Kebijakan Insentif Kendaraan Listrik Tidak Tepat untuk UMKM, Pengamat: Alihkan ke Daerah 3TP

Salah satu kendaraan listrik Hyundai Ioniq 5 di Indonesia International Motor Show (IIMS) Hybrid 2022. (Foto: Parboaboa/Hasanah)

PARBOABOA, Jakarta - Pengamat Transportasi, Djoko Setijowarno menilai insentif pemerintah untuk kendaraan listrik terutama untuk pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menegah (UMKM) tidak efektif.

Djoko menilai, tanpa insentif kendaraan listrik pun setiap pelaku UMKM telah memiliki sepeda motor. Bahkan tak jarang dalam satu rumah tangga memiliki sepeda motor lebih dari satu.

"Bahkan orang yang hidup di kolong jembatan pun sudah memiliki sepeda motor, maka jelas (insentif motor) tidak tepat sasaran," tegasnya dalam keterangan yang diterima Parboaboa, Kamis (1/6/2023).

Menurut Djoko, pelaku UMKM yang telah punya sepeda motor belum tentu mau membeli sepeda motor listrik.

"Karena mereka pasti harus keluar duit lagi. Solusinya, kasih saja sepeda motor listrik ke daerah-daerah tertentu, terserah pemerintah mau beli atau apa untuk dibagikan ke daerah terpencil, tertinggal yang BBMnya terbatas. Kasihkan bagi guru-guru, tenaga perawat, di daerah 3TP," ungkapnya.
 
Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini menilai, tujuan pemerintah memberikan insentif atau program bantuan untuk pembelian kendaraan listrik hanya untuk menolong industri yang telah terlanjur berinvestasi dan berproduksi tersebut.

Selain itu, program insentif pembelian kendaraan listrik ini secara tidak langsung, menjadi cara pemerintah menjaga investasi kendaraan listrik di Indonesia dan mencoba menarik investor baru.

"Pemerintah tampaknya mengupayakan win-win solution (penyelesaian yang menguntungkan dan memuaskan semua pihak). Untuk itu, distribusi kendaraan listrik, terutama sepeda motor listrik, sebaiknya jangan banyak di perkotaan yang sudah padat dan macet," tegas Djoko.

Tidak hanya itu, sedikitnya pangsa pasar dari kendaraan listrik menjadi alasan pemerintah memberikan insentif, agar masyarakat tertarik membeli dan menggunakan kendaraan listrik.

Apalagi, jika dicermati lebih jauh, program insentif kendaraan listrik juga tidak memiliki aturan atau kewajiban pembeli melepas kepemilikan kendaraan berbahan bakar minyak yang telah mereka miliki.  

Kondisi demikian, lanjut Djoko, dikhawatikan menambah jumlah kendaraan pribadi di jalanan. Sementara yang diuntungkan dari program ini hanya kalangan produsen kendaraan listrik.

"Harapan program ini bisa mengurangi konsumsi BBM dan menekan emisi karbon berpotensi jauh panggang dari api. Justru yang terjadi adalah penambahan konsumsi energi dan makin bertambahnya kendaraan pribadi. Sedangkan pihak yang akan diuntungkan hanya kalangan produsen kendaraan listrik," katanya.

Insentif itu jangan sampai akhirnya justru dinikmati orang yang tidak berhak atau orang kaya serta memicu kemacetan di perkotaan. Selain akan menambah kemacetan, juga akan menimbulkan kesemrawutan lalu lintas dan menyumbang jumlah kecelakaan lalu lintas yang semakin meningkat," imbuh Djoko.

Pemerintah Setengah Hati Jalankan Program Kendaraan Listrik

Djoko juga menyebut, Indonesia hanya setengah-setengah belajar transportasi berkendara listrik dari luar negeri. Apalagi Indonesia belajar dengan beberapa negara di Eropa dimana industri kendaraan listrik tidak berkembang pesat di sana.

"Di mancanegara, transportasi umum sudah bagus. Baru kebijakan mobil listrik dibenahi dan bukan target motor listrik. Tidak ada kebijakan sepeda motor lebih tinggi ketimbang mobil," ujarnya.

Saat ini ada empat negara di dunia yang mengembangkan sepeda motor secara besar-besaran. Negara tersebut di antaranya Cina, Thailand, Indonesia dan Vietnam.

Prioritaskan Insentif Kendaraan Listrik ke Daerah 3T dan IKN

Dosen di Universitas Unika Soegijapranata ini juga meminta pemerintah pusat untuk belajar dari Pemkab Asmat di Provinsi Papua Selatan, di mana sejak 2007 masyarakat Agatas di Ibu Kota Kabupaten Asmat sudah menggunakan kendaraan listrik.

"Karena kesulitan BBM menjadikan mayoritas masyarakatnya memakai sepeda motor listrik. Sehingga, ojek listrik sudah lebih dulu ada di Asmat ketimbang di Jakarta," tutur Djoko.

Ia juga mengingatkan agar insentif sepeda motor listrik sebaiknya di diprioritaskan untuk daerah terluar, tertinggal, terdepan dan pendalaman (3TP) di luar Pulau Jawa.

"Di daerah 3TP umumnya jumlah sepeda motor masih sedikit, pasokan BBM juga masih sulit dan minim sehingga harga BBM cenderung mahal. Sementara energi listrik masih bisa didapatkan dengan lebih murah dan diupayakan dari energi baru," kata Djoko.

Selain itu, prioritas insentif mobil listrik sebaiknya jangan untuk kendaraan pribadi, tetapi untuk kendaraan dinas kementerian/lembaga dan pemerintah daerah sehingga distribusinya lebih merata.

Pemberian insentif kendaraan listrik lebih tepat diberikan pada perusahaan angkutan umum, karena selain mendorong pengembangan industri kendaraan listrik, juga bisa memperbaiki pelayanan angkutan umum dengan sarana transportasi yang lebih ramah lingkungan serta mengurangi kemacetan.

"Program bantuan pembelian kendaraan listrik tidak memiliki aturan atau kewajiban bagi pembeli kendaraan listrik untuk melepas kepemilikan kendaraan berbahan minyak yang mereka miliki," katanya.

Djoko menambahkan, hal tersebut harus menjadi perhatian agar jangan sampai ke depan terjadi penambahan konsumsi energi dan populasi kendaraan pribadi kian berjejalan di jalan raya, sehingga menimbulkan kemacetan.

Djoko juga menyarankan operasional kendaraan listrik sebaiknya dimassifkan di Ibu Kota Nusantara (IKN) dan sekitarnya. Termasuk bisa dimanfaatkan untuk menghubungkan transportasi umum ke Balikpapan, Kalimantan Timur.

"Apalagi porsi angkutan umum di IKN tinggi. Mobil-mobil listrik pun dapat digunakan pejabat di IKN. Biasanya ketika ada percontohan yang sukses, daerah lain bisa mengikuti," katanya.

Editor: Kurnia Ismain
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS