PARBOABOA, Pematang Siantar – Fenomena menyayat lengan menggunakan pisau atau kaca, atau yang sering disebut sebagai self harm, tengah marak terjadi di kalangan pelajar di Kota Pematang Siantar, Sumatra Utara.
Awalnya, tren self harm di kota itu menyebar melalui media sosial dan grup aplikasi percakapan, tapi kemudian aktivitas ini telah menjadi tren kekinian di kalangan pelajar di Pematang Siantar.
Salah satu guru di SMP Negeri 4 Pematang Siantar, Erlina Siahaan menilai, fenomena tersebut akibat paparan media sosial kepada siswa usia pelajar yang semakin sulit dibendung. Usia remaja membuat mereka sulit menyaring informasi, termasuk mengikuti tren buruk ini.
"Kalau ditanya kepada mereka (korban self harm), karena melihat tren itu di media sosial," katanya kepada PARBOABOA, Sabtu (21/10/2023).
Erlina juga tak menampik perlunya bimbingan dari sekolah dan orang tua kepada pelajar terkait informasi negatif tersebut. Ia mengingatkan perlunya pengawasan penggunaan media sosial di kalangan pelajar, untuk mencegah tren-tren serupa kembali terjadi.
"Ini kan tidak bisa diserahkan sepenuhnya ke sekolah. Sekolah dan orang tua perlu bersinergi, sehingga pelajar dapat pemahaman yang tepat atas aktivitas yang merugikan dirinya sendiri ini (self harm). Orang tua harus mengawasi anak-anaknya ketika menggunakan smartphone di rumah," jelasnya.
Sementara itu, Kepala Bidang PAUD dan Pendidikan Dasar di Dinas Pendidikan Pematang Siantar, Simon Tarigan, membenarkan fenomena self harm sedang marak terjadi di kalangan pelajar di kota itu.
Simon mengaku dinasnya menerima sekitar 10 laporan dari sekolah terkait tren buruk ini setiap harinya.
Diknas Pematang Siantar, lanjut Simon, bahkan telah menerbitkan surat edaran kepada sekolah-sekolah untuk mengawasi siswa terkait tren menyayat lengan tangan tersebut.
"Biar sekolah-sekolah mengawasi murid-muridnya. Cek tangan mereka (siswa-siswi) ada bekas sayatan atau tidak," katanya.
Surat Edaran No. 400.3.5.3/5132/Disdik-PP/X/2023 yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Kota Pematang Siantar itu meminta sekolah memeriksa kondisi fisik tangan siswa pada saat masuk sekolah.
Apabila ditemukan korban baru, sekolah diminta untuk berkoordinasi dengan orang tua/wali peserta didik untuk dilakukan pembinaan.
Selain itu, juga sekolah harus proaktif dalam melakukan sosialisasi ataupun pembinaan tentang bahaya tren menyayat tangan bagi pelajar.
Pandangan Psikolog Klinis
Menyoroti fenomena self harm, Psikolog Klinis di Sumatera Utara, Hotpascaman Simbolon mengatakan, perilaku tersebut merupakan perilaku yang disengaja karena dianggap bisa menyelesaikan masalah.
"Meskipun sebenarnya ini adalah persepsi yang salah," ungkapnya kepada PARBOABOA, Sabtu (21/10/2023).
Perilaku self haram di kalangan pelajar ini bisa berakibat rusaknya jaringan tubuh. Ia menduga, minimnya edukasi penggunaan media sosial menjadi salah satu penyebab pelajar melakukan perilaku self harm.
"Tidak ada tren dalam self harm. Yang ada, remaja sekarang hanya diberikan opsi yang mereka lihat di media sosial dan terkesan tidak ada jalan lain. Belum lagi tidak ada yang memberikan edukasi terkait penggunaan media sosial," ungkap Hotpascaman.
Sementara Psikolog anak di Sumatera Utara, Rinie Indira Nauly memandang tren self harm di kalangan pelajar saat ini dipengaruhi banyak faktor.
Ia mencontohkan, pengalaman traumatik, rasa percaya diri rendah, masalah keluarga, hingga kecenderungan intensi bunuh diri bisa menjadi faktor pelajar melakukan perilaku self harm.
Alasan lain, kata Rinie, faktor pergaulan, dimana pelajar cenderung melakukan berbagai cara untuk dapat diterima dalam lingkup pertemanan, termasuk jika telah melakukan self harm.
Namun, untuk memastikan penyebab seseorang melakukan self harm, Rinie menyarankan siswa berkonsultasi secara pribadi secara langsung dengan psikolog atau psikiater.
"Agak sulit untuk digeneralisasi ya. Pendekatan terbaik ya ke ahli ya," ungkap Rinie kepada PARBOABOA, Senin (23/10/2023).
Rinie juga mengingatkan perlunya edukasi tentang konsep diri anak dan remaja hingga batasan yang jelas dalam penggunaan media sosial.
Selain itu, perlunya peningkatan kepercayaan diri pelajar untuk menjauhkan mereka dari aktivitas-aktivitas negatif seperti self harm ini.
"Perlunya anak meningkatkan rasa percaya diri dengan mengikuti kegiatan-kegiatan positif, menanamkan nilai-nilai yang positif namun menyenangkan, menggunakan media sosial dengan baik, melakukan konseling bersama dengan orang tua, contohnya," imbuh Rinie.
Editor: Kurniati