Konversi Lahan PTPN IV, Efisiensi dan Dorongan Mempertahankan Warisan

Tampak tanaman kelapa sawit yang dulunya perkebunan teh setelah di konversi pada tahun 2023 berdampingan dengan tanaman teh yang berada di afdeling 1 atau Nagori Bah Butong II, Simalungun. (Foto: PARBOABOA/Pranoto)

PARBOABOA, Simalungun – Konversi lahan PT Perkebunan Nusantara IV (PTPN IV) unit Kebun Teh seluas 257 hektare (Ha) yang dilaksanakan sejak tahun lalu kini telah rampung. Sebelumnya lahan tersebut ditanami teh, kini seluruhnya sudah menjadi tanaman kelapa sawit.

Pada tahun 2022 lalu, kebijakan konversi lahan ini mendapat penolakan dari elemen masyarakat. Akan tetapi, PTPN IV bersikukuh melakukan konversi di tahun 2023 dengan alasan penyelamatan aset perusahaan dan mengembalikan produktivitas lahan.

PARBOABOA menemui salah seorang warga di salah satu afdeling (sektor) unit kebun teh PTPN IV bernama Jekson Sitorus. Pemuda 32 tahun ini lahir, tumbuh dan berkembang di wilayah itu.

Ia menceritakan, betapa dulu setiap paginya ia menemukan kebahagiaan setiap kali beranjak dari rumahnya menuju perkebunan teh. Udara sejuk, embun pagi dan cahaya mentari selalu menjadi pemacu semangatnya bekerja memetik daun teh.

Namun, kini ia menyimpan kekhawatiran apabila perusahaan kembali melakukan konversi lahan kembali. Selain bisa dipastikan ia akan kehilangan pemandangan dan udara sejuk dari bentangan kebun teh setiap harinya, dampak lingkungan menjadi alasan kekhawatirannya.

Pria berambut gondrong ini mengaku risau dengan dampak lingkungan yang mungkin saja terjadi karena konversi lahan dari kebun teh menjadi kelapa sawit. Dari pengalamannya, ia pernah terjebak banjir saat melintasi jalan di lahan perkebunan sawit yang dulunya merupakan kebun teh.

Padahal, ketika masih menjadi perkebunan teh, jalan tersebut tidak pernah mengalami banjir sama sekali. “Air itu menggenangi jalan dan tidak bisa dilewati. Aku tidak pernah mengalami itu selama tinggal di kebun teh,” ujarnya.

Pemuda lain yang ditemui PARBOABOA adalah Beni Sijabat. Walaupun ia berharap PTPN IV tidak melakukan konversi lahan, namun ia juga mengaku tidak khawatir dengan kebijakan itu. Menurutnya, konversi lahan di PTPN IV sebaiknya tidak dipaksakan.

Pasalnya, tidak hanya masalah dampak lingkungan yang dipikirkan. Akan tetapi, perusahaan seharusnya memberikan pemahaman kepada masyarakat dan bertanggung jawab atas keluhan yang dilayangkan.

“Apabila sosialisasi diberikan dari jauh hari sebelum konversi dan perusahaan bisa memberikan garansi khususnya soal dampak lingkungan mungkin masyarakat akan mengerti,” ucapnya.

Pria 33 tahun yang juga salah satu tokoh pemuda di wilayah ini mengungkapkan keinginannya agar perusahaan memberikan perhatian lebih terhadap sejumlah aspek. Misalnya Sumber Daya Manusia (SDM), kesehatan, ekonomi dan pendidikan untuk daerah perkebunan maupun wilayah sekitarnya.

“Empat aspek ini sangat penting, baik dilanjutkan atau tidak konversi itu,” katanya.

Asisten SDM, Umum dan Keamanan Kebun Teh PTPN IV Sidamanik, Abdul Halim Siregar saat ditemui di ruang kerjanya menjelaskan konversi lahan yang dilakukan merupakan upaya perusahaan untuk mengoptimalkan aset.

Ia mengaku sadar kawasan kebun teh merupakan heritage yang saat ini dikunjungi masyarakat untuk berwisata.

Namun, Adul Halim Siregar mengungkapkan bahwa kawasan yang dikonversi berada di daerah pedalaman. Ia menjamin PTPN IV tidak akan mengkonversi keseluruhan perkebunan teh. Apalagi yang berada persis di pinggir jalan Kecamatan Sidamanik yang juga merupakan akses alternatif masyarakat menuju Danau Toba.

Sementara dugaan akan adanya konversi lahan lanjutan yang akan dilakukan PTPN IV, Abdul Halim mengatakan kebijakan itu merupakan wewenang Menteri BUMN dan kantor pusat PTPN IV.

Selain itu, kebijakan konversi lahan berkaitan dengan program ketahanan pangan, khususnya peranan PTPN IV dalam memenuhi ketersediaan minyak goreng bagi masyarakat.

“Soal rencana saya belum paham, optimalisasi aset itu perintah untuk menambah pasokan minyak makan. Kalaupun ada konversi lahan, ya dilakukan di daerah pedalaman,” terangnya.

Sedangkan terkait adanya penolakan dari elemen masyarakat, Abdul Halim menjelaskan sudah ada upaya sosialisasi dari PTPN IV. Akan tetapi mungkin dinilai kurang maksimal.

Sementara soal dampak lingkungan yang kerap disuarakan oleh masyarakat dan organisasi lingkungan, ia justru mempertanyakan penelitian secara ilmiah. Benar atau tidaknya ada dampak lingkungan dari konversi lahan yang dilakukan PTPN IV di wilayah itu.

“Bukti ilmiahnya dimana, yang menunjukkan bahwa penanaman kelapa sawit penyebab longsor atau banjir,” tandasnya.

Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara, Gusmiyadi mengatakan penolakan konversi lahan PTPN IV sudah dilakukan sejak 2022. Pihaknya juga sudah membahas persoalan ini ke Kementerian BUMN dan PTPN IV di Jakarta.

Dalam pertemuan itu, pihak PTPN IV berkomitmen untuk menambah lahan perkebunan teh. Bahkan, tidak ada pembicaraan untuk merubah lahan perkebunan teh menjadi lahan kelapa sawit.

Walau begitu, Gusmiyadi mengaku pihaknya belum melakukan pengamatan secara mendetail mengenai kawasan yang dijadikan perkebunan kelapa sawit. Kendati demikian, PTPN IV dalam rapat tersebut berkomitmen mempertahankan heritage kawasan perkebunan teh di Kabupaten Simalungun. Selain itu juga teh dari kawasan ini sebagai unggulan di Bumi Habonaron Do Bona.

Gusmiyadi menegaskan akan menolak konversi ke depannya. Menurutnya, bila dilakukan konversi lahan kembali maka PTPN IV sudah melanggar komitmen yang dijanjikan di tahun 2022.

Selain itu, Gusmiyadi menuturkan potensi kerusakan lingkungan akan semakin merajalela. Bahkan, kemungkinan potensi kerusakan lingkungan tidak saja akan menimpa kawasan Sidamanik akan tetapi Kota Pematangsiantar.

“Saya ingin memastikan kita ada di barisan terdepan melakukan perlawanan karena dampak buruk yang mungkin dihasilkan dari konversi itu,” tegasnya.

Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut Perwakilan Siantar Simalungun, Daulat Sihombing mengemukakan aspek historis dan fakta alam menunjukkan terdapat perubahan atau kerusakan lingkungan pasca konversi lahan yang dilakukan PTPN IV.

Menurutnya, kerusakan lingkungan yang terjadi di kawasan konversi lahan PTPN IV itu patut dianggap berkaitan. Walaupun secara studi ilmiah belum dapat dibuktikan. Pendekatan analogi yang diterapkan Walhi Sumut berdasarkan pada karakteristik komoditi tanaman yang kemudian dikaitkan dengan kohesivitas (perekatan) tanah.

“Tanah di lahan perkebunan sawit sudah pasti akan lebih mudah pecah karena mengering. Sedangkan teh tingkat kohesivitas tinggi karena masih menyimpan air di dalam,” jelasnya.

Walhi juga mengingatkan PTPN IV untuk lebih memperhatikan risiko sosial dibandingkan keuntungan semata. Menurut Walhi, idealnya perusahaan merupakan manifestasi peningkatan taraf hidup masyarakat, bukan justru mengalienasi.

Diketahui saat ini PTPN IV Unit Usaha Kebun Teh mengelola areal perkebunan di ketinggian 800 sampai 1100 Mdpl. Areal seluas 6.379,29 hektare ini terletak di Kecamatan Sidamanik dan Pamatang Sidamanik, Simalungun. 

Editor: Fika
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS