PARBOABOA, Jakarta - Temuan Parboaboa belum lama ini memperlihatkan keuntungan fantastis pengusaha rokok ilegal di beberapa wilayah.
Di Malang, Jawa Timur, misalnya, seorang pengusaha mengaku mendapat keuntungan dua sampai tiga kali lipat dari penjualan rokok tanpa cukai itu.
Keuntungan yang menggiurkan tersebut diperoleh karena produsen rokok ilegal menghindari beban pajak yang harus ditanggungnya. Kalaupun harus mengucur modal, para bohir paling hanya mengeluarkan ongkos produksi.
Praktek culas ini menyebabkan hilangnya penerimaan negara, salah satu sumber daya penyangga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Survei Universitas Gajah Mada (UGM) (2022) menunjukkan peredaran rokok ilegal di Indonesia mencapai angka 5,5 persen.
Pada 2023, angka ini naik menjadi 6,8 persen dan berpotensi menghilangkan Rp14,5 triliun dari penerimaan negara sebesar Rp213,38 triliun.
Sementara itu, mengutip kajian resmi Kementerian Keuangan, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menyebut, produksi rokok ilegal mencapai 7% dari total produksi rokok di Indonesia per tahun.
Maraknya rokok ilegal ini, kata mereka, menyebabkan menurunya produksi rokok legal. Akibatnya penerimaan negara yang bersumber dari perusahaan resmi ikut menurun.
Peredaran rokok ilegal juga tidak hanya berimplikasi pada melemahnya penerimaan negara. Iklim pasar turut mendapat getahnya.
Berdasarkan sejumlah temuan, peredaran rokok ini menciptakan segmen pasar baru karena harganya lebih murah. Kondisi demikian menciptakan persaingan usaha tidak sehat di kalangan pengusaha.
Sementara itu, bagi konsumen, kerugian dari aspek kesehatan kian nyata karena tidak ada standar kualitas serta tidak adanya infromasi detail terkait kandungan berbahaya.
Praktik ini jelas melanggar pasal 54 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, yang mengategorikan peredaran rokok ilegal sebagai tindak pidana cukai.
Namun, sayangnya, di tengah adanya aturan yang tegas, penegakan hukum terhadap produsen dan pengedar rokok ilegal tidak pernah tuntas.
Salah satu tantangan kenapa sulit memberantas pengusaha dan pengedar rokok ilegal adalah mereka mengelabui petugas dengan sejumlah modus.
Operasi Gempur Ilegal oleh Bea Cukai di berbagai daerah pengawasan mengungkapkan sejumlah modus tersebut. Salah satu yang sering dilakukan adalah menggunakan mobil pribadi untuk pengangkutan.
Di Sumatra Bagian Barat, petugas berhasil mengungkap modus penyelundupan yang dilakukan dengan menggunakan mobil box bersegel plastik. Untuk mengurangi aroma tembakau, rokok-rokok tersebut ditaburi dengan bubuk kopi.
Sementara itu, Bea Cukai Kudus, Jawa Tengah pernah berhasil menggagalkan peredaran rokok ilegal yang dijual melalui e-commerce.
Modus operandi melalui e-commerce juga ditemukan di wilayah hukum Magelang belum lama ini. Kepala Bea Cukai Magelang, Imam Sarjono, bahkan mengungkap pengedar bekerjasama dengan pengusaha jasa titipan.
Imam menerangkan, hasil operasi Tim Satgas Pemberantasan BKC ilegal wilayah Purworejo, Wonosobo, Magelang dan Temanggung mengungkap, sebanyak 3.336.604 batang rokok berhasil dimusnahkan.
Sementara, laporan Parboaboa menunjukkan bahwa penindakan rokok ilegal di wilayah Kudus terus meningkat dari tahun 2020 hingga 2023.
Pada 2020, tercatat sebanyak 80 kasus, meningkat menjadi 109 kasus pada 2021, dan 116 kasus pada 2022. Pada 2023, jumlah kasus melonjak menjadi 183 dengan potensi kerugian negara mencapai Rp16,99 miliar.
Lalu di pertengahan 2024, ada 97 kasus rokok ilegal yang diungkap dengan mengamankan 12,09 juta batang rokok. Di tahun ini, negara ditaksir merugi sebesar Rp11,59 miliar.
Penelitian Vicen Candela & Rasdi (2023) menunjukkan bahwa peredaran rokok ilegal bisa terjadi karena dua alasan: masyarakat yang tahu tapi tidak peduli, dan masyarakat yang benar-benar tidak tahu.
Mereka yang tahu tapi memilih untuk terlibat dalam peredaran rokok ilegal biasanya termotivasi oleh keuntungan pribadi, terutama karena pendapatan ekonomi yang rendah, sehingga memilih rokok ilegal yang lebih murah.
Ada juga sebagian masyarakat yang benar-benar tidak menyadari bahwa rokok yang mereka beli adalah ilegal, karena mereka mendapatkannya dari penjual yang menyebutnya sebagai rokok legal.
Adapaun proses penegakan hukum terhadap rokok ilegal selama ini melibatkan tiga tahap: formulasi peraturan, aplikasi atau penerapan hukum, dan eksekusi oleh aparat penegak hukum.
Ketiganya berorientasi pada penegakan hukum yang memenuhi unsur kepastian, kemanfaatan, dan keadilan, serta melibatkan kerja sama antara penegak hukum dan masyarakat.
Peneliti menganjurkan penegakan hukum terhadap rokok ilegal dapat dilakukan secara preventif dan represif. Upaya preventif meliputi penyuluhan hukum, pengawasan peredaran rokok tanpa cukai, dan patroli Bea Cukai.
Sementara itu, upaya represif melibatkan penindakan langsung, seperti menangkap pengedar rokok ilegal, melakukan operasi pasar, penyitaan serta pemusnahan rokok ilegal.
Meskipun demikian, dalam prosesnya kata mereka, selalu ada hambatan, seperti rendahnya kesadaran masyarakat dan kurangnya pengawasan.
Karena itu, tanpa mengabaikan proses penegakan hukum, mereka mengusulakan penyederhanaan tarif cukai untuk mencegah produsen memproduksi rokok ilegal.
Ketua GAPPRI, Henry Najoan, mengusulkan hal yang sama. Hal itu ia sampaikan menanggapi rencana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) untuk 2025.
Ia mengingatkan pemerintah tentang dampak kebijakan cukai tersebut, yang telah diungkapkan melalui surat resmi GAPPRI ke Menteri Keuangan.
Najoan mencatat, selama empat tahun terakhir, kenaikan tarif CHT telah memengaruhi industri hasil tembakau. Produksi rokok mengalami penurunan dari 334,84 miliar batang pada 2021 menjadi 318,14 miliar batang pada 2023, jauh di bawah level pra-pandemi.
Itulah sebabnya, ia menyarankan perlunya keseimbangan antara pengendalian dan penerimaan cukai. Menurutnya, tingginya tarif cukai saat ini telah mendorong maraknya peredaran rokok ilegal.
Editor: Gregorius Agung