Upaya Konservasi Harus Melibatkan Masyarakat Adat

Upaya konservasi harus melibatkan Masyarakat Hukum Adat. (Foto: PARBOABOA/Anna Desliani)

PARBOABOA, Jakarta - Konservasi merupakan langkah penting untuk menjaga keberlanjutan ekosistem dan keanekaragaman hayati.

Di Indonesia, sebagian besar keanekaragaman hayati berada di wilayah masyarakat adat. Oleh karena itu, melibatkan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dalam upaya konservasi sangatlah penting.

Cindy Julianty, Program Manager Working Group Indigenous Peoples' and Community Conserved Areas and Territories Indonesia (WGII) mengatakan, pelibatan MHA tidak hanya mendukung perlindungan lingkungan, tetapi juga memberikan pengakuan atas hak mereka di wilayah adat.

"Tidak bisa hanya sekedar membicarakan pelestarian lingkungan", konservasi juga, "berarti pengakuan hak tenurial di wilayah masyarakat," kata Cindy dalam sebuah keterangan resmi di Jakarta, Kamis (5/11/2024).

Apalagi, data lembaga itu menunjukkan, ada sekitar 22,5 juta hektar wilayah adat yang berpotensi dijadikan area konservasi. Dengan praktik konservasi berbasis masyarakat adat, target keanekaragaman hayati global, kata Cindy, bisa lebih mudah dicapai.

Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), Mufti Fathul Barri juga menekankan pentingnya mengubah cara pandang dalam konservasi. 

Saat ini, kata dia, konservasi sering dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat secara maksimal, meskipun 80 persen biodiversitas dunia berada di wilayah mereka.

Padahal, demikian ia menambahkan masyarakat adat sudah terbukti sebagai penjaga utama keanekaragaman hayati.

"Cara pandang konservasi kita belum bergeser, padahal masyarakat adat terbukti menjadi aktor utama dalam menjaga biodiversitas," pungkasnya.

Desakan pelibatan MHA dalam konservasi mencuat usai rapat paripurna ke-8 DPR RI belum lama ini, menyetujui 176 RUU masuk Prolegnas Tahun 2025–2029 dan 41 RUU masuk Prolegnas Prioritas 2025.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat masuk ke dalam prolegnas prioritas tersebut.

Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Christina Clarissa Intania menerangkan, RUU ini dianggap penting untuk menguatkan pengakuan terhadap peran masyarakat adat dalam menjaga lingkungan, terlebih setelah momentum besar yang diraih pada Konferensi Keanekaragaman Hayati ke-16 (COP 16) di Kolombia.

Dalam konferensi itu, masyarakat adat mendapatkan dukungan global melalui pembentukan badan permanen untuk mendukung peran mereka dan komunitas lokal dalam melindungi biodiversitas.

Indonesia, sebagai salah satu anggota Konvensi Keanekaragaman Hayati, kata dia, memiliki peluang besar untuk memanfaatkan momentum ini dengan segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat.

"Momentum yang ada perlu dimanfaatkan sebaik mungkin untuk segera mengesahkan RUU ini," tegasnya.

Selain mendukung upaya konservasi, pengesahan RUU Masyarakat Adat memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang sangat dibutuhkan masyarakat adat. 

Selama ini, tegas Cindy, mekanisme pengakuan tanah adat tersebar di berbagai lembaga pemerintahan dan tidak terintegrasi, sehingga menyulitkan masyarakat adat untuk memperoleh pengakuan formal atas tanah mereka. 

Kondisi yang demikian, tambahnya, semakin memperburuk konflik agraria dan dampak proyek infrastruktur yang sering kali berbenturan dengan tanah adat.

Dengan pengesahan RUU Masyarakat Adat, ia berharap posisi tawar mereka akan meningkat, hak atas tanah adat dapat diakui secara formal, dan upaya konservasi keanekaragaman hayati menjadi lebih efektif dan berkelanjutan.

Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat adat, atau dikenal juga sebagai masyarakat hukum adat, adalah konsep yang telah dikembangkan sejak masa kolonial Belanda untuk menggambarkan komunitas-komunitas adat di Hindia Belanda. 

Komunitas ini memiliki ciri khas berupa kekayaan komunal dan otoritas khusus atas wilayah mereka, yang sering disebut sebagai hak ulayat. Hak ulayat memberikan kewenangan kepada masyarakat adat untuk mengelola sumber daya di wilayah adatnya secara mandiri.

Cornelis Van Vollenhoven, seorang sarjana hukum, menjelaskan bahwa masyarakat adat tidak hanya hidup dalam wilayah tertentu, tetapi juga memproduksi dan menjalankan hukum adat mereka sendiri. 

Wilayah ini dikenal sebagai rechtskringen, yaitu lingkaran budaya yang mencerminkan persebaran hukum adat, bukan otoritas hukum adat yang bersifat administratif. Contoh konkret masyarakat adat yang memiliki hak ulayat adalah nagari di Minangkabau, bukan keseluruhan lingkaran budaya Minangkabau.

Struktur masyarakat adat pun beragam, mencakup sistem genealogis (berdasarkan garis keturunan), teritorial (berdasarkan wilayah), campuran keduanya, hingga yang bersifat fungsional. 

Contoh masyarakat adat fungsional adalah komunitas irigasi subak di Bali, yang terbentuk atas fungsi khusus dan tradisional, tanpa terikat oleh hubungan darah atau wilayah tertentu. Mahkamah Konstitusi bahkan mengakui masyarakat adat fungsional ini sebagai golongan khusus melalui Putusan MK No. 35/PUU-X/2012.

Secara hukum, masyarakat adat kini dianggap sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Status ini ditegaskan dalam berbagai peraturan dan putusan pengadilan, termasuk oleh Mahkamah Konstitusi. Namun, penerapan status tersebut menghadapi hambatan karena membutuhkan pengakuan legal dari negara, yang biasanya diberikan melalui peraturan daerah. 

Proses pengakuan ini sering kali menjadi tantangan besar, terutama bagi komunitas adat kecil yang kurang memiliki kekuatan politik di tingkat lokal.

Dengan demikian, konsep masyarakat adat mencerminkan persatuan hukum dan sosial yang kaya dengan nilai budaya dan tradisi, tetapi tetap membutuhkan dukungan kebijakan yang inklusif untuk mengatasi hambatan legal dan politik dalam pengakuannya.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS