PARBOABOA, Jakarta – Kisruh Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jalur zonasi memang sudah berlalu beberapa bulan. Namun, kisruh tersebut berimbas pada banyaknya peserta didik yang putus sekolah sementara karena memilih menunggu PPDB tahun depan atau memilih sekolah swasta agar anak tidak menganggur di rumah.
"Terpaksa kami masukkan anak ke sekolah swasta karena anak saya tidak diterima di sekolah negeri di PPDB 2023 lalu," ungkap Erni, salah seorang orang tua siswa kepada PARBOABOA, Kamis (5/10/2023).
Hanya saja, untuk masuk sekolah swasta, orang tua siswa seperti Erni harus merogoh kocek lebih dalam.
Pantauan PARBOABOA, sekolah swasta dengan akreditasi A mematok harga di atas Rp10 juta dan harus dibayar dimuka, di luar uang formulir yang dipatok mulai Rp250 ribu hingga Rp450 ribu dan jika uang Rp10 juta tidak dibayarkan, maka uang formulir tersebut hangus dan tidak bisa dikembalikan.
Mahalnya sekolah swasta dengan akreditasi A membuat Erni terpaksa memasukkan anaknya ke sekolah swasta dengan akreditasi B karena lebih murah.
"Tetap saja bagi kami ini cukup berat, karena suami saya bekerja sebagai supir ojek online sedang saya ibu rumah tangga," ucap ibu tiga anak ini.
Erni juga mengeluhkan sekolah swasta di Jakarta yang kebanyakan menggunakan prinsip ‘ada uang ada kualitas’. Hal itu, kata dia, mengisyaratkan seolah hanya orang kaya yang boleh mendapatkan pendidikan berkualitas.
"Inginnya kami masukkan sekolah swasta yang berkualitas, tapi harganya di atas Rp10 juta hingga Rp12 juta dan itu harus dibayar cash di awal, tidak boleh dicicil," ungkapnya.
Erni hanya berharap, Dinas Pendidikan DKI Jakarta mendengar keluh kesahnya.
"Saya rasa ini dikeluhkan oleh warga kelas menengah, seolah manusia itu dikelaskan dari pendapatannya, ini tidak berperikemanusiaan!," imbuhnya.
Persaingan Sekolah Swasta
Sementara itu, perwakilan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Pasar Minggu, Syarif Hidayat mengaku sekolah swasta menghadapi dilema karena persaingan antarsekolah menjadi isu utama yayasan pemilik sekolah. Apalagi persaingan tersebut, kata dia, terkadang melibatkan nama baik dan stigma masyarakat.
Syarif mengatakan, anak yang masuk sekolah swasta terkadang dianggap anak yang tak mampu ikut seleksi sekolah negeri.
"Sekolah kami hanya dijadikan tempat transit mereka untuk kemudian mereka pindah ke sekolah negeri setelah naik kelas. Hal ini yang membuat kami memasang tarif besar sebagai bentuk komitmen untuk bisa menyelesaikan pendidikan di sekolah kami," katanya.
Syarif kemudian meminta pemerintah mengatur zona agar sekolah swasta tidak bersaing dan tidak saling menjelekkan sesama sekolah swasta.
Pendidikan Belum Setara
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Pemprov DKI Jakarta, Purwosusilo menilai, seharusnya pendidikan negeri atau swasta memiliki kesetaraan dalam standar pendidikan nasional, karena hal itu sesuai dengan visi dinasnya untuk memberikan pelayanan pendidikan yang berkualitas.
Apalagi, kata Purwosusilo, Pemerintah pusat telah memberikan bantuan operasional sekolah, sehingga tidak boleh ada komersialisasi oleh sekolah swasta.
"Tujuannya dari BOS untuk meningkatkan aksesibilitas dan mutu pendidikan," katanya kepada PARBOABOA, Kamis (5/10/2023).
Namun, lanjut Purwosusilo, sekolah swasta akreditasi A, B atau C bukan berarti boleh mematok harga sesuai dengan akreditasinya. Akreditasi hanya untuk membedakan fasilitas dan layanan sekolah untuk siswa bukan untuk mematok harga.
"Kami memberikan pendampingan manfaat platform Merdeka Mengajar oleh guru, pembentukan sekolah komunitas yang melibatkan sekolah negeri dan swasta untuk saling bekerja sama, berbagi praktik baik, menggunakan sarana bersama, kegiatan ekskul bersama, workshop bersama dan yang lain," jelasnya.
Purwosusilo mengaku, Disdik kerap melakukan pembinaan dan pemantauan satuan swasta dengan melibatkan unsur internal, termasuk unsur dari luar seperti Inspektorat DKI Jakarta, BPK, Irjen Kemdikbud, BPKP, maupun masyarakat dan komite sekolah.
“Pembinaan dan pemantauan bekerja sama juga dengan BMPS dan yayasan penyelenggara pendidikan. Melalui keterlibatan semua pihak diharapkan satuan pendidikan swasta dapat menyelenggarakan layanan pendidikan yang tuntas dan berkualitas sesuai ketentuan yang berlaku,” imbuhnya.
Sementara itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Aris Adi Laksono meminta Disdik menindak tegas sekolah swasta yang mematok harga tinggi dan harus dibayarkan dimuka.
"Pemda menegur, memberikan arahan agar tidak terlalu mahal, daya tampung terbatas, tapi mahal, muncul potensi anak putus sekolah, sementara negara menggariskan pemerintah menjamin warga tidak putus sekolah,” tegasnya.
Aris juga meminta Disdik mengawasi dan mengaudit dengan lengkap pembiayaan pendidikan swasta, termasuk pemberian sanksi pada sekolah swasta yang memberlakukan uang pangkal yang tak sewajarnya.
"Disdik juga harus berani menentukan standar uang SPP yang boleh dibayarkan siswa jika masuk sekolah swasta," pungkasnya.
Editor: Kurniati