Gratifikasi Wamenkumham, Antara Kepastian Hukum dan Tanggung Jawab Moral Pejabat Publik

Penetapan tersangka Wamenkumham, Edward Omar Sharif Hiariej dari aspek kepastian hukum dan moralitas publik. (Foto: Instagram/@eddyhiariej)

PARBOABOA, Jakarta - Membayangkan korupsi di Indonesia berakhir, rasa-rasanya terlampau sulit. Ibarat pohon, praktik lacung ini terlalu mengakar kuat sehingga susah untuk ditebang.

Bahayanya, korupsi dengan berbagai variabelnya itu sering menjerat pejabat publik, entah DPR, Menteri, maupun aparat penegak hukum.

Indonesia sendiri memang sedang gencar memerangi korupsi melalui berbagai upaya strategis, salah satunya dengan memastikan pelayanan publik yang bersih dan transparan.

Namun, baru-baru ini, usaha tersebut sedang dipukul mundur oleh penetapan tersangka Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej.

Guru Besar Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) itu ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi pemberian jasa bantuan hukum.

Ia diduga menerima uang gratifikasi sejumlah Rp 7 miliar rupiah dari seorang pengusaha bernama Helmut Gunawan (HG). HG memberikan sejumlah uang itu melalui dua orang asisten Eddy, yaitu YAR dan YAM. 

Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), mengendus kasus ini sejak pertama kali dilaporkan oleh Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Teguh Sugeng Santoso pada 21 Maret 2023 lalu.

Eddy Hiariej mulanya tak menanggapi serius laporan yang dilayangkan IPW. Ia bahkan mengeklaim, laporan IPW salah alamat.

Menurut Eddy, kasus tersebut murni masalah dua asisten pribadinya dan tidak punya keterkaitan dengan psosisinya sebagai Wamenkumham.

Usai ditetapkan sebagai tersangka, Eddy lebih banyak memilih diam dan berjanji kooperatif mengikuti proses hukum. 

Ia juga mengaku, mengetahui penetapan tersangka dirinya sebagai tersangka dari media massa dan media sosial.

Sementara, ia belum pernah diperiksa dalam penyidikan dan hingga saat ini belum juga menerima sprindik maupun Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP).

PARBOABOA telah menghubungi juru bicara KPK, Ali Fikri untuk mengonfirmasi kebenaran hal itu, tetapi hingga saat ini belum direspon. 

Kepastian Hukum

Wamenkumham Eddy Hiariej adalah Pakar Hukum Pidana yang pendapat-pendapat hukumnya sering menjadi rujukan banyak pihak.   

Penetapan tersangka terhadap dirinya cukup mengagetkan, lebih-lebih ia menjabat posisi strategis di pemerintahan sebagai Wamenkumham.

Pengamat Hukum Pidana sekaligus Akademisi Universitas Esa Unggul Jakarta, Idris Wasahua turut menyangsikan kasus yang menyeret orang nomor dua di Kemenkumham itu.

"Tentu sangat kaget karena melihat posisi beliau sebagai seorang pakar hukum pidana yang dikenal luas publik sekaligus Wamenkumham," kata Idris kepada PARBOABOA, Sabtu (11/11/2023).

Kendati demikian, Idris mengingatkan agar kepastian hukum tetap ditegakkan mengingat kasusnya masih berproses.

Menurutnya, masing-masing pihak harus bisa menahan diri agar tetap memperhatikan asas-asas penegakan hukum, termasuk dengan tidak menghakimi sebelum adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

"Karena kasusnya masih berproses, semua orang harus bisa menahan diri. Kita harus mengedepankan asas praduga tak bersalah," katanya.

Alumni Doktor Hukum Universitas Brawijaya ini mengapresiasi kerja KPK, namun meminta agar bekerja profesional. Apalagi, saat ini ketua lembaga anti rasuah, Firli Bahuri sedang tersandung masalah hukum.

"Kita mengapresiasi upaya KPK dalam menegakkan hukum pemberantasan korupsi. Namun saat ini kita juga tahu ada masalah hukum terkait pimpinan KPK,". 

"Karenanya, kasus ini harus diproses secara profesional berdasarkan pada hukum dan bukan karena faktor lain," lanjutnya.

Disinggung soal praperadilan, Idris Wasahua mengatakan, secara hukum sangat mungkin dilakukan, tetapi harus bisa dibuktikan letak kesalahan prosedur penetapan tersangkanya.

"Ya bisa saja tetapi itu harus bisa dibuktikan. Kalau ternyata ada prosedur yang salah maka bisa menjadi alasan untuk dipraperadilan," tutupnya.

Mengundurkan Diri

Sementara itu dalam keterangan yang terpisah, pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin meminta Eddy Hiariej agar dengan gentel menunjukkan tanggung jawab moralnya.

Sekalipun proses hukum sedang berlangsung, Eddy, kata Ujang harus mengundurkan diri sebagai Wamenkumham sebagaimana sikap yang ditunjukkan eks Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo.

"Ya mesti mengundurkan diri dong, seperti Syahrul Yasin Limpo, ketika dinyatakan tersangka, mundur," kata Ujang kepada PARBOABOA.

Menurutnya, moralitas sebagai pejabat publik harus lebih tinggi dengan tidak bersembunyi dibalik tameng kepastian hukum.

"Jangat mengumpat dibalik tameng kepastian hukum. Yang jelas, etik-moralitas harus dikedepankan, ya etiknya, ya mundur," kata Ujang. 

Sebagaimana diketahui, penetapan tersangka Wamenkumham, Eddy Hiariej hanya berselang sebulan dengan penetapan tersangka eks Mentan, Syahrul Yasin Limpo (SYL).

SYL ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu, (11/10/2023) karena diduga terlibat dalam aksi pemerasan dan penerimaan gratifikasi di Kementerian Pertanian.

Dalam catatan PARBOABOA, sejak KPK didirikan pada tahun 2004 sampai periode Juli 2023, banyak pejabat negara yang terserat korupsi dengan menyandang status tersangka.

Komposisinya sebagai berikut. Pejabat pelaksana eselon 1 sampai 4 berjumlah 351 tersangka, DPR dan DPRD berjumlah 344 tersangka.

Wali Kota dan Bupati 351 tersangka, gubernur 24 tersangka dan lain-lainnya 246 orang tersangka. 

Editor: Rian
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS