PARBOABOA, Jakarta – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam kancah pemilu Indonesia terus menunjukkan keperkasaannya.
Partai dengan lambang Banteng Moncong Putih itu berada di ambang pengumuman kemenangan ketiga kalinya dalam kontestasi politik yang diadakan setiap lima tahun sekali.
Berdasarkan hasil hitung cepat dari berbagai lembaga survei dan rekapitulasi sementara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), PDIP masih memimpin di antara partai-partai lain.
Data terbaru dari KPU pada Senin (26/2), dengan 64,48 persen suara masuk, menunjukkan PDIP memperoleh dukungan sebanyak 12,3 juta suara, atau sekitar 16,54 persen, diikuti oleh Golkar, Gerindra, dan PKB.
Sementara perhitungan suara calon presiden dengan data sementara yang mencakup 77,06 persen, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memimpin dengan perolehan suara sebesar 58,84 persen.
Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar mengikuti dengan 24,43 persen, dan Ganjar-Mahfud di posisi terakhir dengan 16,73 persen.
Dengan hasil ini, pemilihan presiden 2024 diperkirakan berlangsung hanya satu putaran, dengan PDIP yang kemungkinan besar akan menjadi pemenang Pemilu 2024.
Lantas dimanakah posisi PDIP pasca pemerintahan presiden Jokowi?
Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDIP, dalam beberapa kesempatan secara terbuka membahas kemungkinan partainya menjadi oposisi jika pasangan nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memenangkan Pilpres 2024.
Hasto mengakui bahwa saat ini, partainya sedang memantau seluruh proses rekapitulasi penghitungan suara oleh KPU, yang akan menjadi dasar untuk pengambilan keputusan mengenai penetapan pasangan calon terpilih.
Namun, Ia menghindari penggunaan istilah oposisi dan lebih tertarik dengan sebutan berjuang di luar pemerintahan. Alasannya karena sistem pemerintahan Indonesia bukanlah sistem parlementer.
Terlepas dari istilah yang digunakan, pada akhirnya PDIP harus menentukan sikap, apakah akan bergabung dengan pemerintahan yang terpilih pada tahun 2024 atau tetap berada di luar pemerintahan.
Menurut analis politik, Eduardus Lemanto, PDIP seharusnya mengambil posisi sebagai oposisi atau berada di luar lingkaran pemerintahan.
Terdapat tiga alasan utama yang mendukung pandangan ini. Pertama adalah alasan personal.
Edu menilai, Megawati enggan mengintegrasikan PDIP dengan koalisi Prabowo-Gibran. Hal ini didasari oleh ketidakpuasan terhadap posisi Jokowi yang dianggap telah mengecewakan dirinya dan partai.
"Melihat rekam jejak sikap politik Bu Mega, ia bersikap tegas dan tidak kompromistis terhadap lawan politik," ujar Edu.
Bahkan selama era Orde Baru, Megawati dinilai tidak pernah menunjukkan sikap yang lunak terhadap rezim otoriter Soeharto, menegaskan independensinya secara radikal.
Kedua, alasan kenegaraan. Edu berpendapat bahwa Megawati dan PDIP harus memilih posisi sebagai oposisi untuk memastikan prinsip check and balances berjalan efektif terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran.
Edu menyoroti pentingnya keberadaan oposisi untuk mencegah pemerintahan yang berpotensi korup dan otoriter.
“PDIP bersama PKS, yang memang keduanya menjadi partai-partai ‘berjenis kelamin politik’ yang jelas akan mengambil peran oposisi terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran dan terhadap GPJ (Geng Politik Jokowi),” kata Edu.
Ketiga, alasan politis. Menurut Edu, berposisi sebagai oposisi terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran dan GPJ memberikan peluang politik bagi PDIP untuk memenangkan kembali kepercayaan publik pada 2029.
“PDIP harus benar-benar menjadi ‘anjing penggonggong, macan penggigit dan banteng penggeruduk’ terhadap tembok-tembok penutup penyelewengan kekuasaan dan lalat pemberi kabar kebusukan-kebusukan kebijakan rezim Prabowo-Gibran kepada publik,” tuturnya.
Edu menjelaskan, jika fungsi ini dijalankan PDIP secara serius, akan menjadi magnet tersendiri bagi publik dan publik akan berdiri di belakang mereka dalam memantau, memeriksa dan mengoreksi pemerintahan Prabowo-Gibran jika terjadi penyelewengan kekuasaan.
Seirama dengan itu, Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN), Adib Miftahul menegaskan bahwa PDIP akan berposisi sebagai oposisi dalam pemerintahan setelah masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berakhir.
Hal ini terjadi lantaran adanya ketegangan hubungan antara PDIP dan Jokowi.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa PDIP secara terbuka menentang sikap Jokowi yang dalam konteks Pemilihan Presiden 2024, tampaknya mendukung salah satu pasangan calon.
Walaupun Jokowi tidak pernah menyatakan secara eksplisit, tetapi gerak-geriknya menunjukkan keberpihakannya ke Prabowo-Gibran.
Prabowo adalah Menteri Pertahanan di kabinet Jokowi, sementara Gibran adalah putra sulung Jokowi.
"Terbukti bahwa sampai hari ini kan dia sebagai sponsor utama untuk hak angket ya," kata Adib melalui rilis yang diterima Parboaboa, Selasa, 27/2/2024.
Adib menerangkan, para elite PDIP pun telah menunjukkan kesiapan mereka menjadi oposisi di pemerintahan selanjutnya.
Misalnya wacana pertemuan antara Jokowi dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pun belum terlaksana.
Hal ini tentu menambah hilangnya harmonisasi antara PDIP dan Jokowi. Karena itu, komposisi partai koalisi dan oposisi di pemerintahan selanjutnya tidak akan imbang.
"Sampai hari ini bisa kita lihat, PDIP dan PKS, mereka sudah teruji melakukan oposisi karena memang basis militannya kuat. Partai di luar itu cenderung transaksional," tutup Adib.
Suara PDI-P dari 1999-2019
PDI-P, partai politik yang didirikan oleh Megawati Soekarnoputri pada 10 Januari 1999, telah mengalami dinamika politik yang signifikan dari tahun 1999 hingga 2019.
Berawal dari pemisahan diri dari PDI, PDI-P berhasil meraih 33,75% suara sah nasional pada pemilu 1999, mengantarkan 153 kader ke kursi DPR RI.
Tahun itu juga menandai keberhasilan PDI-P dalam mengantarkan Abdurrahman Wahid menjadi Presiden dan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden.
Namun, pada 2004 ceritanya berbeda. PDI-P mengalami penurunan signifikan, hanya mendapatkan 18,53% suara sah nasional dan 109 kursi di DPR RI.
Kekalahan Megawati dalam pemilihan presiden memaksa partai ini menyerahkan kekuasaan kepada Susilo Bambang Yudhoyono.
Kenyataan pahit berlanjut pada pemilu 2009, di mana PDI-P hanya meraih 14,01% suara sah nasional dan 94 kursi di DPR RI, menegaskan posisinya sebagai partai oposisi selama dua periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, keadaan mulai berbalik di 2014. Dengan perolehan 18,96% suara sah nasional, PDI-P berhasil mendukung Joko Widodo menjadi Presiden ke-7 Indonesia, bersama Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden.
Keberhasilan tersebut hingga pemilu 2019, dengan PDI-P meraih 19,33% suara sah nasional dan 128 kursi di DPR RI, serta mempertahankan posisi eksekutif dengan terpilihnya kembali Joko Widodo sebagai Presiden dan Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden.
Perjalanan PDI-P selama dua dekade ini mencerminkan ketahanan dan adaptasi dalam dinamika politik Indonesia, memperlihatkan baik pasang surut maupun kebangkitan partai dalam arena politik nasional.
Editor: Norben