampak yang akan diterima masyarakat terkait beberapa indikator ekonomi makro yaitu terjadinya inflasi, penurunan daya beli masyarakat dan akhirnya dampak negatif akan pertumbuhan ekonomi serta meningkatnya pengangguran.

Direktur Center of Economic and Law (CELIOS), Bhina Yudhistira dalam podcast berjudul “PPN Naik Jadi 12%” Selasa (13/03/2024) menuturkan walau PPN tidak berlaku untuk bahan pokok seperti ayam, gula, beras, minyak goreng, sayur mayur dan banyak lagi. Namun, daya beli masyarakat tetap akan berdampak.

Daya beli masyarakat terutama kelas menengah ke bawah akan tertekan mengingat kenaikan 12 persen ini dinilai cukup tinggi. Dalam sektor otomotif dan real estate yang saat ini sedang beranjak bangkit misalnya, dipastikan akan mengalami dampak yang cukup signifikan.

“Dampaknya pada penjualan dan pembelian produk sekunder seperti rumah, elektronik dan kendaraan bermotor,” ucapnya.

Banyaknya tanggapan masyarakat yang tidak setuju dengan kenaikan tarif PPN ini, membuat pemerintah menyiapkan pilihan apabila perubahan ini menimbulkan gejolak di masyarakat yaitu menerapkan skema pengenaan PPN multi tarif.

PPN multi tarif ini sebelumnya sudah diterapkan di beberapa negara, untuk tarif rendah 5 atau 7 persen diperkenankan untuk barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak misalnya bahan pangan.

Sedangkan tarif 7 persen diberlakukan untuk jasa seperti pendidikan dan angkutan penumpang. Sementara untuk tarif tinggi di kisaran 15-25 persen diberlakukan untuk barang yang tergolong mewah seperti rumah, apartemen, barang mewah, berlian dan lainnya.

Inilah yang dikategorikan sebagai pencapaian keadilan wajib pajak bagi orang mampu dan tidak.

Akhirnya, setelah pengesahan UU HPP, skema ini dihapuskan karena berisiko mendorong sengketa dan meningkatkan cost of compliance. Sehingga ditetapkan pajak tunggal 11 persen di tahun 2022. Sementara untuk penerapan kenaikan PPN ini akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Dikutip dari situs Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, objek yang termasuk dalam PPN di UU HPP adalah penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha.

Selain itu impor BKP dan/atau pemanfaatan JKP/BKP Tak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan Ekspor BKP dan/atau JKP. Ditambah kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan.

Terakhir, penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.

Editor: Fika
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS