PARBOABOA, Jakarta – Di tengah pesta politik yang semakin dekat, isu ijazah palsu kembali terdengar.
Kali ini menyerang calon presiden pendamping Prabowo Subianto, Gibran Rakabuming Raka.
Isu ini mencuat lewat akun X milik @DokterTifa, yang menyebut bahwa Gibran tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi di University of Technology Sydney (UTS) Insearch Sydney, Australia.
Melalui cuitan twitternya, Dokter Tifa juga mempertanyakan Gibran yang hanya dua tahun kuliah di Universitas Bradford UK namun dapat memperoleh gelar sarjana.
Dari situ, isunya menyebar ke berbagai media dan ramai dikomentari oleh netizen.
Dalam sebuah acara di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada Minggu (19/11/2023), Gibran merespons isu ini dengan menyatakan akan membawa ijazahnya ke kantor Wali Kota Solo pada Senin (20/11/2023) pagi.
Para media diminta datang untuk memastikan keaslian dokumen ijazah miliknya.
Pada Senin (20/11/2023) pagi, Gibran membawa dua ijazah yang menunjukkan saat dia berkuliah di Management Development Institute of Singapore (MDIS) dan juga gelar yang diperoleh dari University Bradford.
Gibran menyatakan bahwa ia membawa ijazah tersebut dengan tujuan untuk segera mengakhiri perdebatan mengenai kontroversi ijazah yang mencuat di media sosial.
Menurutnya, jika ijazahnya benar-benar palsu, seharusnya hal tersebut sudah menjadi perhatian sejak awal saat mendaftar sebagai calon wakil presiden.
Mengapa Isu Ijazah Palsu Selalu Berulang?
Isu ijazah palsu juga pernah menyerang Presiden Joko Widodo. Ia dituding memiliki ijazah palsu dan bukan lulusan dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Menurut Pengamat Politik Universitas Nasional (UNAS), Massa Djafar, isu ini seringkali menjadi senjata untuk kontestasi politik.
“Masyarakat kita yang masih lekat sisa budaya feodal, orientasi pada gelar pendidikan masih kuat. Karena ini momentum pemilu ijazah palsu menjadi hot isu yang bisa eksploitasi untuk kepentingan politik kontestasi,” jelas Djafar ketika dihubungi PARBOABOA pada Senin (20/11/2023).
Djafar menyebut, status pendidikan tinggi dapat meningkatkan citra seorang calon anggota legislatif, meskipun gelar tersebut tidak selalu mencerminkan kualitas seseorang.
Meskipun ijazah SLTA adalah syarat minimum bagi seorang caleg, Djafar menyebut, sebagian caleg ada yang tidak memenuhi persyaratan ini. Oleh karena itu, caleg ingin menunjukkan status sosial pendidikan tinggi.
“Sebagian caleg ingin menunjukkan status sosial pendidikan tinggi, mulai dari S1,S2 dan S3,” ungkapnya.
Di sisi lain, isu ijazah palsu selain sebagai senjata politik, juga menjadi alat untuk menilai integritas para caleg.
Djafar menyatakan, isu ini membantu membedakan caleg yang jujur dengan yang memiliki buruk integritas moral karena menggunakan ijazah palsu.
Seberapa Jauh Pengaruh Isu Ijazah Palsu ke Prabowo-Gibran?
Isu ijazah palsu yang menyerang Gibran, menurut Djafar memiliki dampak yang signifikan terhadap pandangan publik terhadap pasangan capres-cawapres nomor urut 2 tersebut.
Dampak itu, terutama berpengaruh pada pemilih kalangan terdidik yang memiliki kesadaran moral politik tinggi.
“Pengaruh isu bagi capres Prabowo dan cawapres Gibran, pasti sangat berpengaruh bagi pemilih kalangan terdidik,” ungkap Djafar.
Pemilih ini cenderung mempertimbangkan isu-isu tersebut lebih mendalam, melihat bagaimana para kandidat menanggapi dan menjelaskan kontroversi yang muncul.
Di sisi lain, masyarakat awam kurang peduli terhadap isu-isu ini, terutama dengan dominasi politik uang yang merajalela.
“Kalau masyarakat awam pasti tidak menjadi soal. Mereka gak peduli. Apalagi kalau politik uang merajalela menyerbu ke rakyat pemilih awam,” imbuh Djafar.
Ironisnya, menurut Djafar, masih ada elite politik yang seharusnya memimpin dalam membangun tatanan demokrasi, malah lebih banyak merugikan masyarakat.
“Jadi sebagian para elit yang masuk dalam pertarungan kontestasi pilpres dan pileg lebih banyak merusak masyarakat, ketimbang usaha keras untuk membangun tatanan demokrasi dan masa depan bangsa ini dengan cara beradab,” pungkas Djafar.
Editor: Atikah Nurul Ummah