PARBOABOA - Sikap diam pengurus Badan Pengelola Toba Caldera UNESCO Global Geopark (BP TCUGG), beberapa pekan terakhir membuat Wilmar Eliaser Simanjorang terheran-heran. Berkali-kali permintaannya untuk menggelar pertemuan darurat dianggap angin lalu.
"Tidak ada respon hingga saat ini," ujarnya ketika ditemui pekan lalu, sejeda kemudian dia menimpali sinis, "Tidur semua (mereka)."
Padahal situasi tidak sedang baik-baik saja. Pertemuan Dewan Geopark Global UNESCO yang dihelat di Maroko awal September lalu menjatuhkan kartu kuning kepada Kaldera Toba.
Status Kaldera Toba sebagai salah satu geopark dunia yang diakui Lembaga Bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan di bawah Persatuan Bangsa-Bangsa itu dipertaruhkan. Kinerja BP TCUGG sebagai pengelola tengah dipertanyakan.
BP TCUGG punya fungsi melakukan pengelolaan Kawasan Geopark Kaldera Toba sekaligus menjalankan fungsi koordinasi terhadap semua pemangku kepentingan terkait. Di badan Pengelola, Wilmar menjabat Koordinator Bidang Edukasi, Penelitian, dan Pengembangan.
Pekan lalu, dia dibuat kaget dengan pernyataan Ketua Umum BP TCUGG, Zumri Sulthony, yang menyatakan akan menggelar pertemuan di internal Badan Pengelola.
"Kenapa setelah viral seperti ini baru angkat bicara kepada awak media untuk membuat pertemuan? Sementara kami yang menjadi anggota di badan tersebut belum tahu (pertemuan) itu," kata Wilmar dengan nada kesal.
Peringatan terhadap Toba diberikan menyusul penilaian tim asesor UNESCO yang berkunjung 31 Juli-4 Agustus lalu. Mereka datang dalam rangka validasi ulang status Kaldera Toba sebagai geopark dunia.
Dalam salinan dokumen laporan tim asesor UNESCO yang diperoleh Parboaboa, terdapat tujuh rekomendasi yang perlu dibenahi badan pengelola. Beberapa di antaranya, pelibatan anggota Badan Pengelola untuk berpartisipasi dalam pelatihan yang diselenggarakan Global Geopark Network; membuat kebijakan branding yang detail dan rinci; memperkuat komunikasi antara BP TCUGG dengan Global Geopark Network terkait standar kebijakan, tugas dan alur kerja; dan beberapa rekomendasi teknis.
UNESCO memberi tenggat pembenahan hingga dua tahun mendatang. Hasilnya akan menjadi pertimbangan UNESCO dalam memperbaharui status Toba sebagai geopark dunia.
Kaldera Toba sendiri mendapat status geopark dunia dari UNESCO pada 7 Juli 2020. Proses memperoleh status tersebut lumayan panjang, memakan waktu 9 tahun sejak diupayakan pada 2011.
Wilmar sejak jauh-jauh hari sudah memperkirakan UNESCO akan memberi teguran terhadap pengelolaan Kaldera Toba. Mantan Kepala Badan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Samosir tahun 2000-an ini malah memperkirakan Geopark Toba Kaldera mendapat sanksi yang lebih keras.
"Awalnya saya menyangkanya akan langsung diberikan kartu merah," ia berujar.
Kartu kuning untuk Geopark Kaldera Toba ibarat puncak dari gunung es. Di balik itu, ada masalah lebih besar yang selama ini tidak terlalu tampak.
Badan Pengelola Mati Suri
Wilmar menjelaskan, badan pengelola selama ini seperti mati suri. Kehadirannya tidak terasa dampaknya oleh masyarakat dan pelaku wisata di Kawasan Danau Toba.
Padahal status geopark dunia seharusnya bisa dimanfaatkan untuk memantik pertumbuhan ekonomi melalui perkembangan pariwisata. Yang terjadi di lapangan, justru sebaliknya.
Wilmar menuturkan, kegiatan badan pengelola selama ini sebatas acara seremonial belaka. Padahal pengembangan situs geopark punya tujuan yang jelas.
"Memuliakan bumi dengan cara konservasi, lalu mengedukasi masyarakat dan mendorong keterlibatan masyarakat untuk mengelola geopark," urai Wilmar.
Sejak terbentuk pada 2020, BP TCUGG tidak berfungsi. Organisasi, kata Wilmar, tidak punya perencanaan sama sekali selama tiga tahun ini.
Kondisi yang sama juga diutarakan Budi Sinulingga, eks tenaga ahli badan pengelola yang mengundurkan diri akhir 2022 lalu. Ia mendapat amanah untuk menyusun rencana aksi dalam pengelolaan Geopark Kaldera Toba.
Beberapa kali dia mengusulkan program, tidak pernah ada yang ditindaklanjuti. Belum lagi masalah kapasitas personel di dalam organisasi.
Beberapa anggota yang duduk di badan pengelola tidak bekerja sesuai dengan bidang keahliannya. Alhasil, muncullah kendala ketika sebuah program dieksekusi.
Masalah tambah pelik karena, menurut Budi, Gubernur Sumatra Utara tidak memberikan perhatian intensif pada badan pengelola. Setelah berhitung cermat, dia menilai tugasnya di Badan Pengelola sulit diwujudkan.
"Karena itu lebih bijaksana (kalau saya) mengundurkan diri," ucap Mantan Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumatera Utara ini kepada Parboaboa melalui aplikasi pesan instan.
Ternyata, problem di tahapan perencanaan berbuntut panjang. Perencanaan yang tidak jelas berdampak pada persiapan kegiatan-kegiatan yang membutuhkan biaya.
"Tidak ada perencanaan yang jelas dalam menjalankan program sehingga tidak ada anggaran yang diturunkan," kata Wilmar Simanjorang.
Dia mengaku harus merogoh kocek sendiri untuk menjalankan program yang menjadi tanggung jawab Bidang Edukasi, Penelitian, dan Pengembangan.
Ada beberapa kegiatan edukasi yang masih dilakukannya hingga saat ini, seperti Geopark Goes to School, Geopark Goes to Campus, Geopark Goes to The Society, dan Geopark Goes to The Church.
Wilmar menyatakan, tugas di BP TCUGG ditunaikannya atas dasar panggilan hati.. Pria yang pernah menjadi Pejabat Bupati Samosir pada 2004 itu menegaskan tidak mengharapkan imbalan apa pun. Sebagai putra daerah, dia merasa punya tanggung jawab moral.
"Tidak pernah saya hitung berapa uang yang sudah saya keluarkan," tegasnya.
Wilmar menjelaskan, ada masalah lain di tubuh BP TCUGG. Badan pengelola juga gagal menjadi jembatan antara pemerintah daerah dan pemangku kepentingan terkait.
Kawasan Kaldera Toba sendiri membentang di tujuh kabupaten. Itu sebabnya, pengembangannya butuh sinergisitas antarwilayah.
Namun fungsi penyelarasan yang diemban badan pengelola malah tidak berjalan. Yang terjadi di lapangan justru munculnya ego setiap wilayah. Setiap kabupaten sibuk dengan urusannya masing-masing.
"Seolah-olah Geopark Toba ini bukan termasuk prioritas mereka. Tidak ada bentuk kerjasama nyata antarbadan pengelola dengan pemerintah," papar Wilmar.
Komunikasi yang buruk, menurutnya, juga berlaku secara vertikal ke Pemerintah Provinsi Sumatra Utara dan Kementerian Pariwisata. Koordinasi dengan pemangku kepentingan di dalam negeri yang berantakan juga berlaku dalam hal relasi BP TCUGG ke dunia internasional.
Maka, Wilmar tidak terkejut ketika UNESCO dalam salah satu rekomendasinya meminta Badan Pengelola memperkuat komunikasi dengan Sekretariat Geopark Global Network.
BP TCUGG Tidak Punya Visi
Masalah di Badan Pengelola disebut-sebut berpangkal pada ketiadaan visi pemimpinnya. Menurut Wilmar, hal itu yang membuat organisasi berjalan dengan tidak sehat.
Tidak ada arah yang jelas, kata Wilmar, membuat Badan Pengelola tersesat. Pendapat itu diamini oleh Ombang Siboro, Ketua Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia (ASPPI) Kabupaten Samosir.
Ombang bukan orang asing di kepengurusan Badan Pengelola. Pensiunan ASN yang pernah menjabat Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Samosir ini menjadi anggota BP TCUGG hingga Januari 2023.
Belakangan Ombang tidak puas dengan cara badan pengelola bekerja. Ia memutuskan mengundurkan diri.
"Kebanyakan wacana dan tidak mengerti apa yang mau dikerjakan," kata Ombang dengan nada menggerutu. "Saya malu bekerja di lembaga yang tidak punya aksi."
Ia menilai, kartu kuning untuk Toba disebabkan tidak dijalankannya ketentuan pengelolaan geopark yang digariskan UNESCO. Baginya, hal tersebut bukan kelalaian semata.
Badan Pengelola, lanjut Ombang, memang tidak mengerti apa itu geopark. Di level kepemimpinan daerah pun tidak ada iktikad serius pengelolaan Kawasan Danau Toba.
"Saya lihat, badan pengelola bersama stakeholder beberapa kali turun ke lapangan. Yang jadi pertanyaannya, mereka ngapain? Mereka tidak mengerti apa yang harus mereka kerjakan," kata Ombang.
Dia menjelaskan, manajemen geopark idealnya berbasis komunitas bukan berpusat kepada pemerintah. Pendekatan yang keliru itu juga menjadi sasaran kritik Ojak Manalu, Direktur Utama Rumah Karya Indonesia.
Rumah Karya adalah lembaga nonprofit yang bergerak di bidang kebudayaan dan pariwisata berbasis masyarakat. Mereka aktif mempromosikan Geopark Toba melalui aktivitas seni.
Sepanjang periode kepengurusan Ojak, tak sekalipun Rumah karya bersinggungan dengan BP TCUGG. Padahal, Rumah Karya sering berkolaborasi dengan Badan Pengelola yang lama sebelum status geopark dunia disandang Kaldera Toba—dulu namanya masih Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba Provinsi Sumatra Utara.
Ojak menilai pengurus Badan Pengelola yang sekarang punya cara pandang dan praktik berbeda dengan pendahulunya, kinerjanya pun sangat lambat.
"Mereka sekadar turun ke lapangan, pasang spanduk, berfoto dan selesai. Tidak ada dampak nyata yang dirasakan masyarakat," tutur Ojak.
Akibatnya, program BP TCUGG terkesan berorientasi jangka pendek. Selain itu, banyak kegiatan yang tidak punya indikator dan landasan yang jelas.
Rumah Karya bergerak ke arah sebaliknya. Misalnya, mereka melakukan pendampingan masyarakat di sekitar Silalahi untuk menggelar Tao Silalahi Art Festival dan Camping Ground Tao Silalahi.
Aktivitas tersebut disisipi pesan seputar isu-isu geopark. Pendampingan masyarakat dilakukan konsisten lima tahun terakhir.
"Sekarang festival itu sudah dikelola oleh masyarakatnya sendiri," kata Ojak.
Badan Pengelola, menurut Ojak, perlu berbenah total. Pengurus saat ini terlalu berjarak dengan masyarakat dan komunitas yang ada di sekitar lokasi Kaldera Toba.
Di tengah polemik kartu kuning Kaldera Toba yang hampir satu bulan bergulir di publik, Ketua Umum BP TCUGG, Zumri Sulthony, akhirnya angkat bicara.
Ia mengatakan akan dilakukan restrukturisasi di tubuh Badan Pengelola. Pria yang juga menjabat Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sumatra Utara ini menegaskan, BP TCUGG punya waktu dua tahun lagi untuk berbenah dan memenuhi rekomendasi UNESCO.
Dia optimistis status geopark dunia tidak akan dicabut dari Kaldera Toba. Zumri menolak tanggung jawab dibebankan penuh kepada organisasi yang dipimpinnya.
"Bukan hanya Pemerintah Provinsi, bukan hanya badan pengelola, tapi juga dikode seluruh pariwisata di khususnya Kawasan Danau Toba," katanya seperti yang diliput oleh Ilham Pradilla dari Parboaboa.
Zumri malah meminta masyarakat tidak terlalu keras mengkritik pengelolaan Geopark Toba Kaldera. Ia khawatir hal itu membuat citra Geopark Toba kian terpuruk.
"Jangan sampai ada berita-berita yang negatif, yang pada akhirnya memberikan penilaian negatif juga di luar negeri," tegasnya.
Reporter: Patrick Damanik
Editor: Jenar