PARBOABOA, Jakarta - Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2024 mencapai 5,05%.
Angka ini turun jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang berada di angka 5,11%. Penurunan daya beli masyarakat menjadi faktor utama yang menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi pada periode ini.
Hal itu dibenarkan oleh Kepala Ekonom Permata Institute for Economic Research (PIER), Josua Pardede dalam sebuah keterangan di Jakarta belum lama ini.
Ia mengatakan, penurunan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2024 dipicu oleh menurunnya konsumsi rumah tangga, yang ditunjukkan oleh melemahnya daya beli masyarakat.
Berdasarkan data dari BPS, konsumsi rumah tangga pada kuartal II 2024 tercatat sebesar 4,91%, lebih rendah dibandingkan dengan kuartal II 2023 yang mencapai 5,22%.
Josua menyebutkan ada tiga faktor yang menyebabkan turunnya daya beli masyarakat. Pertama, kenaikan harga pangan akibat fenomena El Nino.
Kedua, terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai industri, termasuk tekstil dan produk tekstil (TPT).
Ketiga, adanya wacana kebijakan yang mempengaruhi pendapatan kelas menengah, seperti kewajiban membayar iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dan peningkatan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
"Wacana kewajiban Tapera dan UKT membuat sentimen konsumen. (Jadinya berhemat?) Ya," kata Josua.
Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad, juga menyampaikan pandangan serupa, bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai industri telah menyebabkan melemahnya daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah.
Sementara itu, Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) menyatakan, beberapa kebijakan yang dianggap kontraproduktif telah menyebabkan penurunan permintaan domestik.
Salah satu indikasinya adalah deflasi yang terjadi selama tiga bulan berturut-turut.
Apa yang harus dilakukan?
Josua Pardede menyarankan, untuk mengatasi kemelut ini, pemerintah perlu mengambil langkah cepat dengan mengevaluasi sejumlah rencana kebijakan yang dapat membebani daya beli masyarakat.
Beberapa kebijakan tersebut antara lain kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT), kewajiban iuran Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA), peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pengenaan cukai untuk minuman berpemanis dan kebijakan lainnya.
Ia menyebu berbagai kebijakan ini dapat membebani masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi ulang terhadap kebijakan yang dianggap tidak produktif untuk memperkuat konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat.
Adapun saat ini, fenomena penggunaan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sudah mulai terjadi.
Itulah sebabnya, ata dia, "Pemerintah perlu mempersolid atau memperkuat konsumsi rumah tangga dari dalam negeri."
Dalam jangka panjang, Josua berpendapat pemerintah perlu mendukung sektor padat karya dan industri untuk mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sejurus, Mohammad Faisal juga menyarankan agar kebijakan ekonomi yang tidak produktif dievaluasi terlebih dahulu, karena tanpa itu daya beli masyarakat berisiko semakin tertekan.
Apalagi kata Faisal, sektor upah riil sempat kontraksi, bahkan kalaupun tumbuh hanya sebesar 0,7%, dan itu tergolong sangat lambat.
Sementara itu, jika dibandingkan dengan peningkatan biaya hidup, masih lebih tinggi inflasi dibandingkan peningkatan upah yang juga bisa mempengaruhi daya beli.
Beum kalau ditambah lagi kebutuhan penambahan bayar pajak.
"Ini dikhawatirkan saat sekarang akan semakin menekan daya beli masyarakat dan menekan pertumbuhan ekonomi juga," jelasnya.
Tauhid Ahmad juga mengusulkan agar pemerintah melindungi industri dalam negeri. Hal ini bisa dilakukan dengan mempertahankan pasar domestik dari serbuan barang impor, meningkatkan ketahanan pasar serta menjaga stabilitas rantai pasokan.
Jika langkah-langkah ini tidak diambil, kata dia, sektor industri akan menghadapi kesulitan.
Selain itu, efektivitas bantuan sosial bagi masyarakat menengah ke bawah perlu ditingkatkan, "serta penting untuk memperluas akses terhadap layanan kesehatan yang saat ini masih tergolong mahal."
Editor: Gregorius Agung