PARBOABOA, Jakarta - Seorang mahasiswa Prodi FEB Universitas Udayana (Unud) bernama Sergio Lucasandro Ksatria Dwi Putra, diduga terlibat kasus pelecehan seksual digital.
Ia dituduh menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk menyunting foto teman-teman perempuannya menjadi seolah-olah tanpa busana melalui bantuan bot di aplikasi Telegram.
Kasus ini mulai terungkap pada Kamis (13/3/2025) sekitar pukul 21.05 WITA.
Seorang korban berinisial KB mengungkapkan bukti-bukti berupa tangkapan layar, termasuk foto-foto korban yang disimpan dalam bentuk draf lengkap dengan nama masing-masing, disebarkan oleh mantan kekasih pelaku.
"Pelaku menyimpan dan meng-edit foto-foto pribadi kami dari media sosial, khususnya Instagram. Foto-foto yang awalnya bersifat wajar dan umum di media sosial, diambil tanpa izin, lalu di-edit secara digital sehingga tampak seolah-olah kami dalam kondisi tanpa busana atau telanjang," ujar KB dalam keterangan, Jumat (25/04/2025).
Menurut KB, pelaku menjalankan aksinya dengan sangat rapi dan tanpa menimbulkan kecurigaan. Hubungan mutual di Instagram dan status sebagai teman kuliah membuat korban tidak menyangka.
Bahkan, diduga tindakan serupa telah dilakukan pelaku sejak masa sekolah di sebuah SMA di Jakarta.
"Semua orang tidak memiliki kecurigaan. Kami, teman kuliahnya di Bali, tidak mengetahui bahwa ternyata kasus ini telah berulang setelah dia melakukan hal tersebut pada teman-temannya di Jakarta," tambah KB.
Selain itu, KB menyebutkan bahwa dalam salah satu bukti tangkapan layar terdapat barcode yang menyerupai Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Hal ini memunculkan kecurigaan adanya dugaan transaksi keuangan terkait dengan foto hasil suntingan tersebut.
"Kami sudah tanyakan kepada pelaku, tetapi pelaku menyanggah. Hal tersebut tidak bisa kami percaya begitu saja dikarenakan foto-foto korban di HP terduga pelaku dinamakan lengkap per orangnya per draf. Cukup kami pertanyakan, mengapa harus dinamakan seperti itu apabila memang konsumsi pribadi?" tuturnya.
Terhadap kasus ini, perwakilan korban pun bertemu dengan pelaku di sebuah kafe di Jalan Tukad Badung pada Jumat (14/3/2025) pukul 20.30 WITA.
Dalam pertemuan tersebut, pelaku membuat dan menandatangani surat perjanjian bermeterai yang berisi komitmen untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.
"Pelaku berjanji untuk membuat video permintaan maaf kepada para korban dan mengunggah video tersebut di Instagramnya. Namun, sampai detik ini, tidak dibuat," jelas KB.
Sikap BEM dan Pihak Universitas
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEB Unud mengkonfirmasi adanya pertemuan yang melibatkan Ketua BEM, Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), perwakilan korban, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Informasi, serta Koordinator Program Studi Sarjana Manajemen dan Akuntansi pada 15 Maret 2025.
Hasil pertemuan tersebut ditindaklanjuti dengan pengiriman surat aspirasi oleh DPM kepada Dekan FEB pada 17 Maret 2025.
Dua hari kemudian, pada 18 Maret 2025, diadakan pertemuan antara Dekan, Wakil Dekan, Sub Koordinator Kemahasiswaan, Koordinator Program Studi Sarjana Akuntansi, Ketua DPM FEB, dan terduga pelaku.
"Setelah pertemuan dilakukan, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis menindaklanjuti dengan mengirimkan surat permohonan sidang kode etik kepada pihak Rektorat pada Jumat (21/03/2025)," terang Ketua BEM FEB, I Made Putra Theo Bagaskara, Selasa (22/4/2025).
Theo juga menyebut bahwa pihak dekan telah menangguhkan hak studi terduga SL selama proses sidang kode etik berjalan.
Selanjutnya, pada 25 Maret 2025, dekan mengajukan permohonan resmi kepada Dewan Kehormatan Etik untuk segera menggelar sidang kode etik terhadap terduga pelaku. Hingga kini, pihak BEM masih menunggu keputusan resmi.
"Kami kembali mendesak pihak rektorat dan Dewan Kehormatan Etik agar segera mengambil tindakan serius dan secepatnya selaku pihak berwenang menurut Peraturan Rektor Nomor 16 Tahun 2021," tegas Theo.
Dekan FEB Unud, Agoes Ganesha Rahyuda, memastikan bahwa laporan terkait terduga pelaku telah diteruskan secara resmi kepada Rektor I Ketut Sudarsana.
Proses ini mengacu pada Peraturan Rektor Unud Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Perundungan dan Kekerasan Seksual, serta Peraturan Rektor Nomor 16 Tahun 2021 tentang Kode Etik Mahasiswa.
Untuk mahasiswa yang dirugikan oleh tindakan terduga pelaku, Ganesha menjelaskan pihaknya mempersilahkan korban melapor ke pihak yang berwenang dalam hal ini Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Universitas Udayana, didampingi BEM dan DPM FEB Unud.
Pihak Rektorat Universitas Udayana juga membenarkan adanya laporan resmi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis terkait kasus ini. Sebelumnya, kasus tersebut telah ditangani melalui Tim Etik internal fakultas.
Selanjutnya, mereka menunggu pertimbangan dari Dewan Etik Senat Universitas untuk menentukan bentuk sanksi yang sesuai berdasarkan tata tertib dan kode etik sivitas akademika.
Selain itu, Satgas PPKS Universitas Udayana juga tengah melakukan pendalaman lebih lanjut terhadap kasus ini dan akan memberikan rekomendasi menyeluruh.
Pihak universitas menegaskan komitmen mereka untuk menjalankan proses ini dengan serius dan menjunjung prinsip kehati-hatian, perlindungan terhadap korban, serta kepastian hukum.
Kian Marak
Dugaan kekerasan seksual yang terjadi di Unud hanyalah satu dari sekian banyak kasus serupa yang terjadi di ranah digital. Model kekerasan tersebut cenderung dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Data SAFEnet Indonesia mengungkapkan lonjakan tajam kasus KBGO sepanjang 2024. Tercatat, jumlah kasus meningkat hingga empat kali lipat, dari 118 kasus pada triwulan pertama 2023 menjadi 480 kasus pada periode yang sama tahun 2024.
Dari jumlah tersebut, kelompok anak berusia 18-25 tahun menjadi korban terbanyak dengan 272 kasus atau sekitar 57 persen, disusul anak-anak di bawah 18 tahun sebanyak 123 kasus atau 26 persen.
Menteri PPPA, Arifatul Choiri Fauzi menjelaskan, KBGO kerap terjadi dalam bentuk pelecehan dan eksploitasi seksual terhadap perempuan dan anak secara daring, termasuk penyebaran konten intim tanpa persetujuan.
Karena itu, Fauzi mengajak semua masyarakat untuk aling bahu membahu dalam memperjuangkan ruang digital yang aman. Kerja sama antara setiap kementerian juga dibutuhkan untuk mencegah terjadinya kasus serupa.
Senada, Lidwina Inge Nurtjahyo, seorang staf pengajar Fakultas Hukum UI dalam keterangan resmi yang diterima akhir Maret lalu menjelaskan sejumlah langkah praktis yang perlu dilakukan korban dalam proses pelaporan.
Pertama, korban perlu menyusun kronologi kejadian secara rinci. Penyusunan kronologi ini menjadi fondasi utama dalam proses pelaporan, karena akan membantu menjelaskan alur kejadian kepada pihak yang berwenang.
Kedua, penting bagi korban untuk mengamankan seluruh barang bukti yang berkaitan dengan kasus tersebut. Bukti-bukti tersebut bisa berupa tangkapan layar percakapan atau gambar, rekaman suara, maupun video yang tindakan kekerasan yang dialami.
Ketiga, setelah bukti dinilai cukup, korban disarankan untuk segera menghentikan komunikasi dengan pelaku. Pada tahap ini, korban juga sangat dianjurkan untuk melakukan konsultasi psikologis.
"Dukungan psikologis akan memperkuat kondisi mental korban, yang sangat dibutuhkan selama proses pelaporan dan penyelesaian kasus," tulis Lidwina.
Keempat, sebelum melangkah ke jalur hukum, korban bersama pendampingnya perlu melakukan pemetaan risiko. Dalam tahap ini, korban perlu memahami berbagai opsi penyelesaian kasus serta potensi tantangan yang akan dihadapi.
"Misalnya, bila korban memutuskan untuk melapor ke kepolisian, ia harus siap menjalani proses interogasi yang bisa memakan waktu lama dan cukup melelahkan secara emosional," paparnya.
Kelima, melaporkan tindakan pelaku kepada pihak platform digital terkait untuk meminta penanganan atas konten bermasalah.
"Setelah itu, korban dapat melanjutkan proses hukum dengan menyerahkan laporan kepada aparat penegak hukum, lengkap dengan seluruh bukti yang telah dikumpulkan" pungkas Lidwina.