PARBOABOA, Jakarta – Konflik bersenjata antara pasukan Rusia dan Ukraina kembali mencuat.
Kedua negara tersebut mencuri perhatian publik internasional karena tersangkut persoalan kemanusiaan yang serupa seperti dialami Israel dan Palestina.
Pada Kamis (23/05/2024) lalu, serangan rudal Rusia telah meluluhlantakkan beberapa lokasi di Kharkiv, termasuk sebuah percetakan di ibu kota regional dan menewaskan tujuh orang warga.
Pasukan Rusia memanfaatkan garis depan Ukraina yang melemah dan maju menuju Kharkiv selama dua minggu terakhir.
Beberapa bagian wilayah ini pernah dikuasai oleh pasukan Rusia, sebelum dibebaskan untuk beberapa waktu.
Menurut Gubernur Regional Ukraina, dari tujuh korban yang tewas, lima di antaranya adalah wanita yang merupakan warga sipil dan bekerja di perusahaan percetakan Factor-Druk di ibu kota wilayah.
Enam belas orang terluka di percetakan yang terletak di selatan pusat kota, dan tujuh orang terluka di tempat lain.
Setelah serangan tersebut, sejumlah siaran televisi menunjukkan sebagian pabrik yang hancur telah menjadi puing dan beberapa bangunan lain hancur.
Melansir laman CNN World, Factor-Druk adalah perusahaan yang menerbitkan sekitar sepertiga dari buku-buku nasional dan 10 % dari surat kabar.
Selain Factor-Drunk, jaringan kereta api negara Ukraina juga diserang pada pagi hari dan menyebabkan enam karyawan terluka.
Ratusan warga sipil diinformasikan terperangkap oleh kekerasan baru yang melanda wilayah tersebut.
Lebih lanjut, pasukan Rusia juga menembaki warga yang berusaha melarikan diri dari kota Vovchansk dan membunuh seorang wanita pada Rabu (15/05/2024) lalu.
Serangan ini membuka babak baru konflik bersenjata antara negara yang dipimpin oleh Vladimir Putin dan Volodymyr Zelensky yang sebelumnya sempat meredah.
Para pengamat hubungan internasional menilai, ada kemungkinan terciptanya serangan yang semakin meluas sebagaimana yang terjadi di Israel dan Palestina.
Intervensi negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS) dan China tentu memberi warna baru terhadap persoalan yang sedang terjadi.
Serangan Brutal
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky mengutuk brutalitas serangan Rusia di Kharkiv dan kota Lyubotyn serta menyorot lemahnya pertahanan udara di Kyiv.
Dalam cuitan di X, ia menyebut bahwa teroris Rusia telah memanfaatkan kurangnya pertahanan udara dan kemampuan untuk menghancurkan pasukan Rusia di wilayah perbatasan Ukraina.
Sebelumnya, seperti dikabarkan pada awal Mei, AS telah menyetujui paket senilai $400 juta berisi amunisi pertahanan udara dan senjata lainnya untuk Ukraina.
Namun, pejabat senior di Kyiv memperingatkan bahwa bantuan terbaru itu tidak akan cukup untuk menahan serangan lebih lanjut dari Rusia.
Laporan CNN World juga menyebut, pasukan Ukraina di Kharkiv menggunakan persenjataan yang sudah tua dan tidak memadai untuk menahan unit Rusia yang sangat lengkap.
Zelensky semakin frustasi dengan syarat yang diberlakukan oleh sekutu Barat bahwa senjata yang mereka berikan kepada Ukraina tidak boleh digunakan untuk meluncurkan serangan ke Rusia.
Ia sendiri tidak berpikir harus ada pembatasan, karena baginya semua hal terkait perang Ukraina dan Rusia adalah tentang kekuatan pertahanan.
Pejabat Gedung Putih juga mengatakan bahwa sikap mereka terhadap masalah ini tidak berubah. Mereka menghendaki pembatasan dalam penggunaan alat-alat perang bagi pasukan Ukraina.
Pernyataan ini disampaikan oleh Juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, John Kirbyyang menyebut pihaknya akan mengambil sikap pasif untuk membantu pertahanan Ukraina.
Baginya, AS tidak akan mendorong atau memungkinkan serangan menggunakan sistem senjata yang dipasok di dalam wilayah Ukraina.
Sikap pasif pejabat AS dan dukungan yang kurang dari negara-negara Barat akan menyulitkan Ukraina untuk keluar dari persoalan.
Dengan keadaan yang semakin terhimpit, pasukan Rusia disinyalir akan terus melakukan serangan ke Ukraina dan meluluhlantakan keamanan mereka.