PARBOABOA, Pematang Siantar - Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Pematang Siantar memastikan tidak mengeluarkan izin maupun rekomendasi yang menjadikan lahan pertanian produktif menjadi pemukiman.
Hal itu dibenarkan Staf Jabatan Fungsional Umum (JFU) di Bidang Tanaman Pangan DKPP Pematang Siantar, Novry Sinaga, menyikapi masifnya alih fungsi lahan pertanian untuk kebutuhan perumahan di kota itu.
"Kami tidak bisa dan tidak pernah mengeluarkan izin alih fungsi lahan, justru harus mempertahankan lahan pertanian. Kalau kenyataannya banyak perumahan baru yang dibangun di bekas lahan sawah, itu jelas tanpa izin atau rekomendasi alih fungsi lahan dari kami. Pasti tidak akan ada sertifikatnya,” tegasnya saat dikonfirmasi PARBOABOA, Selasa (17/9/2023).
DKPP Pematang Siantar, kata Novry, masih fokus pada lahan pertanian pangan produktif di kota itu.
Saat ini areal pertanian produktif di Pematang Siantar per September 2023 seluas 1.279 hektare dan di 2022 seluas 1.290 hektare.
"Sedangkan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman saat ini sekitar 850 hektare," jelasnya.
Novry menjelaskan, dampak negatif dari alih fungsi lahan ini adalah kurangnya lahan pertanian dan kawasan permukiman menjadi padat.
Sehingga berkurangnya hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan di Pematang Siantar.
"Belum lagi berkurangnya lapangan kerja pertanian serta berkurangnya area resapan air yang bisa menyebabkan terjadi banjir dan kekeringan," ungkapnya.
Meski begitu, Novry mengaku DKPP tidak bisa melarang alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman di kota itu.
Sebab, perumahan juga merupakan salah satu kebutuhan pokok selain sandang dan pangan sesuai Undang-Undang UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Novry menambahkan, DKPP akan tetap memberikan bantuan benih, alat dan mesin pertanian (alsintan), termasuk subsidi pupuk agar petani tetap mau menanam padi sawah dengan meringankan biaya produksi bagi petani.
"Itu tergantung masing-masing petaninya, apalagi itu sawah milik warga sendiri. Kami tidak bisa melarangnya terlalu jauh, tetap kami imbau selalu kepada pemilik lahan agar tidak melakukan alih fungsi, dengan memberikan bantuan benih, alsintan dan subsidi pupuk," pungkasnya.
Raperda RTRW Belum Selesai
Pendapat berbeda disampaikan Anggota Komisi II DPRD Kota Pematang Siantar, Metro Hutagaol yang menilai pengalihfungsian lahan pertanian karena Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang wilayah (RTRW) di kota itu belum selesai.
"Kebutuhan dokumen pembaharuan RTRW sudah mendesak, sebab bentuk pengalihfungsian lahan pertanian yang dilakukan sejumlah masyarakat menjadi perumahan dengan melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Pematang Siantar tahun 2013," ungkapnya kepada PARBOABOA, Selasa (17/9/2023).
Politisi Partai Demokrat itu menjelaskan, isi raperda tersebut mengakomodir keberadaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan luas baku sawah di Pematang Siantar.
"Kita masih menunggu, sebab status LP2B baru akan muncul setelah Ranperda itu disahkan," ungkap Metro.
Ia juga meminta DKPP sebagai penanggung jawab ketahanan pangan di Pematang Siantar tetap berkomunikasi antar sektor untuk mencegah dan meminimalisir pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi kawasan hunian.
"Sehingga kami berharap setiap dinas terkait tetap memberikan edukasi dan meminimalisir alih fungsi lahan di kalangan petani, jika keberadaan sektor pertanian menurun, akan mengganggu jumlah produksi pangan di kota ini," pungkas Metro Hutagaol.
Sebelumnya, salah seorang petani di Pematang Siantar, Manuntun Simaremare mengeluhkan maraknya alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan.
Ia mengatakan, mayoritas alih fungsi lahan pertanian dilakukan untuk tanah kavling dan perumahan.
Imbas alih fungsi itu, Manuntun mengakui produksi gabah yang bisa dihasilkan menurun karena lahan semakin sempit.
Saat ini rata-rata petani di Pematang Siantar hanya memiliki lahan seluas 2 ribu meter persegi. Sebelumnya, petani bisa memiliki 10 ribu meter persegi.