Permohonan Sistem Proporsional Tertutup Ditolak, PKS: Keputusan MK Menggembirakan Banyak Pihak

Ilustrasi kotak suara untuk calon anggota DPRD Kabupaten/Kota dan Provinsi. (Foto:Parboaboa/Bina Karos)

PARBOABOA, Jakarta - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengapresiasi Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan perubahan sistem Pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup.

Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menilai MK telah mengambil keputusan dengan seksama.

"Ini keputusan yang menggembirakan banyak pihak," ujar Mardani kepada Parboaboa, Kamis (15/6/2023).

Mardani mengatakan PKS akan fokus menyongsong Pemilu 2024, sekaligus berjuang untuk rakyat lewat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Saatnya kita fokus benar-benar bekerja untuk rakyat," imbuhnya.

PKS sendiri telah mendaftarkan 580 calon legislatif (Caleg) DPR RI ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dari total 84 Dapil, terdapat 208 atau 35,9 persen caleg perempuan.

PKS menjadi salah satu dari 8 partai politik yang menolak sistem pemilu proporsional tertutup.

MK Tolak Permohonan Sistem Proporsional Tertutup

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan perubahan sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup yang teregistrasi dengan nomor 114/PPU/XX/2022.

"Amar putusan, mengadili: dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Hakim Ketua MK, Anwar Usman dalam sidang putusan di Jakarta, Kamis (15/6).

Majelis beranggapan, sistem pemilu proporsional terbuka yang termuat Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 19 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagaimana didalilkan pemohon.

Pemohon yaitu Demas Brian Wicaksono yang merupakan kader PDI Perjuangan, Yuwono Pintadi, kader Partai NasDem, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono, mendalilkan sistem proporsional terbuka membuat peran partai politik (Parpol) terdistorsi dan dikesampingkan. Pemohon menilai, calon DPR atau DPRD terpilih adalah yang mendapat suara terbanyak, bukan ditentukan oleh partai politik.

Majelis Hakim beranggapan, dalil pemohon berlebihan. Sebab, sampai sejauh ini Parpol masih dan tetap memiliki peran sentral yang memiliki otoritas penuh di proses seleksi dan penentuan bakal calon termasuk penentuan nomor urut calon anggota legislatif sebagaimana termuat dalam Pasal 241, Pasal 243, dan Pasal 246 UU Nomor 7 Tahun 2017.

Selain itu, menurut majelis, parpol juga punya kewenangan untuk mengevaluasi anggota legislatif melalui mekanisme pergantian antar waktu (PAW) yang diatur dalam Pasal 240 ayat (1) dan Pasal 356 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang MD3.

Selanjutnya, pemohon mendalilkan bahwa penyelenggaraan pemilu dengan sistem proporsional terbuka telah memperluas terjadinya politik uang (money politics) dan tindak pidana korupsi. MK berpendapat, sistem pemilu apapun, baik terbuka atau tertutup, sama-sama berpotensi terjadinya politik uang.

"Misalnya, dalam sistem proporsional tertutup, praktik politik uang sangat mungkin terjadi di antara elite partai politik dengan para calon anggota legislatif yang berupaya dengan segala cara untuk berebut 'nomor urut calon jadi' agar peluang atas keterpilihan semakin besar," kata hakim anggota, Saldi Isra yang membacakan pertimbangan putusan secara bergantian dengan tujuh hakim lain.

Begitu juga dengan sistem proporsional terbuka, memiliki peluang terjadinya politik uang. Dalam hal ini, bakal calon yang memiliki sumber daya finansial besar dapat memanfaatkannya untuk mempengaruhi pemilih.

Dengan keputusan MK ini, maka pemilu yang digelar di 2024 mendatang akan berdasarkan sistem proporsional terbuka, di mana rakyat bebas memilih anggota DPR atau DPRD mereka inginkan.

Editor: Kurnia
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS