PARBOABOA, Jakarta – Sebagai negara kepulauan yang memukau, Indonesia terkenal dengan destinasi alam yang menawan serta keanekaragaman budayanya yang kaya. Salah satu permata tersembunyi di tanah air ini terletak di Desa Semayu, Kecamatan Selomerto, Wonosobo, Jawa Tengah.
Di desa ini, tradisi dan alam berpadu sempurna, menciptakan latar yang ideal untuk berbagai perayaan kultural, seperti Festival Balon Udara.
Ini merupakan upaya Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Provinsi Jawa Tengah untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisata, khusunya selama Lebaran 2024.
Dilansir dari akun Instagram @disparbudwonosobo, festival mudik tahunan di Kabupaten Wonosobo ini selalu mengundang ribuan pengunjung, baik lokal maupun internasional, untuk menyaksikan pemandangan langit yang dihiasi dengan balon udara berwarna-warni.
Acara ini bertujuan untuk mempertahankan tradisi yang telah turun-temurun diadakan dalam rangka merayakan hari raya Idulfitri.
Jauh sebelum keberagaman balon tradisional Wonosobo muncul, sesepuh di sana telah meluncurkan balon udara sederhana untuk merayakan Lebaran, sebuah tradisi yang dimulai sejak kolonial Belanda.
Sejarah Balon Udara di Wonosobo
Menurut informasi yang terkandung dalam buku Jejak Tradisi Balon Udara Wonosobo, yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo, sejarah balon udara tradisional Wonosobo dimulai sekitar pertengahan dekade 1920-an.
Tokoh penting di balik penemuan ini adalah Atmo Goper (1898–1978), seorang warga dari Krakal Tamanan, Kelurahan Karangluhur, Kecamatan Kertek.
Atmo Goper tidak hanya dikenal sebagai tukang cukur yang terampil, tetapi juga sebagai pembuat lampion, sangkar burung, dan seorang seniman rebana (terbangan). Ia menunjukkan kepiawaiannya yang luas dalam berbagai bentuk kreativitas dan kerajinan tangan.
Inspirasi Atmo dalam membuat balon berawal ketika melihat balon udara berpenumpang di Alun-alun Wonosobo saat masih muda, yang kemungkinan digunakan untuk fotografi udara.
Hal ini dibuktikan dari foto udara Wonosobo pada awal abad ke-20 seperti Perkebunan Teh Tambi tahun 1937 dan Hotel Herstellingsoord ‘Dieng’.
Teknologi fotografi saat itu membutuhkan balon udara karena kecepatan shutter yang masih rendah.
Balon pertama yang dibuat oleh Atmo Goper terbuat dari kertas pilus dan kertas payung, yang pada masa itu dianggap sebagai bahan-bahan mewah. Material tersebut bahkan harus dipesan khusus dari Semarang.
Awalnya, tradisi penerbangan balon udara di Dusun Krakal Tamanan hanya dikenal di kalangan penduduk setempat. Namun, seiring berjalannya waktu, pesona balon udara yang melayang di langit mulai menarik perhatian dari wilayah-wilayah sekitar.
Tradisi ini berawal dari demonstrasi penerbangan balon pertama yang dilakukan oleh Bapak Atmo di depan Mushola Krakal Tamanan, yang disaksikan oleh warga lokal.
Kini, kegiatan tersebut telah berkembang dan menjadi sebuah atraksi yang dinantikan oleh banyak orang.
Festival ini tidak hanya menarik perhatian warga Kertek tetapi juga menarik pengunjung dari kecamatan lain dan bahkan dari luar kota Wonosobo.
Teknologi penerbangan balon ini mulai menyebar luas pada era 1950-an, melampaui batas Dusun Krakal Tamanan menuju Desa Kembaran di Kecamatan Kalikajar dan sekitarnya.
Kisah tentang balon udara yang menarik ini disampaikan oleh Subagyo, warga Krakal Tamanan, yang mewarisi cerita tersebut dari mendiang ayahnya, Serma (Purn.) Barjam (1926 – 2001), seorang teman dan tetangga Atmo Goper.
Peristiwa ini kini tidak hanya menjadi simbol inovasi lokal tetapi juga momen kebersamaan yang membawa kegembiraan bagi masyarakat.
Di masa awal pengembangan penerbangan balon tradisional, beberapa kendala teknis sering terjadi, terutama ketika balon mulai diangkat.
Asap yang menyusut seringkali membuat balon bergeser ke samping karena ketidakseimbangan sistem, yang meningkatkan risiko terbakarnya balon oleh api dari pembakarnya.
Untuk diketahui, metode pembakaran pada waktu itu umumnya menggunakan oman (ujung jerami padi) atau damèn (batang jerami) yang kering, kemudian ditambahkan dengan damèn basah untuk menghasilkan asap tebal yang diperlukan untuk mengisi ruang balon kertas.
Dari proses pembuatan hingga penerbangannya, teknologi balon udara telah berkembang signifikan, termasuk penemuan sistem bandulan pada 1960-an oleh Kosuri. Sistem ini memungkinkan balon untuk terbang lebih stabil dan memperindah tampilannya.
Dalam evolusinya, bandulan kini dapat diisi dengan rangkaian petasan yang panjangnya mencapai satu setengah meter.
Rangkaian ini terdiri dari dua petasan besar di bagian bawah, diikuti oleh sepuluh petasan kecil, kemudian dua petasan besar di tengah, dilanjutkan dengan sepuluh petasan kecil lagi, dan diakhiri dengan dua hingga empat petasan besar, dengan total sekitar 30 petasan.
Berat total dari rangkaian petasan ini bisa mencapai antara dua hingga tiga kilogram.
Kini, hampir setiap tahun setelah Idulfitri, Kabupaten Wonosobo selalu menggelar Festival Balon Udara yang diselenggarakan di berbagai desa untuk meramaikan libur Lebaran.
Popularitas festival ini tidak hanya terbatas pada wilayah lokal, namun juga mulai dikenal di kancah internasional.
Pengetatan Peraturan Penerbangan Balon Udara di Lebaran 2024
Dilansir dari laman resmi Kementerian Perhubungan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, dalam Rapat Koordinasi Persiapan Angkutan Lebaran 2024/1445 Hijriah yang dipimpin Menteri Perhubungan di Kantor Polda Jawa Tengah, Semarang, diputuskan bahwa Festival Balon Udara hanya diizinkan di Wonosobo dan Pekalongan.
Keputusan ini berdasarkan pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 40 Tahun 2018 tentang Penggunaan Balon Udara dalam Kegiatan Budaya Masyarakat, yang telah diikuti dengan pengajuan perijinan yang sesuai oleh kedua lokasi tersebut.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perhubungan Udara, M. Kristi Endah Murni, mengungkapkan kekhawatiran mengenai keselamatan penerbangan akibat balon udara yang diterbangkan secara bebas, terutama selama perayaan Hari Raya Idulfitri.
Dikarenakan balon-balon yang melintas di jalur penerbangan bisa mengganggu keselamatan terbang, misalnya dengan masuk ke dalam mesin pesawat atau menghalangi pandangan pilot, sehingga regulasi yang ketat diperlukan untuk mencegah kecelakaan.
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Kantor Otoritas Bandar Udara Wilayah III Surabaya, AirNav Indonesia, pemerintah daerah, dan kepolisian berkolaborasi untuk mensosialisasikan kepatuhan pada PM 40 Tahun 2018.
Mereka mengimbau masyarakat untuk mengikuti aturan yang berlaku untuk memastikan keamanan dan pelestarian tradisi budaya secara aman.
Berdasarkan Peraturan Menteri (PM) tersebut, terdapat beberapa ketentuan yang wajib diikuti, antara lain:
- Diameter balon tidak boleh melebihi 4 meter
- Tinggi balon tidak boleh lebih dari 7 meter
- Balon tidak boleh terbang lebih dari 150 meter di atas permukaan tanah
- Setiap balon harus memiliki minimal tiga tali tambatan
- Balon tidak boleh dilengkapi dengan peralatan yang mengandung bahan api atau bahan mudah meledak
PM tersebut juga menetapkan bahwa lokasi penyelenggaraan festival haruslah di area terbuka tanpa adanya hambatan seperti pepohonan, pemukiman, kabel listrik, atau stasiun pengisian bahan bakar, serta harus berada pada jarak yang aman dari bandara.
Editor: Beby Nitani