PARBOABOA, Jakarta - Kebiasaan merokok di kalangan anak bukanlah hal yang baru bahkan sudah jadi masalah tak hanya di Indonesia tapi juga dunia. Hal ini membuat Indonesia berada di peringkat kedua dengan jumlah perokok anak terbanyak di dunia.
Para peneliti di Pusat Kajian Jaminan Sosial-Universitas Indonesia (PKJS-UI) menyebut, terdapat sejumlah survei global yang membuktikan bahwa Indonesia masuk peringkat dua prevalensi perokok anak terbanyak di dunia.
Menurut survei di tahun 2019, perokok anak berusia 13-15 tahun di Indonesia berada di angka 19,2 setelah Timor Leste di angka 20,4.
"Perokok anak di Indonesia masih mendominasi dunia. Indonesia ada di peringkat kedua. Media-media asing bahkan menyebut Indonesia sebagai baby smoker country. Balita Indonesia saja telah merokok," kata peneliti PKJS-UI Risky Kusuma Hartono dalam webinar pada Kamis (2/2/2023).
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan, prevalensi merokok anak di angka 9,1 persen. Dalam studi PJKS-UI di 2021, prevalensi perokok anak yang tinggi ini dipengaruhi beberapa faktor antara lain, harga rokok murah, dorongan teman serta kemudahan dalam memperoleh rokok.
Studi menemukan, sebanyak 61 persen warung rokok berada di radius 100 m dari area sekolah. Anak-anak pun cukup mudah mendapatkan rokok dengan harga relatif murah di Rp1.000-Rp1.500.
Angin segar berhembus saat di akhir 2022, pemerintah merilis Keppres yang melarang penjualan rokok batangan atau ketengan. Ketua PKJS-UI Aryana Satrya menuturkan, hal ini bisa sedikit banyak mengatasi salah satu tantangan dalam menurunkan jumlah perokok anak di Indonesia.
"Namun yang namanya rokok itu adiktif, anak-anak jadi ingin mencoba kembali. Berbagai aspek membuat mereka berhenti. Harga mahal, susah diakses, anak sakit, mereka berhenti merokok. Tapi berbagai hal dapat mendorong mereka mencoba kembali," jelasnya.
Kemudian dalam studi terbarunya, peneliti PJKS-UI melihat adanya smoking relapse atau perilaku kembali merokok. Anak-anak yang sempat berhenti merokok ternyata kambuh atau kembali merokok.
Studi yang mengambil data dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2006, 2009, 2014, dan 2019 menunjukkan, harga hanya satu faktor yang mempengaruhi smoking relapse.
Di samping harga rokok (baik per bungkus maupun per batang), smoking relapse dipengaruhi teman sebaya yang merokok dan paparan iklan rokok di berbagai media. Anak yang rentan kambuh merokok lagi paling tinggi anak laki-laki kelas 12 SMA.
Aryana mengatakan, tantangan ini jelas perlu mendapat perhatian apalagi Indonesia menargetkan penurunan prevalensi merokok anak dari 9,1 persen ke 8,7 persen di 2024.
"Kami berharap hasil penelitian ini mendukung pemerintah dalam membuat kebijakan (terkait rokok) serta kebijakan turunannya," imbuhnya.