PARBOABOA, Jakarta - Keunggulan Paslon Prabowo-Gibran dalam hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga survei hampir mencapai angka 60 persen.
Hasil hitung cepat yang dirilisi Indikator Politik Indonesia, hari ini, Kamis (15/2/2024) pada pukul 06.00 WIB memotret, Paslon yang disokong oleh koalisi Indonesia Maju ini bertengger di angka 58 persen.
Perolehan ini jauh di atas dua paslon lainnya, Anies-Muhaimin (AMIN) 25,31 persen dan Ganjar-Mahfud, 16,68 persen.
Dengan gab suara yang besar itu, Pengamat Politik, Lucius Karus menilai, potensi kemenangan Prabowo-Gibran semakin tak terbendung.
Optimisme itu kata Lucius mengacu pada hasil quick count yang oleh pelaku survei diyakini sudah mewakili hasil secara keseluruhan penyelenggaraan Pilpres.
"58% sih nampaknya kemenangan kubu Prabowo-Gibran memang tak terbendung ya," kata Lucius kepada PARBOABOA, Rabu (15/2/2024).
Menurut Lucius, ada cukup alasan untuk percaya terhadap kesimpulan quick count, salah satunya rekam jejak dan konsistensi sejumlah lembaga meneropong survei sebelum Pilpres dengan hitung cepat yang hasilnya tidak berbeda jauh.
Yang hampir semuanya, menyebutkan Prabowo-Gibran sebagai Pemenang Pilpres dan, kemenangan itu, kata Lucius memastikan penyelenggaraan Pemilu hanya digelar dalam 1 putaran saja.
Kekuatan Figur
Lucius mengatakan, ada banyak faktor yang menentukan keunggulan Prabowo-Gibran dalam hasil hitung cepat.
Selain karena memang pasangan 01 dan 03 tak mampu menandingi suara mereka, salah satu yang paling menentukan adalah kekuatan figur pada Prabowo dan Gibran.
Dia menjelaskan, kekuatan figur yang dimaksud berkaitan dengan strategi kampanye yang sesuai selera pemilih, bukan mengacu pada kekuatan personal yang bersifat fundamental.
"Jadi jangan berpikir soal kekuatan personal dalam arti yang lebih mendasar, calon sebagai individu dengan karakter yang sesungguhnya," kata Lucius.
"Kekuatan di sini dalam konteks kampanye, soal bagaimana figur -figur capres bisa bersaing memperebutkan suara pemilih."
Selain kekuatan figur capres-cawapres, faktor lain sangat ditentukan oleh tokoh-tokoh kunci di belakang mereka.
Pada masing-masing paslon, terang Lucius ada figur-figur sentral yang secara langsung terkait dengan kandidat-kandidat, seperti Jusuf Kalla (JK) dan Surya Palloh di kubu 01.
"Di paslon 02 ada figur Jokowi yang nampak menjadi yang paling kuat memberikan pengaruh kepada pemilih hingga bisa memberikan nilai elektoral kepada capres-cawapres 02," kata dia.
Demikian di kubu 03, ada sosok Megawati Soekarnoputri dan lain-lainnya. Pengaruh figur-figur ini tak kalah pentingnya untuk memengaruhi hasil Pilpres.
Tak hanya itu, mesin partai dan literasi pemilih juga sangat menentukan. Lucius menerangkan, sekalipun basis suara parpol tak signifikan tetapi berpengaruh terhadap penambahan jumlah suara.
Demikian dengan literasi pemilih. Menurutnya, meski belakangan kritikan sejumlah akademisi dan guru besar dianggap sebagai upaya memperkuat lietrasi demokrasi, namun tak sedikitpun berpengaruh terhadap preferensi pemilih.
Lucius berkata, "Bagaimana bisa misalnya sejumlah kritik yang muncul ke arah 02 menjelang hari pemungutan suara tak mengganggu sedikitpun hasil pilpres sebagaimana tergambar oleh lembaga survei dan quic count."
Penolakan terhadap Hasil Pemilu
Sementara itu, terkait adanya penolakan terhadap hasil pemilu, Lucius megatakan, penolakan pasti ada baik secara langsung atau tidak dilakukan oleh paslon 01 dan 03.
Namun sejauhmana penolakan itu, menurut Lucis akan sangat ditentukan oleh perkembangan politik ke depan, mengingat ada kemungkinan kubu pemenang membangun lobi-lobi politik, bekerja sama membangun kabinet baru nanti.
"Kalau 01 dan 03 mau cari aman, ya harusnya aksi penolakan tak akan signifikan mengingat kekuasaan akan lebih menggiurkan bagi parpol," teragsnya.
Apalagi, jika pemenang memberikan janji untuk berbagi kekuasaan kepada parpol yang kalah. Mungkin saja penolakan hanya akan menjadi riak-riak kecil saja.
Namun begitu, dia mengatakan, legitimasi pemilu pasti akan selalu dipersoalkan.
Lebih-lebih, karena adanya dugaan kecurangan yang sudah muncul sejak sebelum pemungutan suara. Di sisi lain pemilu yang cenderung sekedar prosedural saja, substansinya pasti akan dipersoalkan.
"Bukan tak mungkin akan menjadi semacam rujukan bagi masyarakat sipil untuk mempertanyakan legitimasi pemerintahan baru hasil Pemilu 2024."