Setiap orang pasti pernah berutang, apalagi negara. Akhir-akhir ini utang Indonesia tengah menjadi sorotan karena semakin meningkat. Penyebabnya adalah pandemi saat ini. Kini utang negara kita sudah menembus angka Rp 6.000 triliun. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) khawatir pemerintah tak bisa membayar utang dan bunganya.
Hingga akhir Mei 2021, jumlah utang Indonesia
mencapai Rp 6,418 triliun, atau dengan rasio debt service terhadap penerimaan
(DSR) sebesar 46,77%. Berdasarkan data audit yang dikeluarkan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), utang pemerintah saat ini telah melampaui batas yang
direkomendasikan IMF dan International Debt Relief (IDR) dengan rasio sebesar 25%-35%.
Jumlah utang yang besar ini melebihi
rekomendasi rasio utang dari International Debt Relief (IDR) dan International
Moneter Fund (IMF). BPK juga melihat pandemi COVID-19 meningkatkan defisit,
utang dan SILPA yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal.
Angka rasio utang ini terus mengalami naik
turun di beberapa kepemimpinan presiden. Misalnya saat Orde Baru Presiden
Soeharto rasio utang 57,7% terhadap PDB dan utang pemerintah berada di level Rp
551,4 triliun, sementara PDB Rp 955,6 triliun.
BPK telah menyampaikan ulasan atas pelaksanaan
kesinambungan fiskal dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2020
kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jumat (25/6/2021).
Ulasan tersebut termasuk penilaian BPK terhadap
tren penambahan utang pemerintah yang jumlahnya semakin membengkak. BPK
khawatir pemerintah tidak bisa membayar seluruh utang tersebut.
Lebih lanjut, utang pemerintah juga belum
memperhitungkan unsur kewajiban pemerintah yang timbul seperti kewajiban
pensiun jangka panjang, kewajiban putusan hukum yang inkrah, kewajiban
kontigensi dari BUMN dan lainnya.
"Indikator kesinambungan fiskal tahun 2020
sebesar 4,27 persen melampaui batas yang direkomendasikan The International
Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 - Debt Indicator yaitu di bawah
0 persen," jelasnya.
Memang, jika dibandingkan, rasio utang era
Presiden Joko Widodo saat ini lebih kecil dari era Soeharto. Namun yang menjadi
catatan kondisi utang di Era Soeharto dan Jokowi sangat berbeda.
Selanjutnya era Presiden BJ Habibie, rasio
utang terhadap PDB melambung tinggi. Saat itu, utang di era Habibie sekitar Rp
938,8 triliun, sementara PDB Rp 1.099 triliun. Sehingga rasio utang terhadap
PDB berada di level 85,4%.
Rasio utang mulai turun pada era Gusdur, atau
Presiden KH Abdurrahman Wahid. Saat itu, rasio utang pemerintah turun tipis
menjadi 77,2%. Di mana utang pemerintah sebesar Rp 1.271 triliun dan PDB Rp
1.491 triliun.
Saat era Presiden Megawati Soekarnoputri, rasio
utang juga kembali mengalami penurunan. Saat itu utang pemerintah sebesar Rp
1.298 triliun, sementara PDB Rp 2.303 triliun. Sehingga rasio utang saat itu
56,5% terhadap PDB.
Nah memasuki pemerintahan SBY periode 2004-2014, nilai utang mencapai Rp 2.608 triliun. Walau nilai utang meningkat dua kali libat, namun nilai PDB saat itu juga mengalami peningkatan yang lebih tinggi. PDB era itu mencapai Rp 10.542 triliun atau meningkat berkali-kali lipat dibanding era sebelumnya. Dengan begitu, rasio utang juga hanya sekitar 24,7% terhadap PDB. Rasio utang itu tercatat jadi yang paling rendah hingga saat ini.
Era Jokowi-Jusuf Kalla saat masa jabatan pada periode 2014-2018, utang pemerintah pusat per Juli 2018 tercatat Rp 4.253,02 triliun atau tumbuh 12,51% secara year on year (yoy). Rasio utang terhadap PDB saat itu mencapai sekitar Rp 14.000 triliun tercatat 29,74%.