PARBOABOA, Jakarta – Majelis Ulama Indonesia (MUI) meyakini bahwa Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Zaytun yang berada di Indramayu, Jawa Barat terindikasi dengan Negara Islam Indonesia (NII).
Keyakinan ini disampaikan oleh Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) MUI Bidang Hukum dan HAM, Ikhsan Abdullah pada Rabu, 21 Juni 2023 di Gedung Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Jakarta.
Ikhsan mengaku bahwa keyakinan itu didapat berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan oleh MUI.
Dari penelitian itu, MUI menemukan bahwa Ponpes Al-Zaytun terindikasi dengan gerakan NII, mulai dari pola rekrutmen hingga penghimpunan dana ponpes dari anggota maupun masyarakat serupa dengan Negara Islam Indonesia.
Hal itu, sambungnya, sudah jelas dan tidak terbantahkan.
Ikhsan melanjutkan, artinya, penelitian MUI yang dilakukan pada tahun 2002 sudah sangat valid. Di mana, Al-Zaytun telah menyimpang dalam pemahaman agama Islam, paham kenegaraan dan terafiliasi dengan gerakan NII.
Oleh karenanya, Ikhsan mengusulkan agar Ponpes Al-Zaytun berada di bawah binaan MUI soal keagamaan dan dibina pemerintah terkait kenegaraan.
Ia menilai, sudah sangat ideal jika Al-Zaytun dibina oleh MUI dan pemerintah demi mencegah terpapar dari bibit-bibit radikal yang menjadi bom waktu bagi Indonesia.
Pencabutan Izin Ponpes Al-Zaytun
Dalam kesempatan yang sama, Ikhsan menuturkan jika saat ini MUI tengah mengkaji perihal rekomendasi pencabutan izin Ponpes Al-Zaytun.
Adapun, lanjutnya, untuk pimpinan pondok yakni, Panji Gumilang cukup ditindak secara hukum. Sedangkan pendidikan Al-Zaytun dapat dilanjutkan dengan mengganti para pengajar serta pengurusnya di bawah binaan Kementerian Agama (Kemenag) dan MUI.
Penyimpangan
Awal penyimpangan itu terjadi saat berlangsungnya salat Hari Raya Idul Fitri, di mana Ponpes Al-Zaytun menerapkan salat berjarak yang mengacu pada QS. Al Mujadalah ayat 11.
Menurut Pakar Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat, Kiai Yazid Fatah, pelaksanaan tata salat yang dilakukan itu sangat menyimpang dan termasuk menafsirkan Al-Qur’an secara serampangan.
Yazid dalam siaran persnya menjelaskan, Tafassahu dalam ayat Qur’an itu bukan memerintahkan untuk menjaga jarak dalam barisan salat, melainkan merenggangkan tempat jemaah lain kebagian tempat duduk.
Tak hanya salat dengan berjarak, pada salat Hari Raya Idul Fitri juga Ponpes Al-Zaytun menempatkan perempuan dalam saf salat laki-laki.
Yazid menyatakan bahwa hal itu juga merupakan sebuah penyimpangan, termasuk dalih pernyataan mengikuti madzhab Bung Karno yang diucapkan oleh pimpinan ponpes, Panji Gumilang pun hukumnya haram.
Penyimpangan terbaru yang menjadi sorotan masyarakat adalah Ponpes Al-Zaytun memperbolehkan zinah dan dosanya dapat ditebus dengan sejumlah uang bagi yang mampu.
Secara terbuka Panji Gumilang melarang santrinya untuk berpacaran dan berzina. Namun, larangan itu tak berlaku bagi orang yang memiliki uang.