PARBOABOA, Jakarta - Keputusan pemerintah untuk mengimpor 3 juta ton beras memicu kekhawatiran dan pertanyaan diberbagai kalangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa impor beras pada Desember 2023 mencapai 3,06 juta ton, yang merupakan angka tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Menurut HS 8 digit, jenis beras yang diimpor sebagian besar adalah semi milled or wholly milled rice (HS 1063099), mencapai 2,7 juta ton atau 88,18 persen dari total.
Sementara itu, jenis beras lainnya seperti Brown rice (HS 10064090), Basmati rice (HS 10063050), Other fragrant rice (HS 10063070), dan Glutinous rice (HS 10063030) juga tercatat dalam jumlah yang signifikan.
Negara asal impor terbesar adalah Thailand, menyumbang 45,12 persen dari total impor, disusul oleh Vietnam dengan 37,47 persen, Pakistan 10,10 persen, dan Myanmar 4,61 persen.
Keputusan ini menuai kritik dari Dwi Andreas Santosa, Research Associate Core Indonesia, yang menyebutnya sebagai keputusan serampangan, tanpa dasar, dan tanpa perhitungan.
Andreas menilai bahwa asumsi pemerintah mengenai penurunan produksi beras akibat kekeringan El Nino tidak sebanding dengan kenyataan, yang hanya mengalami penurunan sebesar 0,65 persen.
Andreas juga memperingatkan bahwa impor ini berpotensi merugikan petani dalam negeri, mengingat adanya potensi kenaikan produksi padi dan beras di tahun ini.
Ia mengatakan bahwa stok besar dapat menurunkan harga lebih daripada kenaikan stok tersebut, merugikan para petani di dalam negeri.
"Ini kami sampaikan sebagai keputusan impor yang serampangan, tanpa dasar, tanpa data, tanpa perhitungan," ujar Andreas melalui keterangan resmi pada Jumat (26/1/2024).
Lebih lanjut, Andreas menyebut bahwa tahun ini ada potensi kenaikan produksi padi antara 3 hingga 5 persen, sementara produksi beras diperkirakan naik 0,9 hingga 1,5 juta ton.
"Jadi, permintaan untuk sebagian besar produk pertanian itu sifatnya inelastis. Kalau stok besar, pasti akan menjatuhkan harga yang lebih besar daripada kenaikan stok tersebut," ungkapnya.