Miris, Indonesia Sudah 78 Tahun Tapi PRT Tak Kunjung Merdeka

Samiyem (kanan) bersama PRT lain mengikuti aksi mogok makan di DPR RI. (Foto: PARBOABOA/Muazam)

PARBOABOA, Jakarta – Meski Indonesia telah menginjak usia 78 tahun, kelompok pekerja rumah tangga (PRT) tampaknya masih belum merdeka.

Dengan semangat yang membara, mereka terus berjuang agar Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) segera disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Mereka bahkan telah melancarkan aksi mogok makan sejak 14 Agustus lalu, dengan harapan PRT akan mendapatkan hadiah kemerdekaan dalam bentuk pengakuan resmi dari negara melalui pengesahan undang-undang PPRT.

Samiyem (tengah) dan Muniroh (kanan) ikut aksi mogok makan di DPR RI. (Foto: PARBOABOA/Muazam) 

Salah satu anggota kelompok tersebut, Muniroh (50), telah mengabadikan dirinya sebagai PRT selama 30 tahun. Namun, hingga saat ini, dirinya mengaku belum pernah merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya.

Diskriminasi, kekerasan, dan perlakuan tidak adil masih terus dialaminya karena pekerjaannya tak diakui oleh negara.

“Saya bekerja jadi PRT sudah 30 tahun ya, belum merasakan merdeka. Masih merasakan banyak tekanan, intimidasi, kekerasan, dan ketidakadilan sebagai pekerja rumah tangga,” ujar Muniroh kepada Parboaboa.

Bagi Muniroh, makna kemerdekaan Indonesia adalah ketika pekerja rumah tangga diakui secara resmi oleh negara dan mendapatkan perlindungan melalui undang-undang.

“Kalau undang-undang PPRT sudah disahkan, saya sebagai PRT barangkali merasakan Merdeka. Kalau sudah disahkan saya punya hak untuk dilindungi,” ujar Muniroh.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Samiyem. Perempuan berusia 60 tahun ini harus bertahan dengan cuaca panas dan rasa lapar di depan Gedung DPR RI. Dengan aksi tersebut, ia berharap DPR segera mengesahkan RUU PPRT.

Lita Anggraini (tengah) berdebat dengan polisi karena perangkat aksi PRT disuruh dibongkar. (Foto: PARBOABOA/Muazam) 

“Harapan kami, PRT di hari kemerdekaan Indonesia kita minta supaya kita juga Merdeka. Dalam segala hal, dalam bekerja dan diakui sebagai pekerja, bukan hanya pembantu ya. Sekali lagi, supaya kita merdeka untuk pekerja-pekerja rumah tangga,” ujarnya kepada Parboaboa.

RUU PPRT telah mengalami penundaan dalam proses persetujuannya oleh DPR selama 19 tahun. Proses ini terus dihadang oleh berbagai kendala yang menghambat kemajuannya.

Bahkan, pada peringatan kemerdekaan Indonesia tanggal 16 Agustus yang lalu, sekelompok PRT yang berupaya menyuarakan aspirasi mereka di Gedung DPR harus menghadapi tindakan keras dari pihak kepolisian.

PRT yang ingin menyampaikan pendapat mereka dilarang untuk bersuara karena saat itu sedang berlangsung sidang tahunan MPR/DPR yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Ma’ruf Amin, dan para pejabat tinggi negara lainnya.

Samiyem (tengah) dan Muniroh (kanan) ikut aksi mogok makan di DPR RI. (Foto: PARBOABOA/Muazam) 

Dalam insiden tersebut, aparat kepolisian mengambil alih peralatan aksi dari para PRT, termasuk mikrofon, spanduk, baliho, payung, pakaian kaos, dan tenda.

Meski demikian, semangat PRT untuk terus memperjuangkan hak-hak mereka dan menekankan pentingnya persetujuan RUU PPRT tidak surut.

Lita Anggraini, Koordinator Nasional Jala PRT, menegaskan bahwa momen tersebut menjadi kesempatan terbaik bagi mereka untuk tetap tegak berdiri dan mengampanyekan hak kemerdekaan yang seharusnya dimiliki oleh setiap PRT sebagai pekerja.

Menurutnya, tanpa upaya perjuangan yang berkelanjutan, PRT akan tetap terjebak dalam cengkeraman perbudakan modern.

“DPR menyandera RUU itu sama dengan menyandera PRT. 78 tahun Indonesia merdeka, masih aja ada perbudakan modern," tegas Lita.

Editor: Yohana
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS