PARBOABOA, Jakarta - Solidaritas Perjuangan Pekerja Migran Indonesia (SIAP PMI) bersama LSM pemerhati pekerja migran lain menuntut Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) Nomor 260 Tahun 2015 yang mengatur penghentian dan pelarangan penempatan pekerja migran Indonesia (PMI) pada pengguna perseorangan di negara yang ada di kawasan Timur Tengah.
Menurut Ketua Umum SIAP PMI, Faiz, Kepmenaker 260/2015 harus dicabut atau direvisi karena akan banyak praktik penyimpangan yang dapat membunuh hak-hak PMI dan memperburuk perlindungan mereka di Timur Tengah.
"Saya minta kepada Presiden Jokowi segera merevisi Kepmenaker 260/2015, untuk membuka hak rakyat bekerja di sektor domestik ke penempatan Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman dan Kuwait," Faiz dalam orasinya di Bundaran Patung Kuda Monas, Kamis (03/08/2023).
Faiz mengatakan, Pemerintah seharusnya menata ulang penempatan PMI ke negara-negara di kawasan Timur Tengah, bukan menghambat warga mendapatkan pekerjaan di negara tersebut. Apalagi dalam prakteknya, penempatan PMI hanya dikuasai oleh satu asosiasi bernama Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati).
"Menata ulang kembali sistem penempatan satu kanal (SPSK) yang lebih komprehensif sesuai Konvensi Internasional Nomor 189 Tahun 2011 serta memberi kesempatan kepada Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) secara luas, adil dan bertanggung jawab tanpa monopoli," lanjutnya.
Faiz juga meminta pemerintah mengoptimalkan penempatan PMI ke berbagai negara dengan membangun sistem yang lebih modernis, mudah, praktis dan aman.
"Serta melindungi hak kerja PMI untuk membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya demi produktifnya bonus demografi," tegasnya.
Hal senada juga diungkapkan Koordinator Lapangan Barisan Relawan Nasional Indonesia (Brani), Ahmad Effendi yang mendesak Presiden Jokowi mencabut Kepmenaker 260/2015 karena peraturan ini mencegah buruh di Indonesia bekerja ke Timur Tengah.
"Kami menuntut ketidakadilan tenaga kerja Indonesia di Kepmenaker Nomor 260 Tahun 2015, karena pemerintah ketika terjadi permasalahan dengan pekerja, bukan mencari solusi tetapi menutup keran pekerja Indonesia ke Timur Tengah. Ini adalah hal yang sangat tidak adil. Padahal janji pemerintah menyediakan 10 juta lapangan kerja seluas-luasnya namun itu janji bohong!," tegasnya.
Ahmad Effendi juga menilai, Kepmenaker 260/2015 menguntungkan Apjati, karena memonopoli pengiriman pekerja migran Indonesia ke kawasan Timur Tengah.
"Seharusnya aturan-aturan itu diperbaiki, bukan malah pekerja yang disalahkan. Kebijakan ini sudah jelas merugikan rakyat, karena monopoli ini dilakukan dengan cara-cara kongkalikong, Apjati menguasai memonopoli pengiriman pekerja migran Indonesia," kesalnya.
Ditambahkannya, PMI merupakan pahlawan devisa, sehingga harus dilindungi oleh HAM dan konstitusi Indonesia.
"Karena pekerja migran adalah pahlawan devisa, dan hak asasi manusia mereka dilindungi oleh konstitusi Indonesia yang tercantum dalam pasal 27 ayat 2 UUD 1945 serta konvensi internasional. Oleh karena itu, tidak ada satu pun yang boleh melarang dan menghambat buruh Indonesia bekerja di luar negeri," pungkas Ahmad Effendi.
PARBOABOA berusaha menghubungi Ketua Umum Apjati, Ayub Basalamah, namun hingga berita ini diterbitkan, tidak ada jawaban dari yang bersangkutan.
Editor: Kurniati