PARBOABOA, Jakarta - Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 3, Mahfud MD menyampaikan Tri Hita Karana dan Tri Tangtu sebagai kearifan lokal penentu masa depan Indonesia.
Baginya, Indonesia perlu berusaha lebih banyak dalam melestarikan lingkungan dan keseimbangan manusia dan alam melalui kearifan lokal.
“Di dalam kearifan lokal, bangsa Indonesia masa lalu sudah biasa, sudah biasa melakukan langkah-langkah untuk memberikan perlindungan atas lingkungan hidup agar lestari,” tuturnya dalam debat calon wakil presiden di Jakarta Convention Center (JCC), pada Minggu (21/1/2024).
Ia juga menuturkan bahwa konstitusi Indonesia menekankan, Sumber Daya Alam harus dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Menurutnya ada tiga hal yang akan menentukan masa depan Negara Kemerdekaan Republik Indonesia (NKRI) dan bangsa Indonesia. Yakni, Tuhan, manusia dan alam.
Khususnya soal hak manusia dan alam, Mahfud turut menyinggung terkait kearifan lokal. Misalnya saja kata dia jika di Jawa dan Bali terdapat Tri Hita Karana, kemudian di Sunda, Jawa Barat terdapat Tri Tangtu.
Tri Hita Karana
Konsep Tri Hita Karana, merupakan ajaran dalam agama Hindu yang mendorong hidup berdampingan dan saling menghargai, menjadi sorotan utama dalam mendalami nilai-nilai keseimbangan dan sejahtera.
Dengan makna harfiah 'tiga penyebab kesejahteraan', Tri Hita Karana menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.
Dengan menjunjung nilai-nilai kebajikan dan melibatkan diri dalam tindakan nyata seperti persembahan kepada Tuhan, kepedulian terhadap sesama, dan menjaga kelestarian alam, umat Hindu diyakinkan dapat mencapai tujuan hidupnya, baik di alam sekala maupun niskala.
Tri Hita Karana menjadi panduan filosofis bagi mereka yang menghargai harmoni dalam kehidupan dan menjaga keseimbangan dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta.
Dalam agama Hindu, Tri Hita Karana mencakup tiga unsur penting, yaitu Parahyangan (hubungan dengan Tuhan), Pawongan (hubungan antar manusia), dan Palemahan (hubungan dengan alam). Unsur-unsur ini terdapat dalam kitab suci Bhagavad Gita, memberikan dasar bagi pandangan hidup yang seimbang dan damai.
Parahyanhan: Hubungan dengan Tuhan
Parahyangan berasal dari kata 'para' yang berarti tertinggi dan 'hyang' yang berarti Tuhan. Dalam konteks Tri Hita Karana, Parahyangan menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan. Tempat suci, seperti Pura, digunakan untuk memuja Tuhan, namun juga dapat diwujudkan melalui perilaku kebersihan, keindahan, dan kesucian sebagai bentuk bhakti kepada Hyang Widhi.
Pawongan: Hubungan antar Manusia
Pawongan, yang berasal dari kata 'wong' atau orang, mencakup hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidupan masyarakat. Konsep ini menekankan pentingnya saling asah, asih, dan asuh, yaitu saling menghargai, mengasihi, dan membimbing. Harmoni dalam hubungan antar manusia menciptakan keamanan dan kedamaian dalam masyarakat, membentuk dasar untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Pelemahan: Hubungan dengan Alam
Palemahan berasal dari kata 'lemah' atau tanah, mencakup hubungan manusia dengan alam. Lingkungan harus dijaga, dipelihara, dan tidak dirusak agar menciptakan suasana yang bersih, rapi, dan harmonis. Keseimbangan dalam memanfaatkan sumber daya alam tanpa merusaknya menjadi inti dari Palemahan, menciptakan lingkungan yang indah dan damai.
Dalam penerapan Tri Hita Karana, manusia diarahkan untuk hidup harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Sikap bhakti, rasa syukur, dan kepedulian terhadap sesama menjadi kunci untuk mencapai keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari.
Di dalam Tri Hita Karana, juga terdapat kutipan dari Bhagawadgita yang menekankan pentingnya berbuat baik, menjaga kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Perilaku manusia dipengaruhi oleh perkataan atau ucapan, yang menjadi akar dari kebajikan dan menciptakan dasar mutlak dalam kehidupan.
Tri Tangtu
Tri Tangtu, sebuah cara berpikir dalam masyarakat tradisional Sunda, membawa falsafah hidup yang berpedoman pada tiga hal pasti, sebagaimana diungkapkan melalui kata 'tri' atau 'tilu' yang berarti tiga, dan 'tangtu' yang berarti pasti atau tentu.
Dalam pandangan masyarakat Sunda, Tri Tangtu mengacu pada tiga entitas pasti, yakni Batara Tunggal yang terdiri dari Batara Keresa, Batara Kawasa, dan Batara Bima Karana.
Cara berpikir ini mencerminkan pola pembagian tiga yang umum dijumpai dalam masyarakat Indonesia, terutama di lingkungan pertanian.
Bagi masyarakat Sunda, kepercayaan hidup tidak hanya bergantung pada kekuatan diri sendiri, melainkan pada kekuasaan yang lebih besar, penguasa tertinggi, sumber, dan tujuan segalanya, yang disebut dengan berbagai nama, seperti Gusti Nu Murbeng Alam.
Penerapan Tri Tangtu juga tercermin dalam pemikiran masyarakat Sunda melalui beberapa aspek, antara lain:
- Silih Asah, Silih Asuh, Silih Asih, dengan Menggunakan Silih Wangi: Mengajarkan nilai-nilai kehidupan gotong royong, saling memberikan bantuan, dan saling mencintai dengan harapan kehidupan yang harum dan damai.
- Tekad, Ucap, Lampah: Mendorong untuk memiliki tekad yang kuat, mengucapkan niat dengan tulus, dan mengaplikasikan niat tersebut dengan tindakan nyata.
- Naluri, Hati Nurani, Nalar: Menekankan pentingnya mendengarkan naluri, mengikuti hati nurani, dan menggunakan akal sehat dalam pengambilan keputusan.
- Leuweung Larangan, Leuweung Tutupan, dan Leuweung Garapan: Merupakan pedoman etika dan norma yang mengatur larangan, kebijaksanaan, dan tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari.
- Dunia Atas, Dunia Bawah, dan Dunia Tengah: Merepresentasikan konsep ketiga dunia yang saling terhubung, yaitu dunia spiritual (atas), dunia material (bawah), dan dunia manusia sebagai penghubung (tengah).
- Langit Pemberi Hujan, Tanah yang Menumbuhkan Tanaman, dan Manusia yang Memungkinkannya, dengan Mengawinkan Langit dan Bumi: Menggambarkan keterkaitan antara unsur langit, bumi, dan manusia dalam siklus kehidupan.
Secara geografis, Tri Tangtu dalam wilayah geografis masyarakat Sunda terdiri dari tiga aspek utama, yakni:
- Alam Parahyangan: Melambangkan tempat tinggalnya Hyang atau Dewa, mencerminkan keindahan alam, dan menunjukkan spiritualitas masyarakat.
- Bumi Pasundan: Merujuk pada tempat tinggal penduduk Sunda dengan bahasa, budaya, dan adat istiadat khas yang dikenal sebagai 'Nyunda'.
- Tatar Sunda: Melibatkan bekas wilayah Kerajaan Sunda yang meliputi Provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta, dan bagian barat Jawa Tengah.
Tri Tangtu bukan hanya sebuah filosofi hidup, tetapi juga sebuah pandangan tentang keterkaitan manusia dengan alam, sesama manusia, dan wilayah geografisnya. Melalui konsep ini, masyarakat Sunda melestarikan nilai-nilai budaya dan spiritualitas yang tetap relevan dalam kehidupan sehari-hari.