PARBOABOA, Jakarta - Perampasan tanah adat menjadi ironi mengerikan yang terus membayangi kehidupan masyarakat adat di nusantara. Tindakan kekerasan dan kriminalisasi menjadi warna pelengkap yang selalu terjadi di setiap konflik.
Laporan resmi yang diterima Parboaboa, Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi mengungkapkan, aksi kriminalisasi, intimidasi, dan kekerasan terhadap masyarakat adat dilakukan oleh aparat-aparat negara seperti Polri, Tentara Nasional Indonesia (TNI), pemerintah pusat, hingga pemerintah daerah.
“Pelaku kriminalisasi, intimidasi, dan kekerasan terhadap masyarakat adat dilakukan aktor-aktor negara seperti TNI dan POLRI, pemerintahan mulai dari pusat sampai desa,” tulisnya dalam laporan tahunan Aman, dikutip Sabtu (14/01/2023).
Tindakan-tindakan tersebut, menurut Rukka semakin menunjukkan bahwa hukum yang seharusnya menjadi tameng pelindung masyarakat telah berubah menjadi alat yang melegitimasi perampasan ataupun eksklusi terhadap masyarakat adat.
“Dalam beberapa peristiwa yang dicatat menunjukkan bahwa hukum selalu menjadi alat yang melegitimasi perampasan ataupun eksklusi terhadap Masyarakat Adat,” ujarnya menyangkan.
Dikatakannya, dalam beberapa kasus perebutan tanah adat yang bersingungan dengan perusahaan, tak jarang pihak-pihak berkepentingan dalam perusahaan tersebut menyewa jasa preman untuk mengintimidasi masyarakat.
Dia mencontohkan kasus sengketa tanah adat di Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur. Kekerasan dilakukan perusahaan yang dimiliki oleh salah satu institusi keagamaan di daerah itu.
Dalam laporan tahunannya AMAN mengungkapkan, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, terdapat 301 kasus yang merampas 8,5 juta hektare wilayah adat dan mengkriminalisasi 672 jiwa warga masyarakat adat.
“Secara umum konflik yang terjadi di masyarakat adat meliputi sektor perkebunan, kawasan hutan negara, pertambangan, dan pembangunan proyek infrastruktur,” paparnya.
Pada 2022, terdapat 19 kasus yang terjadi di komunitas adat yang menyangkut wilayah adat seluas hampir 600 ribu hektare.
Beberapa kasus perampasan tanah adat yang terjadi di antaranya yang menimpa masyarakat adat Suku Kende yang bermukim puluhan tahun di Kampung Kalang Maghit, Desa Gunung, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan perampasan tanah adat di Kalimantan Timur untuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).