PARBOABOA, Jakarta - Masyarakat Indonesia rentan mengalami gangguan kesehatan mental dalam beberapa tahun terakhir.
Data World Health Organization (WHO) pada tahun 2021 mencatat, prevalensi gangguan mental di Indonesia mencapai 9,8%, dengan kasus depresi mencapai 6,6%.
Dua tahun berselang, tercatat sebanyak 6,1% dari populasi penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kesehatan mental.
Lebih lanjut, diproyeksikan pada tahun 2024, jumlah penderita gangguan kesehatan mental di Indonesia akan meningkat hingga 3,24 juta orang.
Dari perkiraan tersebut, remaja disinyalir sebagai kelompok yang lebih cenderung mengalami gangguan mental.
Kisah Rafi dalam liputan khusus PARBOABOA pada Senin (26/08/2024) menunjukkan bahwa kesehatan mental masih menjadi persoalan serius yang dihadapi kalangan remaja.
Rafi, tulis laporan tersebut, menjadi individu yang kerap menyayat-nyayat lengannya sendiri karena menderita self harm.
Anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Khamelia Malik dalam temu media di Jakarta pada Selasa (12/10/2023) mengungkapkan adanya paradoks di masa remaja.
Khamelia menyebutkan masa remaja adalah periode paling sehat dalam hidup yang ditandai kekuatan, kecepatan, dan kemampuan penalaran yang optimal.
Remaja juga memiliki daya tahan yang lebih kuat terhadap berbagai kondisi seperti dingin, panas, kelaparan, dehidrasi, dan berbagai jenis cedera.
Namun, ironisnya, angka gangguan mental yang berakibat pada sakit dan kematian di kalangan remaja justru meningkat hingga 200%.
Hal ini, terang Khamelia, disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam mengendalikan perilaku dan emosi, yang berpotensi membawa dampak buruk hingga kematian.
Perkembangan otak yang tidak merata membuat mereka cenderung melakukan kegiatan berisiko dan impulsif tanpa mempertimbangkan konsekuensinya.
Karena itu, Khamelia menekankan pentingnya peran orang tua sebagai panutan dalam membantu remaja membangun kecerdasan emosional dan membuat pilihan yang lebih bijak.
Bimbingan dari orang tua atau guru dapat membantu remaja mengevaluasi risiko dan mengantisipasi konsekuensi dari setiap keputusan yang diambil.
Senada, anggota Perhimpunan Psikolog Indonesia, Nimaz Dewantary, menambahkan bahwa pemahaman diri terhadap situasi anggota keluarga yang mengalami gangguan mental akan sangat membantu menjaga kestabilan emosi.
Selain itu, dukungan profesional dari psikolog, menjalani terapi, serta menghilangkan stigma sosial, juga sangat penting dalam mengatasi masalah kesehatan mental.
Beberapa Penyebab
Kesehatan mental merupakan fondasi kesejahteraan individu karena memampukan seseorang untuk bekerja secara produktif dan berkontribusi positif bagi komunitasnya.
Di Indonesia, kesadaran akan pentingnya kesehatan mental terus meningkat, seiring dengan perhatian masyarakat yang semakin besar dalam kehidupan mereka.
Namun demikian, tantangan besar masih menghalangi upaya untuk mencapai kesejahteraan mental yang menyeluruh.
Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan kasus gangguan mental adalah stres karena beban kerja yang tinggi, masalah keuangan, dan situasi sosial yang tidak kondusif.
Tekanan yang berlebihan terhadap kehidupan seseorang sering kali membawa mereka ke dalam situasi yang sulit dan berpotensi mengembangkan gangguan mental.
Selain itu, pengalaman traumatis seperti bencana alam, kekerasan, dan kejadian-kejadian lain yang meninggalkan luka emosional mendalam juga meningkatkan risiko gangguan mental.
Jika trauma tersebut dibiarkan, maka bisa menyebabkan masalah psikologis yang serius terhadap individu.
Penyebab lain adalah stigma sosial terhadap gangguan mental. Banyak yang merasa takut atau malu untuk mengakui kondisi mereka karena khawatir akan pandangan negatif dari masyarakat.
Akibatnya, mereka cenderung mengabaikan kesehatan mental. Ketakutan untuk mendiskusikan persoalan yang dihadapi membuat mereka dihampiri beban mental yang berlebihan.
Kurangnya akses terhadap layanan kesehatan mental yang memadai juga menjadi tantangan besar. Di banyak daerah, masyarakat masih kesulitan mendapatkan layanan yang berkualitas dan terjangkau.
Biaya pengobatan yang tinggi, stigma negatif, dan minimnya fasilitas perawatan di beberapa daerah membuat banyak individu terhambat dalam mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan.
Senada, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Nandy Agustin Syakarofath, menguraikan berbagai faktor pemicu gangguan mental.
Faktor-faktor tersebut mencakup perubahan lingkungan yang meliputi aspek sosial, ekonomi, dan perkembangan teknologi.
"Perubahan gaya hidup yang didorong oleh materialisme dan industrialisasi terkait teknologi seringkali menimbulkan tekanan sosial dan isolasi, yang pada akhirnya dapat memicu stres, depresi, hingga bunuh diri," jelas Nandy dalam sebuah keterangan.
Nandy juga menyoroti bahwa tekanan hidup yang meningkat, seperti persaingan dalam pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial, turut berperan dalam memicu respons psikologis yang negatif.
Seseorang yang terus-menerus berada di bawah tekanan, baik itu tekanan akademik, ekonomi, maupun sosial akan rentan mengalami gangguan mental seperti depresi dan kecemasan.
"Individu yang menghadapi krisis, seperti pandemi, perang, atau bencana alam, sering kali menderita dalam jangka waktu yang lama, yang pada akhirnya dapat memicu kecemasan, stres, dan berbagai masalah kesehatan mental lainnya," tambahnya.
Nandy menegaskan peningkatan jumlah individu dengan masalah kesehatan mental sebenarnya merupakan fenomena gunung es. Sebab, banyak kasus yang belum terungkap ke publik.
"Seperti halnya gunung es yang hanya menunjukkan sebagian puncaknya, banyak elemen penting lainnya yang tersembunyi di bawah permukaan," tutup Nandi.
Sinergi Bersama
Penanganan kesehatan mental telah menjadi salah satu agenda global. WHO berkomitmen melaksanakan "Rencana Aksi Kesehatan Mental Komprehensif 2013-2030" bersama sejumlah negara anggota.
Tujuannya adalah meningkatkan kesehatan mental dengan memperkuat kepemimpinan dan tata kelola yang efektif, menyediakan perawatan berbasis komunitas yang komprehensif, terintegrasi, dan responsif.
WHO juga bermaksud menerapkan strategi promosi dan pencegahan, serta memperkuat sistem informasi, bukti, dan penelitian yang meminimalisir peningkatan kasus kesehatan mental.
Laporan WHO berjudul "Mental Health Atlas 2020" menunjukkan bahwa kinerja negara-negara dalam mencapai target rencana aksi kesehatan mental masih belum memadai.
Karena itu, mereka menghimbau semua negara untuk mempercepat implementasi rencana aksi dengan berfokus pada tiga jalur transformasi, yakni memperdalam nilai kesehatan mental di masyarakat, merombak lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi, serta memperkuat perawatan kesehatan mental melalui layanan yang berkualitas.
Dalam upaya nasional untuk memperkuat kesehatan mental, penting untuk tidak hanya melindungi dan mempromosikan kesejahteraan mental semua orang, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan orang dengan kondisi kesehatan mental.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Nandy Agustin Syakarofath menekankan pentingnya pendekatan yang mencakup upaya pada dua level, yaitu mikro dan makro.
Pada level mikro, dukungan harus diberikan kepada individu yang mengalami gangguan mental agar mereka dapat meningkatkan kemampuan dalam mengelola emosi dan keterampilan menghadapi stres.
Di sisi lain, pada level makro, Nandy menekankan bahwa pemerintah memiliki peran penting untuk memperluas akses terhadap layanan kesehatan mental.
Pemerintah juga perlu mempromosikan terciptanya lingkungan yang mendukung, memberikan pelatihan kepada tenaga kerja masyarakat, serta merumuskan kebijakan publik yang dapat mendukung kesehatan mental secara menyeluruh.
Hal ini dibuat karena isu kesehatan mental adalah tanggung jawab bersama yang harus ditangani oleh berbagai pihak, mulai dari keluarga, sekolah, pemerintah, hingga masyarakat dan individu.
"Kerja sama yang erat dari semua pihak sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan pribadi dan menyelesaikan masalah kesehatan mental yang ada," ujar Nandi.
Editor: Defri Ngo