Mengenal Perayaan Malam 1 Suro: Tradisi Keraton Surakarta dan Nilai-Nilainya

Warga sedang berkumpul menyambut Perayaan Malam 1 Suro di Kumpulrejo (Foto: kumpulrejo.desa.id)

PARBOABOA, Jakarta - Malam 1 Suro merupakan perayaan tahun baru dalam kalender Jawa yang sangat bermakna, khususnya di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. 

Perayaan ini dimulai dari terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Besar hingga terbitnya matahari pada hari pertama bulan Suro. 

Bagi masyarakat keraton, bulan Suro dianggap suci dan penuh rahmat. 

Melansir penelitian yang dibuat Yohana Maya Lalita (2018), bulan Suro menjadi saat yang tepat untuk introspeksi diri, berdoa, dan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pada masa pemerintahan Pakoe Boewono II di Keraton Kartasura pada abad ke-17, terjadi pemberontakan oleh Pangeran Mangkubumi yang memaksa Sinuwun melarikan diri ke Ponorogo. 

Di sana, beliau diterima dan dilindungi oleh Bupati Ponorogo. 

Selama pengungsian, Sinuwun mendapatkan petunjuk gaib bahwa pusaka Kyai Slamet harus dijaga oleh sepasang kerbau albino agar kerajaan tetap aman dan langgeng. 

Bupati Ponorogo yang ingin menunjukkan baktinya mempersembahkan sepasang kerbau bule kepada Sinuwun. 

Kerbau albino pada masa itu sangat langka dan bernilai tinggi. Sinuwun Pakoe Boewono II menerima persembahan tersebut dengan penuh syukur dan membawa kerbau kembali ke Kartasura setelah pemberontakan berakhir. 

Hingga kini, keturunan kerbau Kyai Slamet tetap dihormati dan menjadi bagian penting dalam tradisi keraton.

Nilai dan Keunggulan

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2013 tentang Warisan Budaya Tak Benda Indonesia, warisan budaya harus berasaskan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan transparansi serta akuntabilitas. 

Tradisi Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Keraton Surakarta mencerminkan nilai-nilai Pancasila dan bisa dianggap sebagai warisan nasional. Nilai-nilai tersebut, antara lain:

Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Ritual ini mengajak masyarakat untuk berdoa bersama sebagai cermin keyakinan yang kuat kepada Tuhan.

Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Semua peserta, termasuk abdi dalem dan keluarga raja, tidak memamerkan pangkat dan mengenakan pakaian adat Jawa lengkap.

Ketiga, Persatuan Indonesia. Ritual ini mempersatukan berbagai kalangan, mulai dari abdi dalem hingga masyarakat dan wisatawan.

Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan. Pengambilan keputusan dalam ritual ini berdasarkan musyawarah dan mufakat yang dilakukan bersama.

Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Tradisi kembul bujana atau makan bersama menggambarkan kebersamaan dan keadilan sosial.

Makna Simbolis

Dalam tradisi Kirab Pusaka Malam 1 Suro yang diselenggarakan oleh Keraton Surakarta, setiap elemen memiliki makna simbolis yang mendalam.

Simbol-simbol tersebut saling melengkapi dan mencerminkan nilai-nilai budaya dan spiritual masyarakat Jawa.

Pertama, kerbau albino atau yang dikenal sebagai "kebo bule" melambangkan kesuburan dunia. 

Dalam konteks budaya Jawa, kerbau albino adalah makhluk langka dan dihormati, yang diyakini membawa berkah dan kemakmuran. 

Kehadirannya dalam kirab pusaka merupakan simbol harapan agar tanah dan masyarakat selalu subur, makmur, dan dijauhkan dari bencana. 

Kesuburan yang diwakili oleh kerbau albino mencakup tidak hanya aspek pertanian tetapi juga kesejahteraan dan keharmonisan dalam kehidupan sosial.

Kedua, pusaka adalah simbol kekuatan Ilahi yang memegang peranan sentral dalam kirab. 

Pusaka-pusaka yang diwariskan dari generasi ke generasi, dianggap memiliki kekuatan spiritual yang melindungi dan memberkati kerajaan serta rakyatnya. 

Pusaka bukan hanya benda mati, melainkan representasi dari kekuatan Ilahi yang selalu menyertai dan memberikan perlindungan. 

Dengan mengarak pusaka mengelilingi keraton, diharapkan kekuatan spiritual tersebut akan terus menjaga dan memperkuat kerajaan serta masyarakatnya.

Ketiga, tapa mbisu atau praktik berdiam diri dalam doa dan ritual adalah bentuk introspeksi diri yang dilakukan oleh para peserta kirab. 

Dalam tradisi ini, tapa mbisu melibatkan refleksi mendalam dan doa tanpa suara yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. 

Praktik tersebut memungkinkan individu untuk merenungkan tindakan dan kehidupannya, memohon ampunan, dan memulai tahun baru dengan tekad kuat. 

Introspeksi adalah momen penting untuk membersihkan diri dari kesalahan dan memperbaharui komitmen spiritual serta moral.

Dengan demikian, kerbau albino, pusaka, dan tapa mbisu dalam Kirab Pusaka Malam 1 Suro bersama-sama menciptakan sebuah ritual yang tidak hanya merayakan tahun baru Jawa tetapi juga memperkuat nilai-nilai kesuburan, kekuatan Ilahi, dan introspeksi diri. 

Tradisi Kirab Pusaka Malam 1 Suro tidak hanya memperkaya budaya Indonesia tetapi juga memperkuat nilai-nilai luhur yang menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS