Lanjutan Sidang Sorbatua vs PT TPL: Ketua Partuha Maujana Simalungun Jadi Saksi Ahli JPU

suasana sebelum sidang kasus perusakan dan pembakaran lahan yang dituduhkan kepada Ketua Adat Dolok Parmonangan, Sorbatua Siallagan. (Foto: PARBOABOA/David Rumahorbo)

PARBOABOA, Simalungun – Sidang kasus dugaan perusakan tanaman eucalyptus dan pembakaran lahan yang dituduhkan PT Toba Pulp Lestari (TPL) Tbk kepada Sorbatua Siallagan semakin menarik perhatian publik.

Pada sidang sebelumnya, 26 Juni 2024, saksi ahli yang diharapkan hadir ternyata tidak muncul tanpa alasan jelas. Hal ini menyebabkan Majelis Hakim menunda sidang hingga kemarin, Rabu, 3 Juli 2024.

Sidang kali ini menarik perhatian khusus karena kehadiran Ketua Pemangku Adat atau Partuha Maujana Simalungun (PMS), Sarmedi Purba, sebagai saksi ahli dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). 

Dalam kesaksiannya, Sarmedi membenarkan bahwa tidak ada masyarakat adat di Simalungun.

Ia juga menyebut bahwa, wilayah Simalungun dulunya merupakan kerajaan. 

“Terdapat tujuh kerajaan yang berdiri di Simalungun,” ungkapnya dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Simalungun.

Pernyataan Sarmedi tersebut sesuai dengan yang pernah ia ungkapkan saat pemeriksaan yang dilakukan Polda Sumatra Utara, dan tercatat dalam berita acara pemeriksaan (BAP).

BAP tersebut juga dibacakan Ketua Majelis Hakim, Desi Ginting saat persidangan kemarin.

Sarmedi pun melanjutkan kesaksiannya. Ia menyebut, setelah Indonesia Merdeka, tanah yang dulunya milik Kerajaan Simalungun diserahkan kepada pemerintah dan menjadi tanah negara. 

Pengakuan tanah kerajaan menjadi tanah negara tersebut juga diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) Agraria Nomor 14 tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. 

Namun, pernyataan Sarmedi soal regulasi pengakuan tanah kerajaan yang diserahkan ke negara dan menjadi tanah negara tersebut dipertanyakan oleh Kuasa Hukum Sorbatua, Audo Sinaga.

Audo menilai, regulasi yang disebut Sarmedi baru dikeluarkan tahun ini atau 2024. Sehingga mereka mempertanyakan regulasi apa yang digunakan untuk mengakui hak masyarakat adat sebelum diterbitkannya Peraturan Menteri tersebut.

"Saat itu belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur hal ini," ungkap Sarmedi Purba.

Dalam kesaksiannya, tokoh masyarakat Simalungun ini juga menyebut tidak ada peraturan daerah (perda) yang mengatur soal masyarakat adat di kabupaten itu, meskipun struktur kepemilikan tanah berubah secara signifikan.

Termasuk pengakuan dari pemerintah daerah soal status keberadaan lahan milik masyarakat adat. 

"Mengenai status tanah negara di Simalungun, pengaturan nantinya dilakukan melalui peraturan daerah yang berlaku," katanya.

Sarmedi juga sempat menjelaskan soal pengertian masyarakat adat yang juga dikenal dengan sebutan penduduk asli atau indigenous people.

"Dan konsep tersebut (indigenous people) diadopsi dari kondisi masyarakat adat di luar negeri," ujar dia.

Selain itu, JPU juga menyoroti identitas kesukuan di Simalungun, dengan menyatakan bahwa hanya ada empat marga utama di daerah tersebut.

Pernyataan ini diduga mengimplikasikan bahwa marga Siallagan tidak termasuk dalam masyarakat adat Simalungan. Sehingga tidak sah, jika marga Siallagan mengaku sebagai bagian dari masyarakat adat Simalungun.

Sorbatua sebelumnya diancam dengan sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dengan ancaman penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimum Rp7,5 miliar.

Menyikapi keterangan saksi ahli dalam sidang lanjutan tersebut, Audo Sinaga, Kuasa Hukum Sorbatua Siallagan menilai, keterangan Sarmedi perlu disertai kajian dan pendapat cendekiawan Simalungun yang lain.

"Utamanya soal ada tidaknya tanah adat di Simalungun," katanya kepada PARBOABOA.

Sementara soal sejarah dari Batak Toba yang memiliki tanah adat di Simalungun, Audo menyebut tanah itu diperoleh Op. Umbak Siallagan dengan cara memenangkan peperangan dengan kerajaan Tanah Jawa. 

"Yang dibuktikan dengan penamaan wilayah adat tersebut sebagai bukti penyebutan Dolok Parmonangan (Bukit Kemenangan)," ungkapnya.

Bukti lainnya, yaitu adanya kuburan leluhur mereka yang sudah 11 generasi mendiami dan menguasai tanah adat tersebut.

Audo menambahkan, saat ini tanah adat Dolok Parmonangan sedang dalam penyelesaian pengakuan masyarakat adat di KLHK.

"Prosesnya masih digodok dan diselesaikan. Komnas HAM nanti juga akan terlibat dalam pengakuan tanah adat Dolok Parmonangan," imbuh dia.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS