Ketua Tim Pemantau Harga Pangan Sumut: Petani Tidak Diuntungkan

Gunawan Benjamin pengamat ekonomi di Sumatra Utara sekaligus Ketua Tim Pemantau Harga Pangan Sumatra Utara. (Sumber Foto: LinkedIn)

PARBOABOA- Gunawan Benjamin seorang pengamat ekonomi di Sumatra Utara sekaligus Ketua Tim Pemantau Harga Pangan Sumatra Utara. Ia juga aktif mengajar sebagai dosen di Universitas Islam Sumatra Utara.

Kepada parboaboa.com Gunawan Benjamin menyampaikan pandangannya menyoal penyesuaian Harga Eceran Tertinggi untuk beras dan Harga Pembelian Pemerintah untuk gabah dan beras, Jumat 24 Maret 2023, pukul 21.00-21.10 WIB.

Berikut petikan wawancaranya melalui telepon seluler:

Bagaimana pandangan soal penyesuaian Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras dan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras. Kebijakan Harga HPP ini dalam konteks perlindungan harga di petani. Sedangkan HET juga untuk melindungi konsumen agar harga tak naik tinggi?

Bagi petani Sumatra Utara, penetapan harga beras zona II yang ditetapkan sebesar Rp11.500 untuk HET beras Medium, dan Rp14.400 untuk yang Premium. Petani pada dasarnya tidak diuntungkan, khususnya untuk jenis beras Medium. Karena harga beras Medium di Kota Medan itu rata-rata berkisar Rp12.000 hingga Rp12.500 per kg. Dan untuk harga beras Medium di Sumut itu berkisar Rp12.600 hingga Rp12.950 per kg.

Sehingga harga beras Medium sendiri di pasaran sudah lebih mahal dari HET yang ditetapkan Bapanas. Dan harga di pasaran yang lebih mahal dari Bapanas selama ini juga sepertinya menjadi hal yang lumrah.

Namun jika pemerintah memiliki upaya untuk mengintervensi harga beras medium, maka dibutuhkan upaya yang besar untuk menekannya. Karena Bulog sebelumnya melakukan intervensi dengan harga kualitas bawah. Namun dengan kualitas beras yang medium ke atas.

Jadi intervensi yang dilakukan oleh Bulog di sejumlah pasar di Kota Medan, selalu memberikan dampak penurunan pada harga beras kualitas bawah. Sekalipun beras yang dijadikan intervensi Bulog itu kualitasnya ada di medium ke atas. Saya menilai strategi untuk menekan harga beras medium agar menyesuaikan HET perlu diubah.

Saya menganjurkan kalau intervensi nantinya dengan kualitas yang sama, namun dengan harga yang lebih miring. Sehingga tidak memicu terjadinya peralihan konsumsi beras medium dan super ke beras kualitas bawah. Sementara itu, untuk beras premium HET yang ditetapkan di wilayah zona II sebesar Rp14.400. Sementara harga beras premium itu berada dikisaran Rp13.100 hingga Rp13.700 di wilayah Sumatra Utara.

Sehingga tidak dibutuhkan intervensi untuk beras premium. Namun dari ketetapan Bapanas, saya menilai pemerintah seakan lebih fokus menjadikan beras kualitas bawah sebagai “medan perang” untuk memenuhi kebutuhan beras masyarakat dengan harga yang lebih terjangkau.

Sehingga penetapan harga beras oleh Bapanas ini menurut hemat saya tidak akan memberikan banyak perubahan harga beras di lapangan, khususnya beras medium dan premium.

Masalah petani selama ini yang dinilai menghambat pemulihan daya beli adalah masalah HPP. Belakangan HPP untuk GKP sudah dinaikkan menjadi Rp5.100 di tingkat penggilingan, sementara untuk GKG Rp6.200 di penggilingan gudang Bulog.

Memang membaik dan tentunya bisa memperbaiki daya beli petani. Namun apakah kenaikan harga tersebut sudah mampu memperbaiki daya beli petani? Maka kita tunggu saja rilis data BPS terkait nilai tukar petani khususnya petani tanam pangan.

Karena untuk petani tanaman pangan di wilayah Sumut. Nilai Tukar Petani (NTP) ada di bawah seratus yang berarti daya beli petani masih lebih rendah dibandingkan tahun dasarnya.

Dan kenapa harus menggunakan NTP sebagai tolak ukur? Karena dalam NTP tersebut gambarannya sangat jelas baik dari sisi pendapatan dan dari sisi pengeluaran petani. Sehingga lebih mencerminkan kondisi ril di lapangan terkait daya beli petani khususnya petani tanaman pangan secara menyeluruh.

Jika nantinya NTP bulan maret ternyata masih juga di bawah 100. Maka bisa disimpulkan bahwa kenaikan HPP gabah belum mampu memulihkan daya beli petani khususnya petani di Sumatra Utara.

HPP ditetapkan GKP di tingkat petani Rp5.000 per kg, sebelumnya Rp4.200 per kg. Begitu juga GKP di tingkat penggilingan, sekarang ini Rp5.100 per kg, sebelumnya  Rp4.250 per kg. Naiknya sedikit ya? Apa itu menguntungkan petani? Berapa harga yang cocok per kg HPP Pemerintah ditetapkan GKP di tingkat petani maupun di tingkat penggilingan?

Gini sebenarnyakan pada dasarnya, kalau yang saya bales itukan ada NTP.  NTP itukan dirilis setiap awal bulan, jadi misalkan ini bulan Maret nanti di bulan April BPS akan merilis. Nah jadi kalo seandainya saya bilang nih dari Rp4.100 ke Rp5.000.

Memang kenaikannya signifikan tuhkan. Kenaikannya itu sekitar 20%. Kenaikan itu mampu enggak mengkompensasi segala bentuk pengeluaran petani yang selama ini-itu terbebani dengan kenaikan harga pupuk, kenaikan pestisida termasuk juga inflasi yang mengakibatkan pengeluaran sehari-hari mereka juga bertambah.

Nah inikan perlu dijawab nantikan. Tapi jawaban itu memang mungkin enggak bisa sekarang gitu loh. Karena memang pada dasarnya kalo saya menilai kenaikan 20% lebih gitu itu signifikan. Itu cukup besar kenaikan sebesar itu. Tetapi yang menjadi persoalan, apakah akan mampu menjadi motor pemulihan daya beli masyarakat. Khususnya petani tanaman pangan?

Ini lagi dalam hitung-hitungan saya, tetapi memang kalo misalkan saya bilang nanti bahwa ini signifikan dan bisa memulihkan daya beli. Faktanya sih memang iya. Tapi apakah itu nanti bisa menyatakan, bahwa daya beli petani itu  sudah di atas rata- rata. Maka memang nanti acuannya NTP.

NTP itu harus diatas 100, kalo mau dikatakan bahwa petani itu sejahtera. Jadi bukan bicara daya beli lagi. Tetapikan sekarang ini enggak, nilai indeksnya itukan 90an. Kalo enggak salah 95 ya, 93 ke 95 gitulah petani tanaman pangan di wilayah Sumatra Utara.

Artinya ini masih kecil dengan angka kenaikan sebesar 20% untuk gabah kering yang diserap oleh pemerintah. Ini sebenarnya bisa membuat mereka mendongkrak NTP sampai 100. Kalo saya mikirnya di angka 98 hingga 100 itu bisa. Karena saya mikirnya begitu.

NTP itukan diukur dari dua ya. Pertama harga yang dia dapat dari jualan berasnya, jualan padinya. Terus dikurangi dengan biaya pengeluaran dia sehari-hari.

Nah, sekarang ini kalo gabah naik. Tapi kalo pengeluaran sehari-hari meningkat. Enggak terasa jugakan kenaikan Rp800 perak itukan. Makanya itu jawaban saya nanti kita lihat di NTP di bulan Maret, yang akan terlihat nanti kan dirilis di April tanggal 1 ya.

Nah di situ baru kelihatan, sebenarnya seberapa besar dampak dari perubahan harga yang ditetapkan oleh Bapanas dalam memperbaiki daya beli masyarakat petani kita. Khususnya petani tanaman pangan yang nanti akan jadi tolak ukur. Kalo seandainya nanti masih dibawah 100 berarti memang kita masih butuh kenaikan harganya lagikan dari level yang sekarang. Baru kita akan berkesimpulan, bahwasanya oh ternyata kenaikan harga yang gabah kemarin itu belum mampu membuat petani kita sejahtera.

Jadi ada data yang bisa kita lihat dari situ. Walau pun kalo berdasarkan hitungan saya di angka 98 NTP harusnya tercapai di bulan Maret nanti. Itu sih tolak ukurnya.

Pelaku usaha penggilingan hingga kini belum dapat memasok beras ke Bulog atau bagaimana?

Gini, nanti saya sampaikan rilis saya tentang perang harga ya. Perang harga antara Bulog dan pengusaha. Itukan sudah lama juga. Pada dasarnya gini, Bulog ini pada saat ditetapkan harga untuk menyerap gabah. Itu swasta naikan harga lebih tinggi. Biar supaya apa? Supaya swasta itu kebagian gabahnyakan. Sehingga, di lapangan itu selalu terjadi perang antara Bulog dengan pihak swastanya.

Tapi mungkin enggak pendekatannya itu dengan kebijakan? Bisa. Misalnya, memaksakan penggilingan untuk jual beras atau gabah ke Bulog. Bisa aja. Cuma apakah itu adil dirasa? Bahwa di penggilingan itu bisa menjual dengan harga yang lebih baik nih. Ke pasarkan?

Kenapa harus ke Bulog? Yang harganya sudah ditetapkan tuh berapa di gudang. Berapa di penggilingankan begitu ya!

Kalo seandainya harga yang swasta lebih bagus, kenapa enggak? Nanti arogansi pemerintah muncul di situ, kalo seandainya memaksakan kebijakan seperti itu. Termasuk menaikan HPP gabah, misalnya HPPkan tadi di angka Rp5.100 untuk gabah, tiba-tiba swasta bisa berani beli Rp5.500. Masa kita bisa melarang ke petaninya. Mendingan begini kalo saran saya pemerintah itu turut campur dari mulai penyediaan pupuk, bibit, dan pestisida disuplai ke semua petani.

Dan nanti pada saat mereka berjualan, jualannya dijual ke pemerintah dari hulu sampai hilirnya dikuasai gitu loh. Jangan nanti hulunya itu masing-masing bergerak. Nah terus pemerintah hadir di tengah-tengah sampai ke hilirnya. Jadi bersaing dengan swasta. Ya alhasilnya nanti konsumen juga yang dirugikan, harga beras semakin mahal.

Reporter: Dinez Lubis

Editor: Fery Sabsidi
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS