PARBOABOA, Jakarta - Kualitas Udara di DKI Jakarta menjadi salah satu yang terburuk di dunia.
Metropolitan menempati urutan ke-7 kategori kota dengan udara tidak sehat berdasarkan pemantauan kualitas udara IQAir yang dilakukan hari ini, Rabu (10/7/2024) sekitar pukul 04.40 WIB.
Kualitas udara di Jakarta sebelumnya sempat membaik tetapi Kembali memburuk dengan indeks kualitas udara (AQI) di angka 152. Angka ini berdasarkan situs pemantauan kualitas udara IQAir tergolong tidak sehat.
Adapun indeks kualitas udara sangat baik atau level 1 berada di angka 0-50, baik atau level 2 51-100, sedikit tercemar atau level 3 101-150 dan cukup tercemar atau level 4 151-200.
Kualitas udara yang buruk di Ibu kota juga terbukti dari partikel halus PM 2,5 yang berada di angka 57 mikrogram per meter kubik.
Situs yang sama juga mencatat, konsentrasi PM 2,5 di Jakarta saat ini setara 11,4 kali nilai panduan kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI merilis situs pemantau udara yang sama tetapi hasilnya berbeda.
Melansir situs resmi milik Pemprov DKI Jakarta, hasilnya menunjukkan kualitas udara di daerah itu masuk dalam kategori sedang.
Bahkan, dari 31 titik stasiun pemantau kualitas udara (SPKU) tertinggi di angka 95 artinya kualitas udara di DKI berada pada level sedang di hari yang sama, Rabu (10/7/2024).
Sebelumnya Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat kualitas udara di Jakarta mencapai tingkat tidak sehat dengan angka 192 AQI. Konsentrasi PM 2.5 saat itu juga meningkat, mencapai puncaknya pada level 148 µg/m³.
Plt Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Urip Haryoko, menjelaskan bahwa kondisi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Pertama, berbagai sumber emisi baik dari lokal seperti transportasi dan residensial, maupun dari sumber regional seperti kawasan industri dekat Jakarta, berkontribusi terhadap peningkatan PM 2.5.
Dalam kondisi tertentu, emisi ini terakumulasi dan meningkatkan konsentrasi yang terukur pada alat monitoring PM 2.5.
Kedua, pergerakan polutan udara dipengaruhi oleh pola angin yang memindahkan PM 2.5 dari satu lokasi ke lokasi lain. Angin yang membawa PM 2.5 dari sumber emisi dapat meningkatkan konsentrasi di lokasi lain.
Ketiga, peningkatan konsentrasi PM 2.5 berhubungan positif dengan kadar uap air di udara atau kelembaban relatif.
Tingginya kelembaban udara menyebabkan proses adsorpsi, di mana gas berubah menjadi partikel, sehingga meningkatkan konsentrasi PM 2.5 yang difasilitasi oleh kadar air di udara.
Selain faktor-faktor tersebut, stagnasi pergerakan udara juga berkontribusi terhadap memburuknya kualitas udara di Jakarta, karena polutan yang telah terakumulasi tidak bergerak dan cenderung bertahan lama.
Urip menambahkan, penurunan kualitas udara ini berdampak negatif pada warga yang memiliki riwayat gangguan pernapasan dan kardiovaskular.
Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk mengurangi aktivitas di luar ruangan dan menggunakan pelindung diri seperti masker yang sesuai guna mengurangi paparan terhadap polutan udara.