PARBOABOA, Jakarta - Pemilihan umum (Pemilu) merupakan fondasi demokrasi yang memberikan hak kepada warga negara untuk menentukan arah dan masa depan negaranya.
Akan tetapi, Achmad Nur Hidayat, seorang ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, mengungkapkan bahwa fondasi tersebut dapat terancam.
Salah satu ancaman tersebut terjadi dalam insiden pengiriman surat suara lebih awal oleh Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Taiwan.
Lebih memprihatinkan lagi, respons yang diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) menimbulkan pertanyaan serius terkait integritas dan efektivitas pengelolaan pemilu di Indonesia.
Ketua KPU, Hasyim Asy’ari, mencoba menjelaskan bahwa surat suara dikirim lebih awal ke PPLN Taiwan karena sebagian besar pemilih adalah Pekerja Migran Indonesia dengan latar belakang yang beragam.
Beberapa di antara mereka diizinkan berlibur dalam rentang waktu satu minggu, dua minggu, hingga satu bulan.
Hal ini, menurutnya, juga dipengaruhi oleh adanya perayaan Imlek pada tanggal 8-14 Februari 2024, di mana kantor pos hanya bisa mengirimkan surat suara kembali pada 7 Februari 2024, atau lebih awal satu minggu dari jadwal penerimaan surat suara terakhir.
Achmad menilai, respons KPU tersebut telah menambah keraguan publik terhadap netralitas dan integritas KPU.
'Kepercayaan publik terhadap KPU semakin merosot seiring dengan berbagai insiden yang menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan lembaga ini dalam mengelola pemilu yang adil dan transparan,” ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima PARBOABOA, Jumat (29/12/2023).
Menurutnya, ketika surat suara dikirim lebih awal dari jadwal yang ditetapkan, bukan hanya soal kesalahan administratif, namun juga soal kepercayaan publik terhadap sistem pemilu.
KPU Harus Jaga Integritas
Achmad menuturkan, kepatuhan terhadap regulasi dan standar prosesual merupakan kunci dalam menjaga integritas pemilu. Dalam hal ini, setiap pelanggaran, baik disengaja maupun tidak harus ditangani dengan tindakan yang tegas dan transparan.
"KPU harus memastikan bahwa semua prosedur diikuti secara ketat dan bahwa setiap pelanggaran ditangani dengan serius untuk menjaga kepercayaan publik,” tegasnya.
Selain itu juga ada konsekuensi lebih serius jika terkonfirmasi adanya kecurangan dalam pemilu 2024 akibat tidak netralnya KPU, termasuk upaya-upaya lain yang dilakukan oleh perangkat negara untuk memenangkan salah satu pasangan calon.
Risiko Hilangnya Kepercayaan
Kondisi-kondisi kecurangan yang kontras juga akan menimbulkan perlawanan dari masyarakat, atau 'people unrest', sebagai bentuk ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap sistem sehingga memicu protes dan gerakan massa.
"Dalam skenario seperti ini, pemimpin terpilih akan kehilangan legitimasi publik, mengikis fondasi demokrasi itu sendiri,” sambung dia
Transparansi dan akuntabilitas menurut dia sangat penting. KPU harus proaktif dalam mengkomunikasikan setiap masalah yang muncul dan langkah-langkah yang diambil untuk mengatasinya.
Selain itu, respons yang cepat dan terbuka terhadap kesalahan atau kekeliruan juga akan memperkuat kepercayaan publik dan menunjukkan komitmen KPU terhadap pemilu yang adil dan jujur.
Termasuk, koordinasi dan komunikasi yang efektif antara KPU dan PPLN juga sangat penting. Insiden ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk koordinasi dan komunikasi yang lebih baik.
Lebih dari itu, KPU juga harus memastikan semua PPLN memahami dan mengikuti regulasi yang sama dengan mekanisme komunikasi yang efektif untuk mencegah kesalahan serupa di masa depan.
Masyarakat Kini Lebih Cerdas
Selain itu, KPU harus memiliki mekanisme untuk mengantisipasi dan merespons cepat terhadap potensi masalah dan kecurangan. Sistem peringatan dini dan respons cepat sangat diperlukan untuk meminimalisir dampak dari setiap masalah yang muncul.
"KPU harus mampu mengidentifikasi potensi masalah dan bertindak cepat untuk mengatasinya,” sambung dia.
KPU juga menurut Achmad, harus memastikan semua pihak yang terlibat dalam proses pemilu, termasuk PPLN, memiliki pemahaman kuat tentang tugas dan tanggung jawab serta dilengkapi dengan sumber daya yang memadai untuk melaksanakan tugas tersebut dengan baik.
“Saat ini publik semakin cerdas dan teknologi semakin canggih, memungkinkan deteksi kecurangan-kecurangan yang terjadi dengan lebih cepat dan akurat,” paparnya.
Kondisi itu didorong akses ke informasi yang kini lebih luas dan alat analisis data yang lebih canggih, sehingga memungkinkan mereka mengawasi dan mengevaluasi proses pemilu dengan lebih kritis.
Hal itu menambah tekanan kepada KPU untuk menjalankan tugasnya dengan lebih transparan dan akuntabel. Pada skhirnya, membangun kepercayaan publik menjadi tugas yang paling penting dan paling sulit.
Ia menegaskan, pemilu yang adil, transparan, dan akuntabel merupakan hak setiap warga negara. Sehingga bukan hanya tentang memilih pemimpin, namun tentang memastikan setiap suara dihitung dan setiap suara dihargai.
"Ini adalah tentang membangun Indonesia yang lebih baik, lebih adil, dan lebih demokratis untuk semua,” tegasnya.